Senin, 08 Agustus 2011

SETELAH GAUL, SO WHAT GITU LOH?!

[Photo: http://www.guardian.co.uk/sport/2011/aug/08/oscar-pistorius-south-africa-world-championships]

SETELAH GAUL, SO WHAT GITU LOH?!
—sejauh-jauhnya cinta untuk fiona dan andreas—

Minggu: 7 Agustus 2011. Pada hari ini ada dua hal yang sama berkait dengan gadget: ”Tergiur Beli Ponsel, Remaja di Bawah Umur Jajakan Diri” dan ”Fiona merasa gaul dengan iPod dan BB-nya”.

Fiona bukan Rin, tentu. Rin, menurut berita harian Kompas, adalah remaja di bawah umur yang menjajakan diri itu. Ia baru sepekan melacur dan, sialnya, kena razia, Sabtu (6/8) dini hari. Tiap malam ia mangkal di satu hotel di Jalan Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat. Remaja yang tak lulus SMP itu lantas dibawa ke markas Polres Bogor Kota.

Terungkap, tiap menemani seorang tamu Rin dibayar Rp 200.000, dipotong Rp 30.000 untuk ”mami”. Rencananya uang hasil bekerja itu akan digunakan untuk membeli telepon genggam layar sentuh seharga Rp 1,5—Rp 2 juta.

”Seminggu itu paling saya baru dapat tamu 4-5 orang. Uangnya juga kadang dipinjam ibu buat kebutuhan sehari-hari, jadi belum bisa beli hape (HP),” tutur remaja berambut panjang itu. Rin yang malang.

Fenomena Rin, dari kacamata psikologi sosial, mudah dipahami. Telepon genggam dianggap mewakili citra modernitas. Memilikinya menjadi keharusan. Nilai guna dikalahkan oleh nilai simbolik. Akhirnya telepon genggam jadi fetistik.

Akal sehat—argumentasi telepon genggam adalah alat komunikasi—ditundukkan oleh hasrat konsumer-hedonistik. Bagaimana praktik pemberhalaan itu berlangsung? Iklan punya kontribusi yang signifikan.

Kesadaran palsu dibentuk oleh citra-citra dan lambang iklan. Pesannya lugas: Jika tak memiliki hape terbaru, maka kau tak gaul. Aspek gaul itu, antara lain, makin ditegaskan oleh berbagai jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Setakat ini bahkan remaja seperti Fiona, ambil contoh, menganggap Facebook telah kuno. Ia beralih ke kanal Twitter. Alasannya, lebih gaul dan up to date. Konon informasi lebih cepat di jejaring Twitter.

Sungguh, saya tak paham, bagaimana relasi jargon gaul dan kecepatan informasi tumbuh bareng. Di sisi lain, Fiona nyaris tak pernah, misalnya, mengakses koran elektronik atau situs-situs berita lain. Lantas, informasi semacam apa yang dikonsumsi oleh remaja gaul seperti Fiona itu?

Rony Chandra Kristanto, rohaniwan muda dari GIA Jemaat Pringgading, Semarang, kurang-lebihnya menyatakan: ”Remaja sekarang tak butuh jenis informasi tradisional. Mereka terhubungkan oleh kesenangan spesifik di antara sesamanya.”

Baiklah, untuk sementara argumentasi Rony dimaklumi. Tapi, apa kesenangan spesifik itu punya value? Atau, nilai-nilai apa yang dianut oleh remaja sekarang?

Secara gampang, remaja-remaja gaul itu imun atau resisten terhadap hal-hal di luar atensinya. Mereka nyaman di rumah asuh gadget terbaru nan canggih. Di sisi ini mereka alpa: Memiliki gadget seperti itu berarti membelanjakan uang berlebihan. Bisa jadi besar pasak daripada tiang. Tapi, apa alibi Fiona?

”Aku remaja gemar menabung, maka bisa beli iPod dan BB!” seru Fiona, Minggu (7/8) sore.

Bagiku, kebanggaan Fiona terasa semu. Nilai kebaikan menabung cuma dipertukarkan dengan praktik konsumsi alat-alat produksi pabrikan kapitalistik.

Fiona dan Rin adalah contoh nyata remaja yang dicengkeram oleh, dalam batas-batas tertentu, hasrat konsumtif. Bedanya, Rin berasal dari keluarga miskin, sedangkan keluarga Fiona relatif cukup mampu ekonominya. Cara mereka untuk mendapatkan gadget impiannya berlainan. Fiona menabung uang jajannya untuk dibelikan iPod dan smartphone Blackberry. Sedangkan Rin mesti melacurkan diri agar punya uang untuk membeli hape layar sentuh.

Masalahnya, seberapa penting alat komunikasi itu bagi remaja-remaja itu? Apakah alasan demi mengekspresikan diri, melalui gadget, jadi pembenar absolut? Dari mana mereka mendapatkan uang untuk membiayai gaya hidup itu sedangkan mereka belum bekerja?

Barangkali sudah saatnya para orangtua berpikir kritis: Haruskah anak-anak itu menjadi korban keganasan korporasi kapitalistik yang selalu mengaduk-aduk banalitas hasrat konsumtif manusia (melalui bahasa periklanan). Sementara ada banyak pilihan lainnya, jauh lebih cerdas-bernilai, ketimbang merelakan anak-anak tumbuh dalam asuhan dan sekadar berperilaku konsumtif atas kemajuan teknologi gadget.

Saya ingin titip pesan untuk Andreas: Penting meluaskan wawasan pengetahuan ketimbang piawai dalam games belaka. Adiksi games mengoyak kesehatan psike, sedangkan kecanduan ilmu pengetahuan malah meninggikan nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk Fiona, bukankah gengsi tak diukur dari canggihnya gadget, melainkan seberapa bijak perangkat itu kita manfaatkan. Renungkan: Setelah gaul, so what gitu loh?!

TUBAGUS P. SVARAJATI
—Kampung Jambe: Selasa, 9 Agustus 2011; 08:57

PS:
Fiona dan Andreas, tak jadi soal jika kalian menganggap paman yang satu ini mirip kakek-kakek nyinyir. So what gitu loh?!

Senin, 01 Agustus 2011

HISTORICA A LA CARTE



Perjalanan dalam sejarah adalah perjalanan dalam separuh gelap.
—Goenawan Mohamad

Agaknya sejarah tak selalu benderang, penuh kelokan, senantiasa tak pernah selesai karena ia—sejarah itu—niscaya beringsut terus. Begitulah saya kira.

Dalam separuh gelap itu, “Kita memerlukan semacam iman,” kata GM, sapaan akrab jurnalis cum sastrawan kondang itu. Ia seperti hendak meyakinkan kita, perlunya suatu pegangan atau, katakanlah, keyakinan tertentu ketika ‘membaca’ sejarah.

Dan tentang iman, pegangan atau keyakinan itu, nama Jongkie Tio (71) pantas disebutkan. Ia menuliskan sejarah yang separuh gelap itu: Sejarah lisan yang terlipat di dalam benak dan kenangan.

Di Semarang, Tio adalah orang pertama dan niscaya tepat untuk membincangkan narasi-narasi yang terkubur—atau hampir.

Tio asli kelahiran Semarang. Lahir sebagai Tio Tik Gwan; dari pasangan Tio Liong Hwie dan Goh Lies Nio. Jongkie Tio adalah nama kecilnya. Tapi ia sangat populer dengan nama itu.

“Nama dagang saya, Daddy Budiarto,” kata dia.

Daddy Budiarto dipakainya hanya untuk keperluan resmi, seperti: mengurus KTP atau izin usaha dagang restorannya. Bersama istrinya, Tio mengelola Semarang Restaurant. Dalam masa rezim Orde Baru, ganti nama “wajib” bagi orang Tionghoa dengan diterbitkannya Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966.

Di kalangan mahasiswa, jurnalis, sejarawan, ahli arsitektur dan perkotaan, Jongkie Tio—bapak empat putra—adalah nama rujukan primer mengenai sejarah kota Semarang. Padahal Tio tidak terdidik sebagai ahli sejarah—berulang kali ia menegaskan hal itu.

I am not at all claiming myself as a historian or researcher,” tulis Tio dalam buku Semarang City, a Glance into the Past.

Buku itu ditulis dan diterbitkannya sendiri. Lewat buku itu ia bermaksud mengenalkan Semarang dengan cara sesederhana mungkin; lantas tumbuh minat orang Semarang agar terlibat pada pembangunan kotanya.

Menyimak bukunya, kita sadar, Tio memang bukan sejarawan—jika sejarawan berelasi pada suatu praktik historisisme dengan metodologi terarah. Bukunya memang lebih tepat disebut sebagai memoar, ingatan yang diliterasikan. Ia mengaku, inti bukunya ialah padanan dongeng dan cerita.

Seturut Kamus Umum Bahasa Indonesia (edisi ketiga, 2001), memoar adalah kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya.

Sedangkan bagi Jacques Derrida (via Donny Danardono, 2008), sebuah memoar adalah penceritaan kreatif tentang ‘fakta’ di masa lalu. Penulisan memori, yang dengan begitu berbeda dengan sejarah, memiliki kelekatan emosi dengan masa lalu. Memori adalah kenangan subyektif (pengalaman) seseorang di masa lalu. Tegasnya, dengan menulis memoar, seseorang lebih jujur dalam mengakui adanya kepentingan subyektifnya terhadap ‘fakta’ tersebut. Sebaliknya, ‘sejarah’ mengandaikan adanya masa lalu yang memiliki ‘realitas obyektif’. Padahal, cara berpikir ‘historis’ itu hanya berakhir pada suatu paradoks: Bagaimana mungkin menemukan ‘realitas obyektif’ masa lalu, sedangkan tafsir atas ‘realitas’ itu dipengaruhi oleh kondisi gender, etnisitas, agama, orientasi seksual, atau nasionalisme.

Melalui bukunya itu jelas-jelas adalah cara Tio “express everything connected with Semarang city in a nostalgic memoir” (h. iii). Tidak itu saja, dengan menggunakan bahasa Inggris, Tio ingin buku itu “as a memento for former residents of Semarang and avid observers of Semarang who are presently living abroad” (h. v).

Dari pernyataan itu, literasi memori Tio bisa dianggap sebagai strategi pengekalan ingatan kolektif warga kota. Ia, dengan demikian, juga melakukan praktik penulisan sejarah. Berkat salah satu fotonya yang dimuat di Tempo, Tio mendapat penghargaan jurnalistik Adinegoro dari PWI, 1983.

Narasi A La Carte
Sebenarnya, apa yang dituliskan Tio di buku bersampul coklat itu (tebal 257+xv h.)? Intinya, Tio meriwayatkan ruang-waktu Semarang: di samping narasi-narasi dominan, juga fakta yang terlewat atau sengaja dibungkam oleh kekuasaan—termasuk peristiwa yang tak ingin diingat lagi oleh sebagian warga.

Ambil contoh foto di pagina 92: Sederet ruko yang terbakar dengan asap hitam membubung (keterangan foto “Some buildings which were burnt in the incident of 1965”). Samar-samar kita paham, di masa penuh pergolakan itu—tarikh 1965—sedikit rasa sentimen bakal menjelma sebagai kobaran api atau sungai darah; masaker di antara anak bangsa sendiri. Tentang yang telengas ini GM pernah menulis, “Sejarah bisa saja dimulai dengan salah sangka.”

Hampir di sekujur pagina buku dipenuhi dengan foto-foto arkaik atau gambar-gambar iklan dan sejenisnya. Dengan memuat pula dokumentasi keluarga, kerabat, dan handai-taulannya, Tio mengisyaratkan, foto-foto itu punya daya pikat spesifik—punctum seturut Roland Barthes. Foto-foto tersebut menjadi santir keluasan pergaulan dan perkawanannya.

Kedalaman episteme Tio tercermin pada bibliografi yang dimilikinya. Dari sana, lantas, ‘pengumpul cerita’ itu mengisahkan tak hanya data dan fakta, namun juga nama dan kejadian.

Secara garis besar, bukunya berisi tentang nukilan sejarah pesisir Semarang, pendaratan etnis China di tanah Jawa (termasuk kisah Cheng Ho, admiral muslim yang dua kali berlabuh di Simongan), permukiman multietnis di masa kolonial, perkembangan kota plus alat transportasi/fasilitas lainnya, dan kondisi sosekbud masyarakat. Itu semua ditambahi dengan kisahan mengenai Pertempuran Lima Hari, foto-foto bangunan khas, dan etimologi nama jalan/lingkungan tertentu.

Dari buku itu, kita tahu, beberapa ruang publik—seni dan hiburan—telah lenyap, antara lain: Societeit Harmonie (GRIS, kependekan dari Gedung Rakyat Indonesia Semarang) dan gedung opera Marabunta. Semua gedung bioskop ternama juga musnah: Lux, Rex (Sri), Pathe (Royal/Semarang), Metropole (GRIS), Orion (Rahayu), Roxy (Ria), Jagalan, Grand, dan Indra.

Jelas, raibnya ruang-ruang rekreatif itu menggerus pula memori kolektif warga. Semuanya menjadi mambang—masyarakat pun rudin historik.

Bersama buku Tio, ingatan saya mengembara ke masa silam. Ia sulap teks arkaik sehingga bernyawa lagi. Meski teks-teks itu tak berurutan, berloncatan—narasinya meluas dan meruang kontekstual. Catatan Tio, dengan demikian, seperti hidangan a la carte.

Dari apa-apa yang sudah dibukukan itu menerangkan posisi kultural Tio: Sosok peranakan Tionghoa dengan pendidikan yang memadai. Artinya, Tio seorang cendekia. Sekurang-kurangnya apa yang dituliskan itu layak dinilai sahih. Tio pantas mendapatkan remunerasi dari pemerintah dan warga kota.

Akan tetapi, saya duga, ada banyak hal belum dituntaskan Tio. Saya ingin Tio lugas ungkapkan kekerasan yang dialami kalangan Tionghoa Semarang di sekitar 1965—1966. Mengungkap bukan mengungkit luka traumatik, tapi upaya menepis banalitas kekerasan agar tak terulang.

Di zaman kiwari, tatkala keterbukaan adalah niscaya, represi politik lampau tak semestinya surutkan niat berbagi kebenaran. Bene agere et laetari.

TUBAGUS P. SVARAJATI
Esais, bermukim di Semarang

[Catatan: Esai dikirimkan ke harian Suara Merdeka, Selasa: 15/7/2008. Tidak terbit. Saya sunting lagi, di sana-sini, untuk pengunggahan di blog.]

Kamis, 21 Juli 2011

LINDA, ISLAM, DAN JURNALISME SASTRAWI



Judul:
Jangan Tulis Kami Teroris
Penulis:
Linda Christanty
Penerbit:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan:
Pertama, Mei 2011
Tebal:
x + 147 halaman


Berbeda dengan reportase langsung (straight news), literary journalism atau creative nonfiction menyajikan berita lebih dalam dan rinci. Peristiwa dipaparkan bak karya sastra. Penuturannya naratif. Ini varian dari new journalism yang dikembangkan oleh Tom Wolfe pada 1970-an di Amerika.

In Cold Blood karangan Truman Capote disebut-sebut sebagai salah satu tonggak literary journalism. Kisahnya tentang dua bekas narapidana yang membunuh satu keluarga di Kansas, Amerika Serikat. Tulisan itu muncul secara bersambung di majalah The New Yorker, musim gugur 1965, dan setahun kemudian baru dibukukan.

Di Indonesia, barangkali gaya jurnalisme baru itu mula-mula dipraktikkan oleh majalah Tempo. Lalu, dipopulerkan oleh Andreas Harsono di Pantau, majalah bulanan soal media dan jurnalisme. Oleh dia, genre itu dinamai jurnalisme sastrawi. Kini Pantau tidak terbit lagi.

Produk jurnalisme sastrawi bukan karya fiksi. Ia tetap berita jurnalistik yang taat pada paradigma jurnalisme umumnya. Dalam jurnalisme sastrawi, wartawan mesti piawai menguasai teknik penulisan dengan bahasa yang pejal, lincah dan renyah. Mesti pula didukung oleh riset dan amatan yang cermat. Tujuannya agar tulisan jadi khas, realistik, dan imajinatif, sehingga memikat dan mampu melibatkan emosi pembaca.

Linda Christanty punya kualifikasi itu semua. Ia pernah bekerja di Pantau. Memenangkan dua Khatulistiwa Literary Award untuk buku kumpulan cerita pendeknya, Kuda Terbang Mario Pinto (2004) dan Rahasia Selma (2010). Pada 2010 itu juga, Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, memberikan penghargaan untuk kumpulan tulisannya, Dari Jawa Menuju Atjeh. Pendiri sekaligus pemimpin kantor berita Aceh Feature ini tinggal di Banda Aceh.

Saya dan Islam
Buku ”Jangan Tulis Kami Teroris” berisi empat belas tulisan. Menilik tahun penulisannya, karangan-karangan dalam buku ini termasuk baru (yang terbaru bertanggal 9 April 2011). Tapi, bukan itu soalnya. Feature—atau karangan khas—tak selalu menenggang aktualitas meski hal itu tetap penting. Karenanya, tulisan Linda terkesan awet.

Dalam buku ini penulis membuka diri. Ia muslimah. Lahir di Pulau Bangka. Namanya—yang mengandung unsur ”Christ”—kerap menuai salah paham. Sebagian orang beranggapan, seorang muslim lazim bernama kearab-araban.

”Nama dan wujud saya terkadang memicu kejadian lucu,” tulis dia dalam Saya dan Islam, ”Secara fisik, saya bahkan lebih mirip orang-orang Cina di Hong Kong atau orang Jepang ketimbang orang-orang Arab, yang puluhan nama mereka memang tercantum dalam silsilah keluarga kami.”

Nama Linda Christanty ada kisahnya. Muasalnya dari sang ayah yang mengagumi petenis dunia Christ Evert. Tambahan ”Tanty” sebagai pemanis belaka. Sedangkan Linda berasal dari nama anak perempuan Presiden Amerika Lyndon B. Johnson. Namun, lucunya, merek mesin jahit di rumah keluarga Linda juga ”Linda”.

Aceh dan Islam
Empat belas tulisan Linda sarat dengan soal Aceh dan Islam. Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Aceh pascakonflik adalah wilayah yang menerapkan syariat Islam.

Tentang Islam, misalnya, penulis mendiskusikan jilbab di Jilbab Dek Tata. Ia mencatat, kini jilbab jadi tren. Di Aceh jilbab wajib dipakai oleh perempuan muslimah. Seperti jilbab, fenomena memelihara jenggot dan bersorban juga suatu tren. Oleh sebagian orang, tampilan itu dianggap sebagai kebangkitan kembali Islam.

Bagi Linda, ”kebangkitan kembali” itu bermuka dua: revivalisme atau fundamentalisme. Revivalisme, singkatnya, kebangkitan Islam dengan cara menafsir Alquran dan hadist sesuai semangat kekinian. Kaum fundamentalisme memimpikan Islam semasa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah yang dianggap menerapkan Islam secara sempurna.

Di Aceh, wajah syariat Islam mulai mengeras dan tak ramah kepada kaum minoritas. Islam yang garang, antara lain, muncul sebagai ormas yang anggotanya berjubah dan menerapkan paham Wahhabi. (”Orang Aceh dulu tidak ada pakai-pakai jubah begitu. Ya, begini saja seperti saya ini. Berkopiah, bersarung atau celana.”—halaman 71)

Linda juga melakukan perjalanan jurnalistik ke Patani, Thailand selatan, dan Kamboja. Ia mendatangi Choeung Ek Genocidal Museum, Phnom Penh. Museum ini untuk mengenang kekejaman Pol Pot. Tengkorak dan belulang bertumpuk, ditata seakan barang-barang mewah di butik atau gerai ternama.

”Anehnya saya tidak merasakan apa pun ketika menyaksikan pemandangan ini. Tidak sedih atau gembira. Tidak juga ngeri. Datar-datar saja,” tulis dia.

Jurnalisme sastrawi membuka peluang wartawan berkisah dari sudut personal. Jurnalis pun boleh bersikap, teguh pada pendiriannya. Intinya tetap: Jurnalisme mesti berpihak pada kebenaran.

Dari Linda Christanty, kita belajar soal: Feature bisa memikat asal struktur narasi dan diksinya tepat.

TUBAGUS P SVARAJATI
Esais, bermukim di Semarang

[CATATAN: Timbangan buku dikirimkan ke Suara Merdeka, Jumat: 10/06/2011.]

Minggu, 17 Juli 2011

AGAR JURNALISME BERMUTU

[Photo: http://www.dailymail.co.uk/news/article-2012886/News-World-CofE-threatens-withdraw-4m-investment-Murdoch.html]

PERCAYAKAH Anda jika wartawan tak bisa menulis? Orang nomor satu Kompas-Gramedia, Jakob Oetama, bilang: Wartawan Kompas banyak yang belum bisa menulis. Dan Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo, merasa tak pernah punya “lebih dari 10 orang penulis” meski 30 tahun jadi redaktur.

Kisah tadi dituliskan oleh Andreas Harsono dalam karangan ”Bagaimana Cara Rekrut Wartawan” (Agama Saya adalah Jurnalisme, Penerbit Kanisius, 2010). Andreas adalah wartawan kawakan. Ia pernah bekerja di The Jakarta Post (Jakarta), The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan Pantau (Jakarta). Pada 2000 ia menerima Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard.

Mungkin keadaan sekarang berubah. Andreas menulis hal itu pada 2005 dari London. Inti tulisan itu tentang pertemuannya dengan Wendel ”Sonny” Rawls Jr, mantan wartawan dan redaktur The Philadephia Inquirer, The New York Times dan The Atlanta Journal-Constitution.

Sonny, penerima Pulitzer Prize pada 1977, mengungkap kiatnya mencari reporter. Ia akan minta calon wartawan mengirimkan 10 news stories, bukan features, dengan model piramida terbalik atau piramida.

”Saya baca lead dulu dan tiga alinea pertama. Apakah beres atau tidak? Kalau beres, mudah dicerna, jelas, jernih, saya akan baca the end of the stories.”

Dari lead dan ending bisa disimpulkan kemampuan logika si pelamar: Apakah dia bisa menghubungkan keduanya dengan baik. Singkatnya, apakah relasi awal-akhir itu punya ”strong understanding”.

Sonny, seperti dituturkan Andreas, akan mewawancarai si pelamar bila laporannya baik atau menjanjikan. Pertanyaannya mulai dari karier sampai kehidupan si pelamar.

What kind of books they read?
What they do when they’re not working?

Buku yang dibaca bisa sebagai indikasi, jenis selera sampai kekuatan nalar si wartawan. Aktivitas senggangnya menandakan apa? Menurut Sonny, seorang pemancing, misalnya, berarti orang yang ”kontemplatif”, suka berpikir dengan dalam. Tapi Sonny tak suka wartawan yang merokok pakai pipa. ”Too slow thinking,” kata dia.

Faktanya, banyak wartawan Indonesia merokok tanpa pipa. Tapi hal itu bukan garansi wartawan Indonesia biasa berpikir gesit atau lincah menulis.

Menulis secara Bermutu
Tak ada resep khusus menulis bagaimana agar tulisan bermutu. Ide bukan wangsit yang mbrosot dari langit. Teknik menulis wajib dilatih. Kaidah bahasa mesti ditaati. Untuk karya sastra sekalipun, Gabriel Garcia Márques pernah bilang: Ultimately, literature is nothing but carpentry. Sastra cuma ihwal pertukangan.

Masalahnya, dalam kondisi apa kita bisa menulis dengan baik? ”Kesejahteraan ekonomi dan kesehatan yang terjaga baik merupakan situasi kondusif untuk menulis,” sahut Ernest Hemingway.

Asersi Hemingway terkesan blak-blakan. Perut lapar atau tubuh sakit mustahil diajak kompromi untuk menggurat pena. Wartawan yang digaji murah niscaya buyar konsentrasinya. Jika begitu, bisakah ia menulis dengan lancar?

Sebaliknya kita saksikan: Camus dan Nietzsche mengolah rasa sakit dan mendedahkan kontemplasinya. Keduanya penulis raksasa.

Sejak kecil Camus terlilit tuberculosis kronis. Harapan akan hidup berhadapan vis-a-vis dengan ancaman permanen kematian. Tegangan itu melahirkan gagasan ”absurditas”. Sedang Nietzsche didera penyakit tifus dan dihantui kebutaan total. Akhirnya dia malah menjadi ”pembunuh” Tuhan.

Tentu saja wartawan bukan sastrawan atau filosof. Wartawan memaparkan realitas faktual, sedang sastrawan menyodorkan gagasan imajiner. Persoalannya, pinjam pemikiran Ignas Kleden (1996), apakah dari wartawan bisa diharapkan tidak saja factual knowledge, tapi juga conceptual knowledge?

Tapi, ada kesamaan antara wartawan-sastrawan. Mereka sama-sama menekuni aksara: Memakai kata-kalimat untuk menulis berita atau karangan sastra. Karena itu mereka mesti ”beres” dalam hal berbahasa. Beres berbahasa berarti taat pada kaidah gramatika, sistematis, selaras diksinya, dan sekaligus logis-rasional penuturannya. Dalam hal ini memang orang mudah tergelincir.

Tak cuma pengarang, banyak wartawan menulis secara kemayu. Struktur narasinya molor, penalarannya kedodoran. Istilah-istilah ambigu royal bertebaran. Inti berita atau cerita terkubur di balik kalimat-kalimat panjang. Tak jarang kesalahan bahasa bersifat elementer. Wartawan alpa kepada siapa ia menulis. Pembaca bingung.

Maka, kembalilah pada bahasa jurnalisme yang cekak, bernas, dan bersih. Metode dan strategi berkisah pun mesti diasah terus. Tuturan sederhana lebih elegan ketimbang teks yang ruwet. Idealnya, wartawan punya conceptual knowledge yang memadai agar racikan beritanya memuaskan pembaca.

Tegasnya, wartawan mesti piawai menulis. Wartawan harus beres berbahasa. Untuk apa? Agar wartawan lebih bermutu, biar jurnalisme kian bermutu. Alasannya, pembaca sekarang makin bermutu.

Tubagus P Svarajati
Esais, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Sabtu: 25/06/2011]

Minggu, 26 Juni 2011

TIDAK UNTUK AKADEMI SEMARANG


Sering kali ide-ide hadir dan lekas membatu, menjadi epitaf. Ia nihil daya hidup karena tidak tumbuh dari fenomena riil dan menjauh dari realitas lokal. Selain itu, tak jarang landasan rasional-logisnya lemah.

Ide Handry TM tentang ”Akademi Semarang” (”Keberanian demi Akademi Semarang”, Suara Merdeka, Sabtu, 18/6) terkategori begitu. Ia beranggapan, untuk membangun karakter kota dengan ketinggian selera budaya seperti Singapura (Asia) dan Venesia (Eropa), seyogianya ditangani secara kuratorial. Mustahil menyetarakan Semarang dengan kota besar lain di Asia bila ditangani sendirian. Perlu kerja sama dengan negara kurator.

Tak jelas apa yang dimaksud dengan istilah ”negara kurator”. Intinya, ia menggagas pembentukan lembaga ”Akademi Semarang” demi membangun poros kebudayaan kota. Ia mencontohkan Akademi Jakarta. Menurut dia, lembaga itu digagas oleh orang-orang visioner di bidang kebudayaan yang memberi masukan, diminta atau tidak, kepada Gubernur tentang arah kebudayaan kota masa depan.

Pada bagian lain ia menuding, Semarang tak punya penggagas brilian 10 tahun terakhir. Tapi, lucunya, ia lega belakangan ada pimpinan visioner di Jawa Tengah dan ibu kotanya, Semarang. Maka muncullah: agenda-agenda arak-arakan (carnival) Visit Jateng 2013, Semarang Great Sale, Semarang Night Carnival dan Resik-resik Kutha.

Paradigma Kebudayaan Baru
Terus terang, saya menolak gagasan Handry TM tentang ”Akademi Semarang”. Tak perlu membentuk lembaga baru untuk pengembangan kebudayaan kota. Berdayakan birokrat kota yang mengurusi aspek kebudayaan. Saya duga, mereka terjebak pada rutinitas birokrasi dengan model manajemen yang salah urus. Kultur semacam ini membutakan mereka dari dinamika kebudayaan yang berkembang di masyarakat.

Tabiat struktural-birokratis itu juga menjangkiti cara pikir pekerja seni atau pemikir kebudayaan kita. Lihat, dewan kesenian yang semestinya sebagai lembaga think-thank malah berbalik arah dan mengerdilkan diri sebagai event organiser atau makelar kegiatan belaka. Celakanya, pola seperti ini disetujui oleh anggota dewan yang terhormat. Dari hal itu tampak benderang: Ketakmampuan memisahkan yang-ideologis dengan yang-praktis.

Maka, pembentukan lembaga baru bakal menambah daftar panjang inefisiensi. Lembaga baru niscaya menyedot anggaran belanja daerah. Padahal sekitar 70 persen anggaran negara habis untuk menyokong mesin birokrasi saja. Artinya, beban hidup rakyat nantinya semakin besar. Bukan mustahil, lembaga baru tak terhindar dari mala korup: finansial dan kekuasaan.

Yang dibutuhkan ialah: Paradigma baru bagaimana membangun cetak biru konstruk kebudayaan kota yang dinamis: Memberikan peluang seluas-luasnya kepada siapa saja agar menjadi manusia beradab.

Bagaimana caranya? Ajari para birokrat pengambil kebijakan agar lebih cerdas dan visioner dengan paradigma kebudayaan yang berkembang di masyarakatnya. Ingatkan mereka, manakah yang pantas dipilih: Apakah konstruk kebudayaan kapitalistik-hedonis ala Barat ataukah sosial-demokratik pancasilaistik? Karenanya, perlu dijelaskan apa latar ideologisnya arak-arakan ”visioner” seperti yang dicontohkan tadi.

Ubah dan Ciutkan Birokrasi
Sudah saatnya mesin birokrasi disederhanakan. Pemerintah hadir demi melayani dan mewujudkan impian kolektif rakyatnya. Agar mangkus, mekanisme implementasinya dipendekkan.

Hemat saya, Dewan Kesenian Semarang (Dekase) atau Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) layak diubah fungsinya menjadi lembaga think-thank—laboratorium dokumentasi dan penelitian—yang menghasilkan pemikiran atau kajian holistik cetak-biru kebudayaan kota-provinsi. Dewan ini—apa pun namanya yang akan dipilih kelak—bukan event organiser atau pelaksana kegiatan. Produk pemikirannya dijalankan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) atau Pemerintah Provinsi (Pemprov). Pekerja kesenian (bagian dari kebudayaan), sebagai contoh, langsung berhubungan dengan Pemkot-Pemprov. Maka, otoritas birokrasi dan anggarannya memendek, lebih sangkil-mangkus. Dualitas pemerintah-rakyat menjadi dwitunggal kohesif, koeksistensi. Pengawasan atas langkah-langkah Pemerintah oleh BPK dan DPRD.

Tentang ”ketinggian selera budaya” tak mesti menengok ke Singapura atau Venesia. Bukankah Solo dan Jember sangat berkelas selera budayanya? Bergurulah kepada Wali Kota Solo Joko Widodo atau Dynand Fariz (pencetus Jember Fashion Carnaval).

Lalu, di mana rumah ideal pemikir-kritikus kebudayaan? Mereka tetap di tapal batas: Senantiasa bermigrasi dari satu noktah sosial ke noktah sosial lain sembari menawar (atau bahkan menghancurkan) sekat-partisi sosial dalam suatu rezim sensibilitas (Baca gagasan selintas Jacques Rancière dalam ”Empat Esai Etika Politik”, penerbit www.srimulyani.net, 2011.).

Pada ujungnya saya tegaskan, pemikir atau kritikus kebudayaan tak selibat atau patgulipat dengan pusat kekuasaan.

TUBAGUS P SVARAJATI
Esais, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Senin: 20/06/2011.]

Senin, 20 Juni 2011

SEPUNGUT TIONGHOA DALAM BAKMI JOWO

[Sumber foto: http://oase.kompas.com/read/2011/06/12/06452778/Mencuri.Inspirasi.dari.Kelucuan.Put.On]

Salah kaprah tentang “minoritas Tionghoa” mesti disudahi. Sejauh ini wacana ketionghoaan, sengaja atau tidak, cuma dikaitkan dengan aspek ekonomi. Padahal sumbangan orang Tionghoa dalam kebudayaan Nusantara sangat beragam dan dominan.

Pameran ilustrasi grafis Chéng Li adalah bukti nyata kuatnya peran orang Tionghoa dalam seni gambar, susastra dan pers Indonesia. Ragam bahasa yang digunakan, Melayu-Tionghoa, juga diakrabi masyarakat luas pada zamannya. Pameran tersebut diadakan oleh Widya Mitra dan Bentara Budaya Yogyakarta, di Gedung Rasa Dharma, Pecinan Semarang, 3―11 Juni kemarin.

Meski kebanyakan hanya reproduksinya, tak berarti artifak yang dipamerkan berkurang nilainya. Yang terpajang, antara lain, puluhan sampul buku, iklan, komik, petilan majalah, gambar kalender, hingga petikan cerita pendek. Ada pula buku tulisan tangan asli naskah cerita Beng Lee Koen atawa Liong Hong Pwee Tjay Seng Jan. Manuskrip lama itu disebut sebagai: ”Satoe tjerita di djeman Goan Tiauw”, jilid 1―25. Tak jelas siapa pengarangnya. Artifak ini, tentu, sangat bernilai bagi sejarah kebudayaan modern Indonesia.

Pemirsa pameran tersebut beruntung menikmati komik dwilogi, meski sepenggal, karya Siauw Tik Kwie. Keduanya bertajuk Sie Djin Koei Tjeng Tang (Sie Jin Kui Menyerbu ke Timur) dan Sie Djin Koei Tjeng See (Sie Jin Kui Menyerbu ke Barat). Pertama kali karya itu muncul secara mingguan di majalah Star Weekly.

Hemat saya, karya Siauw tersebut salah satu masterpiece komik yang pernah dihasilkan oleh putra Indonesia. Ilustrasi grafisnya bersih-rinci. Para tokoh dan lingkungannya dilukiskan secara anatomis dan proporsional. Perlu dicatat, karya puncak komik Indonesia lainnya ialah Maha Bharata dan Ramayana karangan RA Kosasih. Nasib Kosasih lebih baik. Ia digelari Bapak Komik Indonesia lewat kedua komik wayang itu.

Bersama Sie Djin Koei juga ditampilkan potongan strip komik Put On karya Kho Wang Gie. Put On atawa Ko Put On adalah tokoh Tionghoa peranakan yang penuh humor. Oleh Kho, Put On digambarkan satiristik, tragik dan paradoks. Visualitasnya mengandalkan blabar (outline) yang hemat dan lentur. Dalam pengantar pameran, Sindhunata menulis: (Melalui sosok Put On) dalam paradoks dan satirnya, hidup seorang Cina peranakan itu tak ubahnya dengan hidup kaum pribumi sendiri.

Di usia tuanya Kho tetap berkarya. Ia menyamar sebagai Sopoiku atau Soponyono. Masih ingat si Pengky di sampul belakang majalah Ria Film? Atau komik humor Nona A Go Go, Jali Tokcer, Si Lemot dan Agen Rahasia Bolong Jilu (013)?

Pada masanya, Put On digemari masyarakat luas. Put On muncul secara mingguan di harian Sin Po. Put On dan Sie Djin Koei berjaya antara 1930 sampai 1960-an.

Melayu-Tionghoa di Semarang
Menurut Leo Suryadinata (“Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia”, Penerbit PT Gramedia, 1988), Pramoedya Ananta Toer (dalam Salmon, 1981) meyakini bahasa Melayu-Rendah sebagai “bahasa kerja” masa itu dan digunakan secara luas oleh kebanyakan orang Indonesia perkotaan dan pers. Salah satu varian Melayu-Rendah adalah Melayu-Tionghoa. Salmon juga berpendapat, bahasa Melayu Tionghoa sebelum pertengahan 1920-an tidak berbeda dengan bahasa Melayu yang digunakan oleh orang-orang Indonesia lainnya di Jawa.

Diyakini, orang-orang Tionghoa menggunakan bahasa Melayu sudah lama sekali. Bisa jadi setua masyarakat Nusantara sendiri. Di dalam buku “Sastra Indonesia Awal, Kontribusi Orang Tionghoa” (Penerbit KPG, 2010) Salmon menegaskan, ”Akan sia-sia saja mencari tahu sejak kapan orang Tionghoa mulai mempelajari bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lain di Nusantara.”

Tentang “pendahulu kesusastraan Indonesia modern”, masih menurut Salmon (ibid), bisa disigi dari satu syair iklan (terbit 1886) bikinan saudagar Semarang, Ting Sam Sien. Syair berbahasa Melayu itu suatu promosi buku-buku roman Tionghoa terjemahan (41 judul) yang dijual di tokonya. Buku-buku itu terbitan antara 1883―1886. Diperkirakan, para penerjemahnya sudah mulai menulis di sekitar 1880-an. Sebagai bandingan, Sitti Nurbaya (Marah Rusli) terbit pada 1922 dan Student Hidjo (Mas Marco Kartodikromo) terbit pada 1919.

Dari Semarang juga ada pengarang Boen Sing Hoo (=Kesuburan Susastra). Nama aslinya Tan Tjien Hwa, pemilik satu toko buku di Jalan Tjapkauwking (kini Wotgandul Timur), Pecinan Semarang. Wartawan Warna Warta (terbitan NV Hap Sing Kong Sie) itu diyakini membuat syair pertama yang berisi kritik atas pacht (bahasa Belanda), yakni sistem monopoli candu di era kolonial, yang diterbitkan sebagai buku di Pulau Jawa. Buku itu berjudul Boekoe Sair Binatang: Landak, Koeda dan Sapi, terkarang dalem bahasa Melajoe rendah (terbit pada 28 Agustus 1889).

Sampai di sini tampak jelas, orang Tionghoa telah menyumbang sangat banyak nilai-nilai kehidupan di Nusantara. Tanpa disadari, dengan melahap bakmi jowo, misalnya, budaya Tionghoa bersemayam sampai dalam di perut kita.

TUBAGUS P SVARAJATI
Esais, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Senin: 13/06/2011.]

Senin, 06 Juni 2011

ETNIS CINA DAN AMNESIA SEJARAH


Suatu pemerintahan otokrasi yang panjang niscaya memecah kepribadian rakyatnya. Acapkali kesewenangan suatu rezim dilihat sebagai praktik pendisiplinan. Yang lebih parah: orang dengan sengaja melupakan sejarah kelam yang dilakukan oleh pemimpinnya yang telengas.

Rezim Orde Baru berkuasa dalam masa yang sangat lama. Sedari berkuasa, dalam tilikan banyak pakar, telah membekaskan catatan yang berdarah-darah. Kita tahu, semenjak Soeharto menerima tampuk kekuasaan, serentak setelah itu orang-orang yang dicap atau dikaitkan dengan komunisme—terkait peristiwa G30S—diganyang dan dibunuh. Benedict Anderson (Petrus Dadi Ratu, 2000) mencatat: “… meski Presiden Soekarno mencegahnya, Soeharto dan rekan-rekannya merencanakan dan melakukan pembunuhan cepat pada bulan-bulan Oktober, November, dan Desember 1965.”

Para keluarga korban G30S dipaksa terus menyandang stigma sebagai anak jadah pengkhianat bangsa. Hak-hak hukum, sosial, dan politik mereka dipangkas. Dalam pergaulan horisontal, bahkan secara tidak disadari, masyarakat menyisihkan mereka dalam kasta paria.

Akan tetapi, kekejian itu tidak berakhir di sana. Seakan menular, rezim Soeharto terus mereproduksi kekerasan dan pembunuhan demi tegaknya suatu pemerintahan yang aman dan stabil. Sejarah nasional kita juga mencatat, terlepas dari efektivitasnya mengurangi kriminalitas, Soeharto memerintahkan pembunuhan terencana terhadap mereka yang disebut penjahat kriminal. Fenomena itu (tahun 1983-1984), merujuk pada identitas sumir pembunuhnya, disebut sebagai “petrus” singkatan dari “penembak misterius”.

James T Siegel (2000), antropolog Universitas Cornell, berpendapat: “penjahat Indonesia bukan orang lain (the Other)” melainkan “anggota sebuah bangsa yang sama dengan yang membunuhnya”. Siegel seakan hendak menegaskan, para penjahat itu tidak lain citra cermin dari pembunuhnya sendiri. Pembunuh itu adalah preman atau, dengan kata lain, siapa pun yang memerintahkan pembunuhan itu berada dalam klasifikasi yang sama.

Represi atas Etnis Cina
Kekerasan dan pembunuhan terus berlanjut. Sejarah mencatat, rezim Orde Baru, melalui dan dengan peran milter, menorehkan lembar hitam di Aceh dan Papua. Dengan dalih integrasi, padahal jelas sebagai kolonisasi, Timor Timur pun ditaklukkan.

Lantas, di manakah “rakyat” diposisikan? Jargon dan ideologi pembangunan selalu meletakkan “rakyat” di pusat kemakmuran yang dimimpi-mimpikan. Namun, kita tahu, “kemakmuran” itu dicapai dengan cara-cara yang korup dan tangan besi. Dan “rakyat”, dalam hal ini etnis Cina, dilindas secara kultural, sosial, dan politis sembari diperalat secara ekonomis.

Diskriminasi terhadap etnis Cina, dalam tempo yang panjang, tidak lain ialah penindasan terhadap humanitas. Etnis Cina sebagai suatu “entitas” ditindas habis-habisan dan, meniru politik kolonialis devide et empera, dibenturkan dengan etnis (pribumi) lainnya. Bukti pelanggaran hak asasi lainnya ialah dilarangnya agama Khong Hu Cu, medio 1970-an. Represi politik dan kultural ini sungguh mengerikan: betapa saja, dalam suatu masa, para penganut konfusianisme dicerabut dari keyakinannya. Inilah banalitas yang dipertontonkan oleh rezim despotis pimpinan Jenderal Besar Soeharto.

Secara umum, rezim Orde Baru menindas etnis Cina nyaris dalam semua aspek kehidupan, kecuali di ranah ekonomi. Namun, sebaliknya, sekelompok etnis Cina—umumnya para pengusaha kaya yang dekat dengan penguasa—dilindungi dan dimanfaatkan rezim Orde Baru untuk kemakmuran penguasa, kroni, dan keluarganya. Kelompok yang merasa aman dan nyaman dalam lindungan sang patron ini lantas, kita tahu, telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia. Pengusaha etnis Cina tertentu itu dan rezim penguasa (pribumi) menjalin relasi yang lazim dikenal sebagai teori “konspirasi ekonomi Baba-Ali”.

Arketipe relasi “Baba-Ali” itu merata di setiap daerah. Akan tetapi, perlu diingat dan digaris-bawahi, tidak semua etnis Cina terlibat dalam konspirasi dengan penguasa rezim. Kenyataannya, sebagian terbesar dari mereka dalam kondisi terbungkam dan jauh dari akses kekuasaan politik, kelimpahan finansial, atau kesempatan mengekspresikan jatidirinya. Puncak penindasan mutakhir terhadap etnis Cina terjadi pada huru-hara Peristiwa Mei 1998. Gemunung catatan menyebutkan, banyak perempuan Cina dinista, diperkosa dan dibunuh dalam kekacauan saat itu.

Amnesia Sejarah
Kini, ketika angin reformasi bertiup memerdekakan humanitas rakyat Indonesia, ada saja orang-orang—termasuk sebagian etnis Cina—yang berbalik arah dan seolah senang kembali pada situasi represif di tangan rezim Orde Baru. Mereka melupakan dosa-dosa politik Soeharto yang memerintah dengan tangan berlumur darah. Tulisan Harjanto Halim (“Tat Twam Asi: Refleksi Wafat Pak Harto”, Suara Merdeka, Rabu, 6/2) jelas menunjukkan kesilapan mendasar dalam menyikapi kasus hukum Soeharto.

Berpihak kepada Soeharto tak dilarang asal proporsional. Meski banyak jasanya, namun tak terhitung pula tindakannya yang melanggar humanitas bangsa ini. Justru kesalahan Soeharto (dan kekejiannya) harus dibongkar dan dijadikan monumen ingatan kolektif bangsa ini agar ke depan kita tidak mengulang kesalahan yang sama. Pelurusan sejarah ini, tidak lain, demi harkat dan martabat bangsa ini juga.

Penuntutan atas kesalahan (rezim) Soeharto memang tidak perlu diekspresikan dengan sikap kasar atau cara-cara kekerasan. Kekasaran sikap yang terjadi tidak lain hanya menunjukkan jatidiri bangsa yang belum dewasa. Jelaslah, ini bukti lain tentang kegagalan pendidikan atau dekadensi moralitas yang diwariskan oleh rezim Soeharto.

Opini Harjanto Halim harus tidak dibaca sebagai sikap seluruh etnis Cina terhadap penghambaan pada (bekas) pusat kekuasaan (baca: Soeharto). Tentu tidak semua etnis Cina bersekutu atau memuja suatu rezim atau sosok penindas. Seseorang yang lekas-lekas atau sengaja melupakan noktah hitam sejarah bangsanya, barangkali, sedang mengidap amnesia akut.

Esai pendek ini cuma sebagai pengingat: Bahwa siapa pun mesti menghargai capaian prestasi atau kegagalan pemimpin bangsanya secara dewasa dan proporsional.

Tubagus P Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka (Jumat: 08/02/2008) sebagai tanggapan atas tulisan Harjanto Halim ”Tat Twam Asi: Refleksi Wafat Pak Harto”, Suara Merdeka, Rabu, 6/2 (bisa dibaca di: http://www.suaramerdeka.com/harian/0802/06/opi04.htm). Esai tidak terbit. Esai disunting seperlunya sebelum diunggah di blog.]

Kamis, 26 Mei 2011

MENCATAT UNTUK MENGINGAT

Blog ini menyimpan dan mempublikasikan berbagai tulisan tentang beragam pokok perhatian. Saya merasa perlu mengawetkan sebagian gagasan saya—yang berbentuk esai, catatan pendek, atau bahkan gumaman belaka— ke dalam blog ini demi tujuan mengingat. Setidaknya ini upaya menghalau lupa atau menolak pelupaan. Gagasan saya khusus tentang kesenirupaan bisa ditemui di sini: Tubagus P. Svarajati.