Sabtu, 14 Januari 2012

ESAI TANPA EPITAF

[Sumber foto: http://www.rootsweb.ancestry.com/~inhendr2/Epitaphs.html]

”Hidup yang dihabiskan buat menulis telah mengajari saya
agar berhati-hati pada kata-kata.”
—Amin Maalouf
*)

*)In the Name of Identity, terjemahan oleh Ronny Agustinus,
Penerbit Resist Book, Cetakan I: November 2004.

Seperti kelimun pengungsi yang telantar, seperti itu juga nasib manusia: penuh kegamangan. Esai, tak kurang-kurangnya, menapaki jalan bercabang-berliku dan kerap terlunta-lunta pula.

Jalan esai lempang-lapang bila bernasib baik. Ia segera diterbitkan di koran, majalah atau jurnal. Selaik nasib, jangan harap ada rasionalisasi atas esai yang mulus itu. Penjaga media enggan bertepuk tangan, apalagi menebar pujian. Tak ada sinyal sedikit pun kapan esai diterbitkan. Tiba-tiba saja ia muncul. Tak butuh lama-lama honor menyelinap di rekening tabungan. Begitu lazimnya.

Tentang esai-esai yang malang, yang tak sempat menghirup oksigen media, nasibnya sering amat buruk: terkubur entah di mana, tanpa nisan pula. Sang penulis, tentu, tak bisa menziarahi kuburnya. Celaka pula, penjaga media biasanya lalai, atau abai, mengabarkan kematian-kematian esai itu.

Bagaimana matinya esai-esai naas itu? Barangkali ada tangan-tangan kekar-perkasa yang melumatnya, sekali remas, setelah sekilas dilirik.

Mengapa esai dimatikan samar-samar saja penjelasannya. Beberapa tahun silam redaktur Kompas, Tonny D Widiastono, kurang-lebihnya berucap: Tiap hari Kompas menerima sekitar 80-an esai opini. Lima redaktur yang bertugas membaca kerap kewalahan. Alhasil, bila ide tulisan tak menarik, gramatikanya sembrono, atau kepanjangan, tak ayal esai itu disingkirkan. Ada juga hal yang membikin redaktur gemas. Bayangkan, ”setingkat profesor doktor” mengirimkan tulisan berupa dokumen Power Point.

Apakah berbekal ide menarik dan enak dibaca sebuah esai dipastikan terbit? Tak segampang itu. Redaktur pilih-pilih. Satu esai bisa saja ditolak di koran yang satu, namun lolos di koran lain. Padahal koran yang memuat, dalam anggapan umum, ”derajat”nya lebih tinggi ketimbang yang menolak. Saya punya pengalaman seperti itu. Koran mana saja, tak perlu disebutkan. Bikin repot aja kelak.

Untunglah jika esai yang dimuat utuh sempurna. Banyak kejadian malah begini: Esai mampir dulu di ruang otopsi. Tubuhnya digurat, disayat. Tulangnya ditekuk. Ototnya diikat. Darahnya disedot. Jantungnya dibelah dua. Parasnya dipermak. Setelah kegaduhan itu usai, esai baru diterbitkan. ”Aaaargh...!” sontak esai kaget melihat sosoknya sendiri. Sang penulis gemetar: ”Zombie!”

Apa yang bisa dilakukan, sebagai pembelaan, oleh seseorang penulis yang ”dibegitukan”? Tak ada. Ia menyerah.

TR, sebut saja begitu, bisa sebagai contoh. Ia pengajar di suatu perguruan tinggi swasta di Semarang. Suatu kali esainya terbit di Kompas edisi Jawa Tengah, namun sudah dipermak dan tinggal separo. Ia risau. Bagi dia, gagasan esai jadi buntung. Ia stop menulis, mutung. Sejak itu tulisannya raib dari media. Bak solider, sejurus kemudian Kompas edisi Jawa Tengah pun menghilang.

Permak-memermak esai memang kontroversial. Tindakan permak, dalam kaidah penyuntingan bahasa, legawa dipahami. Bagaimana jika satu esai dipenggal dan disisakan cuma separo. Etiskah?

”Esai lahir karena keinginan berkata-kata, semacam obrolan dalam bentuk tulisan,” tulis Ignas Kleden, ”Kalau obrolan adalah bentuk penuturan lisan, maka esai adalah perwujudannya dalam bentuk tulisan.” Masih menurut dia: Sebuah esai, karena itu, menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, tatkala daya tarik itu muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana.

Jadi, etiskah bila obrolan kita, prosa kita itu, dimutilasi dan sisanya saja yang dipublikasikan ke khalayak. Barangkali sangkaan itu patut didiskusikan. Selain itu, kita paham, industri media terikat aturan bisnis. Halaman koran terbatas dan mahal nilai jualnya. Esai yang tak memikat atau mencekam perhatian, tentu, tergusur.

Sebaliknya, sebagai ”ruang publik”—istilah ambivalen—koran mesti membuka diri bagi perjumpaan gagasan dialektis. Gagasan esai tak mesti ilmiah-obyektif. Esai tak harus ditulis oleh, pinjam istilah pemusik John Mayall, high powers and big names. Orang kebanyakan pun patut diberi kesempatan. Celakanya media suka bersekutu dengan mereka yang disebut ”pakar dengan rentetan gelar akademis” itu. Apakah tulisan-tulisan mereka simetri merefleksikan gelar-kepakarannya? Belum tentu.

Dalam konteks ”ruang publik” dan perjumpaan gagasan dialektis itu saya menulis risalah Mengawal Mural untuk kapling Wacana Lokal Suara Merdeka. Di situ saya tanggapi artikel Karya Seni Kota Semarang tulisan Prof Eko Budihardjo (Suara Merdeka, Sabtu, 31/12/2011). Sampai hari ini (Minggu, 15/1), tulisan saya tadi telah berumur dua belas hari. Bisa diduga, esai itu tak diterbitkan. Mungkin para penjaga kapling Wacana Lokal menganggap esai saya tidak cukup bermutu.

Demi kepatutan, para penjaga media mesti segera mengabarkan jika ada esai-esai yang ditolak terbit. Bila mungkin, lengkap dengan keterangan ”bagaimana” atau ”mengapa”-nya. Kami—para esais—toh mengirimkan risalah kami dengan surat pengantar, tidak diam-diam. Idealnya berlaku resiprokalitas tata krama dan etika redaksional. Jangan bungkam seribu bahasa. Industri media harus membangun tradisi etik suprema, agar beradab.

Kepada Anda sekalian, juga para penjaga media, saya ingin berbagi informasi. Saya dengan antusias membaca risalah Esai Godaan Subyektivitas yang termuat di buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, karangan Ignas Kleden (Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2004). Kleden dengan jenial menunjukkan raut semestinya tulisan bernama esai. Barangkali risalah tersebut bisa menyegarkan ingatan Anda.

Saya akhiri esai ini dengan mendaras asa sederhana: Jika esai-esai kami ditakdirkan mati prematur, mestilah mereka dibuatkan pusara selayaknya; agar para peziarah atau musafir mengenalinya.

—Tubagus P. Svarajati

Kamis, 12 Januari 2012

MENUNGGU PECINAN SEMARANG TERBAKAR


[Sumber foto: httpkfk.kompas.comkfkview51773]

PECINAN Semarang bisa terbakar ludas. Jika api berkobar, hampir dipastikan, bersumber dari trafo PLN celaka itu. Trafo itu bertengger angkuh di satu tiang, di ujung jalan Gang Cilik-Gang Pinggir.

Jumat (6/1) sore trafo itu kembali menggelegar. Sontak beberapa kabel menggantung kewer-kewer. Malamnya Pecinan gulita. Sebelumnya, pada Selasa (13/9/2011), trafo yang sama meledak dan terbakar sampai dua kali, sekitar jam 11:00 dan 22:00 WIB.

Pada kegaduhan tahun lalu, yang tanggal 13 September 2011 itu, trafo tadi tak kuat menahan beban berlebih. Pasalnya, sejumlah kelenteng mengadakan perayaan berbareng dan, tentu, memakai listrik berlebih.

Dalam catatan saya, trafo tersebut telah meledak atau terbakar sampai 7 kali dalam 2 tahun terakhir. Satu kali kebakaran cukup besar dan menakutkan: Ada lelehan minyak dan kabel yang membara apinya. Untung ada seorang penduduk yang sempat menyemprotkan busa pemadam kebakaran. Petugas PLN perlu waktu seharian memperbaiki trafo tersebut.

Kejadian itu, secara langsung, sangat merugikan kami. Seisi rumah ibu kami, yang berdekatan dengan trafo itu (hanya berjarak 1,5 meter), menjadi kotor dan sebagian peranti rumah tangga rusak. Belum lagi soal kerugian finansial yang ditanggung oleh para penghuni dan unit usaha sekitar.

Informasi dari petugas PLN menyebutkan: Trafo sumber petaka itu menanggung beban yang berlebihan. Sumber listrik terbanyak digunakan oleh unit-unit usaha besar di Pecinan, terutama perkantoran/perbankan.

Trafo yang terbakar atau memercikkan bunga api adalah kejadian yang menakutkan. Bukan tak mungkin kejadian itu akan berujung begini: Pecinan terbakar ludas.

Risau oleh akibatnya, bila Pecinan terbakar, saya berkirim surat pembaca ke koran Suara Merdeka. Dua kali surat saya tidak dimuat. Entah mengapa.

Saya pun berkirim berita kepada Harjanto Halim, ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis). Juga kepada beberapa orang kenalan yang, menurut hemat saya, adalah para intelektual yang barangkali peduli pada situs kota kuno Semarang itu.

Harjanto Halim dengan Kopi Semawisnya perlu saya ulik. Alasannya, lembaga itu mendaku, secara sepihak, sebagai representasi politik identitas dan habitus Pecinan. Juga, Kopi Semawis selalu menggemakan gagasan ”revitalisasi Pecinan”. Saya ingin tahu apa tindakah solutif mereka.

Sampai hari ini, setelah sejumlah komentar basa-basi terlontar, tak ada jalan keluar untuk masalah trafo yang kelebihan beban tersebut. Salah satu bekas pengurus RT di Pecinan, Heru Fenas, juga berjanji mengusahakan trafo itu bisa dipindah. Di depan saya ia menelepon pejabat PLN. Cuma begitu. Heru Fenas, seperti diakuinya, adalah salah satu konseptor awal Kopi Semawis.

Akan halnya lingkungan Pecinan adalah kawasan yang menyimpan paradoks dan ironi. Meski begitu, secara visual, lorong-lorong Pecinan, dengan sengkarut untaian kabel listrik-telepon di udaranya, amat menarik. Lingkungan ini santir kawasan ”baheula” di zaman posmo. Di balik itu, yang mencemaskan saya, Pecinan menyimpan bara yang sewaktu-waktu bisa mengabukan dirinya sendiri.

Selamat datang di Pecinan Semarang. Nikmati suasananya sebelum Pecinan punah menjadi abu.

—Tubagus P. Svarajati

Minggu, 08 Januari 2012

PEREMPUAN: YANG PUBLIK DAN YANG PRIVAT


Judul:
Kisah di Balik Pintu
Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat
Penulis:
Soe Tjen Marching
Penerbit:
Penerbit Ombak
Cetakan:
I, 2011
Tebal:
xxi + 256 halaman

Apa bedanya identitas yang ditampilkan seorang perempuan di mata publik dan dalam ranah privat? Soe Tjin Marching menjawabnya dengan menelisik 8 otobiografi (terpublikasi) dan 9 diari (tidak terpublikasi)—semuanya milik perempuan Indonesia.

Melalui penelitian itu Soe meraih PhD dari Universitas Monash, Australia. Disertasinya dibukukan bertajuk The Discrepancy between the Public and the Private of Indonesian Women (The Edwin Mellen Press, 2007). Kisah di Balik Pintu Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat adalah alih bahasa buku tadi ke bahasa Indonesia yang, menurut penulisnya, dibuat lebih populer.

Ass. Prof. Susan Blackburn, pengajar di School of Political and Social Inquiry, Universitas Monash, berkomentar, buku Soe “amat orisinal dan menggebrak”. Menurut dia, belum pernah ada analisa otobiografi perempuan Indonesia—utamanya tentang gender dan isu perempuan—seperti yang dilakukan Soe.

Soe menelaah otobiografi 8 perempuan yang semuanya lahir di Jawa, yakni Sujatin Kartowijono (Mencari Makna Hidupku, 1983), Rachmawati Sukarno (Bapakku Ibuku, 1984), Herlina (Pending Emas [1985] dan Bangkit dari Dunia Sakit [1986]), Inggit Garnasih (Kuantar ke Gerbang, 1988), Ratna Djuami Asmarahadi (Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno, 1992), Sulistina Soetomo (Bung Tomo Suamiku, 1995), dan Lasmidjah Hardi (Perjalanan Tiga Zaman, 1997). Mereka dianggap terlibat dalam perjuangan Kemerdekaan atau anak Proklamator. Sedangkan nama 9 penulis diari yang dikaji, disamarkan sebagai Fay, Lilies, Nani, Mar, Eli, Mina, Ema, Ida, dan Ani. Semuanya lahir setelah 1964 dengan latar sosial-edukasi beragam dan terkategori sebagai orang-orang biasa atau tidak terkenal.

Kita paham, ideologi rezim Orde Baru begitu dominan memengaruhi kehidupan orang Indonesia selama tiga dekade. Sadar atau tidak, ideologi itu—antara lain nilai-nilai kejawaan dan patriarkisme—merasuki pikiran hingga muncul dalam ekspresi keseharian orang Indonesia.

Berdasar kajian, ditemukan bahwa identitas perempuan mustahil terlepas dari wacana, persepsi atau ideologi-ideologi di sekitarnya. Perempuan yang menuliskan ”saya” atau ”gua” sekalipun—wujud identitas diri—terkadang merupakan hasil tawar-menawar antara bermacam suara pribadi, sosial dan ideologi. Apa-apa yang dituliskan juga tergantung pada situasi politik saat buku diterbitkan. Contohnya Pending Emas.

Awalnya Pending Emas terbit pada 1965 dengan pengantar Presiden Soekarno. Pada edisi 1985, pengantar Presiden Soekarno raib dan digantikan oleh Letjend Achmad Taher. Di buku edisi kedua itu nama Soeharto ditulis berulang-ulang dan berbunga-bunga. Padahal di buku sebelumnya Herlina tak menggambarkan kekagumannya kepada Panglima Komando Mandala itu. Alih-alih, tak sekali pun nama ”Soeharto” muncul di buku edisi pertama. Kesimpulannya, ekspresi atau identitas seseorang bukan milik diri sendiri, namun juga tergantung pada ”mata” kekuasaan yang mengawasinya. Tatkala Pending Emas edisi kedua terbit kita tahu, rezim Orde Baru sedang di puncak kekuasaannya.

Di dalam diari pengaruh tatapan luar (kuasa atau ideologi dominan) tak berarti nihil. Cara pandang stereotipe dan diskriminasi rezim Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, misalnya, muncul juga dalam diari. Tapi ada juga penulis diari yang tak setuju pada praktik diskriminatif itu.

Sering dianggap diari lebih benar, jujur dan menggambarkan fakta sebenarnya karena ditulis untuk diri sendiri, tak ada orang lain yang mengintip. Namun, Abbot, seperti dikutip Soe (pagina 22), bilang, ”Diari hanya menawarkan ilusi kejujuran.” Ada norma, tabu atau ideologi di luarnya yang tanpa sadar merasuki tiap jengkal penulisan diari. Faktanya, diri sendiri terbilang pembaca atau penatap lain atas diari yang ditulisnya.

Topik seksualitas—dalam otobiografi maupun diari—digambarkan cukup kompleks. Ada tabu dan kekangan dari luar—terutama norma keagamaan dan moralitas masyarakat—yang asimetri dengan gairah seksual para perempuan Indonesia. Semakin gamblang ilustrasi pengalaman seksual itu, semakin keras mereka mengutuki diri sendiri. Alhasil, seksualitas senantiasa berada dalam labirin wacana, bukan terutama masalah biologis semata. Soe (pagina 188) menyimpulkan, ”Seksualitas menjadi hal yang amat rumit. Dalam satu hal, ia dinikmati, dibutuhkan dan dipuja; namun dalam hal lain, ia juga dimaki dan dikutuk.”

Penelitian Soe melengkapi diskursus keperempuanan Indonesia yang sudah ada. Upaya Soe memburu diari-diari para perempuan Indonesia itu menarik disimak. Pada ujungnya terungkap, identitas perempuan Indonesia, dalam ranah publik atau privat, tak serta-merta terbebas dari jerat ideologi atau wacana dominan di sekitarnya. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Timbangan buku ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 8/1/2012.]