Jumat, 09 November 2012

Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota



Judul:
Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota

Penerbit:
Suka Buku, Semarang

Cetakan:
Pertama, Oktober 2012

Tebal:
xxii + 250 Hlm.

Ukuran:
12 x 19 cm

ISBN:
978602968-2

Harga:
Rp30.000,00

Ada dua hal dari buku ini yang menarik. Pertama, belum banyak buku yang mengkaji soal Pecinan Semarang. Kedua, penulisnya seorang budayawan cum jurnalis. Esai-esai dikemas dengan gaya jurnalistik sehingga kajian seberat apapun menjadi enak dibaca.
Renjani Puspo Sari, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang

Jika Anda bertanya, siapa yang mesti diajak bicara, sebagai pemangku kepentingan, tentang penanganan suatu kawasan dari segenap aspek di Kota Semarang, terutama kawasan Pecinan, 
jawaban saya: Tubagus Svarajati!
Gunawan Budi Susanto, dosen luar biasa FBS Universitas Negeri Semarang

Jika Anda ingin mendapatkan kritik tajam, lugas, tanpa basa-basi, dan jujur mengenai perkotaan, terutama kawasan Pecinan, bacalah tulisan Tubagus yang kadang hadir secara kasar, sinis, dan penuh ledekan. Percayalah, itu hanya cara lain sang penulis untuk menghargai, merawat, 
dan “mengekalkan” kotanya dari kehancuran.
Triyanto Triwikromo, sastrawan dan wartawan, tinggal di Semarang

Gagasan dan kritik pedas di buku ini tentang Pecinan — dari kerusakan lingkungan, transportasi, turisme sampai seni dan sastra — didasari pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang Pecinan dan masyarakatnya. Sesuatu yang sulit, bahkan mustahil, dipunyai orang yang tidak lahir dan besar di sana. Di tengah keengganan masyarakat Pecinan umumnya untuk bersuara akibat trauma masa lalu, teriakan lantang Tubagus mewakili aspirasi mereka.
Tjahjono Rahardjo, ketua Perkumpulan Seni Budaya dan
Gedung Cagar Budaya Sobokartti Semarang

Kota dalam kesadaran Tubagus adalah wilayah yang seharusnya menunjukkan watak manusiawi. Kota tanpa spirit keberadaban tidak lebih sebagai rimba raya modern 
yang membiakkan kebuasan dan keberingasan.
Triyono Lukmantoro, dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP 
Universitas Diponegoro Semarang



Dapatkan buku ini di:

Toko Buku PANDORA
Jln Singosari – Semarang
Tembalang – Semarang

Toko Buku TOGA MAS
Jln Bangkong – Semarang

Toko Buku MERBABU
Jln Pandanaran – Semarang

SEMARANG RESTAURANT
Jln Gajahmada – Semarang

HARUMI’S Tea and Noodle
Jln Puri Anjasmoro Blok B 1 No 16/17
Semarang

TJIANG RESIDENCE
Jln Gang Pinggir 24
Semarang

GLORY Stationery
Jln Gang Pinggir 9A
Semarang

Minggu, 07 Oktober 2012

Toko Buku Surya

[Situs toko buku Surya (tanah berpagar seng, kiri), Jl. Letjend. MT Haryono 289, Semarang. Foto diambil pada Jumat, 5 Oktober 2012.]

ENTAH bagaimana ketertarikan saya pada buku, atau minat baca saya, bermula. Sependek yang saya ingat, kami berdua—saya dan kakak lelaki—saling bertungkus-lumus dalam perkara baca-membaca. Itu kira-kira seusia anak sekolah dasar.

Tapi, tak mudah kami memuaskan hasrat pada bebacaan. Keluarga kami berkekurangan, karenanya tak ada uang berlebih untuk membeli buku. Apa daya, minat membaca meletup-membucah. Alhasil, sekerat koran pun kami lahap tuntas. Kami bolak-bolak potongan koran itu, kami serap aksaranya, tak hirau apa saja isi beritanya. Yang penting: ekstase membaca terpuaskan.

Kian lama minat baca kami meningkat. Rasanya kami tak peduli, apa saja yang beraksara, entah potongan koran, atau buku apa saja, kami sikat habis isinya. Saya ingat, pada waktu Sekolah Dasar hampir kami tunaikan, kami berdua mulai membaca majalah Intisari. Bagaimana mendapatkan majalah itu sedangkan kami tak berpunya? Berpatungan kami menyewa di suatu taman bacaan—tentu setelah kami sisihkan sebagian uang jajan yang tak seberapa. Begitulah suatu persewaan buku disebut, ketika itu, sekitar 1970-an, di Semarang. Di Sekolah Menengah Pertama, kami mulai beradaptasi dengan majalah Tempo. Demikianlah, terus-menerus minat baca kami berkembang. Kami melebarkan cara pandang sekaligus meluaskan hasrat kami pada kata-kata.

Tentang taman bacaan, ada rahasia khusus. Di sana kami—barangkali perlu koreksi: jangan-jangan saya yang termaksud, lebih tepatnya—tak sekadar menemu buku-buku komik, cerita silat Kho Ping Ho, majalah remaja, atau roman-novela. Rahasia taman bacaan itu tidak terselip di antara bebukuan atau di tumpukan majalah. Tapi, di suatu laci khusus. Di sanalah sang pemilik taman bacaan menyembunyikan nikmat-khayali itu. Itulah sejenis buku meski sekadar kumpulan kertas dengan jilid sederhana dan cetakan sekadarnya pula. Huruf-hurufnya tercetak model mesin ketik biasa, sering kali buram, tak jarang tintanya mengotori telapak tangan kita. Pasalnya, jelaslah, buku itu dicetak dengan mesin stensil. Tapi, isinya! Saya gemetaran pertama kali membacanya. Penuh ketelanjangan dan umbaran berahi. Menggairahkan.

Sesungguhnya istilah ’stensilan’ mengacu pada sejenis buku pornografi. Vulgar. Tanpa sensor. Bahasanya banal. Kisahnya langsung menohok, tanpa basa-basi. Justru itulah kekuatan utamanya. Pada era tujuhpuluhan, remaja yang tak bersinggungan dengan stensilan bolehlah ditandai sebagai kuno dan 'kuper', kurang pergaulan.

Pertama kali saya baca buku stensilan, selanjutnya hanya ada satu kata: ketagihan. Tapi, percayalah, bukan saya saja yang mengalami adiksi demikian. Bahkah ada orang yang sampai perlu mengoleksinya. Seseorang kawan wartawan, ketika bertugas di Medan beberapa tahun silam, ternyata beruntung bisa mendapatkan cukup banyak stensilan itu. Jadilah ia kolektor “buku tjabul” stensilan. Kita, tentu saja, tak pantas menyebutnya sebagai wartawan cabul.

Sekarang saya tidak perlu buku sejenis itu. Minat saya berubah. Lagi-lagi saya tak ingat bagaimana persisnya saya tertarik pada bacaan filsafat. Yang jelas, pada 1980-an, saya mulai membaca buku-buku filsafat. Saya membelinya di toko buku Surya, Semarang. Stempel toko buku Surya menyebutkan alamatnya: Jl. Letjen. Haryono 289 Tlp. 20722.

Bila Anda susuri Jalan MT Haryono, dari arah lalu-lintas searah selatan-utara, toko buku Surya tepat di sebelah kiri, di ujung jalan, sebelum belok ke Jalan Jagalan. Bangunannya tidak besar, mungkin hanya 4 meter lebarnya dan panjangnya sekitar 10 meter saja. Di kedua dindingnya menempel almari buku kuno, coklat tua, berpintu kaca. Warna kacanya suram tergerus umur. Tinggi almari hampir menyentuh plafon. Di depan almari dinding masih ada almari kaca setinggi dada orang dewasa. Kacanya sudah buram pula. Lemari-lemari itu penuh buku. Si penjual buku, pelayan toko atau sang pemilik sendiri, melayani pembeli dari antara almari dinding dan almari pendek itu. Pembeli, berdiri di luar almari pendek, memang tak leluasa memilih buku. Saya pun kesulitan memilih-memilah buku yang saya sukai.

Toko buku Surya terutama menjual buku-buku pelajaran sekolah, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Hanya sedikit buku-buku umum. Lainnya beberapa jenis majalah. Seingat saya, saya tak menjumpai buku-buku cerita silat karya, misalnya, Kho Ping Ho atau Gan KL. Untuk buku-buku sejenis itu, biasanya, saya beli di toko buku Sutawijaya. Toko buku yang kedua ini juga di Jalan MT Haryono, tak jauh dari toko buku Surya.

Meski koleksi toko buku Surya tak banyak, entah mengapa ada juga dijual buku-buku filsafat. Di sinilah, untuk pertama kalinya, saya mengenal apa itu filsafat. Sejujurnya, sampai sekarang pun, filsafat ialah cabang keilmuan diskursif yang tak mudah bagi sebagian besar orang, tak terkecuali saya. Tetapi, lagi-lagi harus saya ungkapkan, saya tak paham mengapa saya tertarik pada buku-buku sejenis itu. Sungguh. Membacanya pun, bagi remaja tanggung pada 1980-an itu, saya tak paham benar maksudnya. Hanya hasrat membaca sajalah yang menuntun saya meniti aksara demi aksara, menjalin kognisi dan berupaya merasionalisasi apa-apa yang terserap, dan tak jarang itu semua berakhir di lembah kebingungan.

Begitulah proses saya membaca filsafat, bertahun-tahun. Setelah koleksi buku saya berderet-berdesakan di beberapa rak, berserak di beberapa sudut rumah atau ruang, saya masih membaca dengan cara begitu: pemahaman selalu bermula dari upaya keras, sering kali melelahkan, merangkai ide-ide atau petikan-petikan isi buku menjadi piramida pengetahuan. Maklum, masih dengan alasan sama: kami sangat berkekurangan dalam hal finansial, pendidikan formal saya tak memadai untuk menekuni kajian filsafat atau cecabang keilmuan lain agar bisa menjadi seorang akademisi tangguh atau pemikir brilian.

Selain filsafat, minat baca saya melebar hingga ke risalah sastra, sosial, politik, fotografi, seni rupa, dan kajian-kajian humaniora lain. Saya bersyukur, dengan praksis belajar sirkular, meliuk, tidak linear, maka kognisi saya meluas dan karena itu saya mudah berputar haluan menelisik, menelusup hingga menyelami palung kritisisme demi kritisisme. Tapi, sebaliknya, harus saya akui sejujurnya, model pembelajaran seperti itu menghasilkan cuma keseolahan intelektualitas. Saya sekadar memungut remah-remah gagasan, memamah-biak, bukan membangun ketangguhan logiko-rasio tertentu. Sungguh, saya sekadar seorang yang seolah tahu hal banyak, namun sering kali tak mengerti pernik-pernik kebenaran terpuji yang meruah di sekeliling saya.

Upaya membeli buku, ketika saya sebagai remaja, masih bukan perkara mudah. Saya harus berhemat, menabung sebagian sisa uang jajan, agar sesegera mungkin bisa kembali ke toko buku Surya. Saya tinggal menyeberang jalan saja jika hendak ke toko buku Surya. Ketika itu keluarga kami mengontrak sebuah rumah di Jalan MT Haryono, berseberangan jalan dengan toko buku Surya, berjarak sekitar 50 meter saja. Di rumah kontrakan itu, keluarga kami—kecuali saya yang berdiam sembari menjaga rumah kami di Gang Cilik, Pecinan Semarang—berjualan ayam goreng. Warung kami bernama ”Ayam Goreng Gaya Baru”.

Kenangan saya pada toko buku Surya, barangkali, segera sirna bersama robohnya bangunan toko itu. Tampaknya bangunan toko buku Surya sedang dan akan dibangun dengan bangunan baru. Ini hal yang tak dapat dicegah. Toko buku, apalagi bila ukurannya kecil, memang tak menjanjikan madu-laba setakat ini. Toko buku semacam itu tentu kalah bersaing dengan toko sejenis yang bermodal besar. Beberapa tahun belakangan, memang, toko buku Surya telah bersalin rupa menjadi toko busana. Agaknya toko busana itu juga tak bertahan lama. Alhasil, toko itu tutup selama beberapa tahun.

Dengan esai ini saya ingin berterima kasih pada toko buku Surya. Langsung atau tidak, toko itu palung pertama saya menyelami kedalaman dan keluasan kognisi, tentu saja, melalui bebacaan, melalui bebukuan ’bermutu’.

Bisa dibilang toko buku Surya pernah menjadi bagian dari sejarah-peradaban kota. Di sana aksara-aksara merapat menjadi bebacaan atau bebukuan. (Tubagus P. Svarajati)

Kamis, 09 Agustus 2012

Reruntuhan Chung Hwa Photo Supply


CHUNG HWA PHOTO SUPPLY digempur, mulai hari ini (9/8). Temboknya hancur. Lantainya remuk. Jelas, sejarahnya segera jadi abu.

Dari gedung itu, di suatu masa ketika para meneer Belanda digdaya di tanah Hindia Belanda, penduduk Semarang seakan sejajar dengan masyarakat Eropa. Riwayat cerlang itu terhimpun dalam kecanggihan teknologi fotografi.

Saya ingat, meski samar-samar, seseorang pernah bercerita, Chung Hwa Photo Supply adalah toko fotografi kondang, sekaligus importir besar, di zamannya. Kisahnya dimulai dari ayahanda Lukito. Dan Lukito ialah fotografer tua yang, kata sebagian kenalan saya, tergolong kampiun. Saya tak ingat nama lengkap Lukito. Barangkali Lukito Tansil atawa Lukito Joedaatmadja. Entahlah.

Lukito salah satu tokoh Semarang Photo Club (SPC)—suatu klub foto amatir yang masyhur di sekitar 1970 sampai 1980-an akhir. Masyarakat fotografi Semarang paham, tahun-tahun belakangan SPC tidak berdaya lagi. Kisahnya meredup bersama uzurnya umur para anggotanya. Saya tak tahu, siapa saja anggotanya yang tertua. Tapi jelas mereka seumur Tan Thiam Kie kiranya, di sekitar 65-an tahun atau lebih. Sosok Thiam Kie tentu banyak yang kenal. Ia salah satu fotografer amatir Semarang yang paling sering didaulat menjadi juri, di berbagai lomba foto, di ranah lokal sampai internasional.

Robohnya gedung Chung Hwa niscaya merontokkan sebagian tubuh historis SPC. Tentu sebagian jejak klub itu tertinggal di sana. Padahal orang mengenang SPC identik dengan fotografi Semarang—tentu di masa keemasannya. Alhasil, sepenggal sejarah kota ini raib pula. Apa boleh buat.

Dan sore tadi, di saat matahari belum condong benar, beberapa pekerja terus menggempur  tembok bangunan itu—di perempatan jalan Ki Mangunsarkoro—Karang Saru, Semarang. Tadi seorang pekerja bangunan bilang, Lukito telah mangkat, belum lama benar. Barangkali memang begitu, sebab seseorang kawan pernah berkata, dia lama gering oleh sesuatu penyakit. Saya pernah bertandang ke rumahnya, bercengkerama dengan dia di suatu petang, dan itu telah berbilang tahun lamanya.

Sabtu, 02 Juni 2012

ADIDAS, PAYUDARA, INJIL YUNANI DAN LAIN-LAIN



Judul
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia
Kumpulan Catatan Perjalanan, Jilid 3
Penulis:
Sigit Susanto
Penyunting:
Puthut EA
Penerbit:
Insist Press, Yogyakarta
Cetakan:
Pertama, April 2012
Tebal:
xxiv + 307 halaman

Sigit Susanto pelancong yang tekun. Tak cuma berpesiar, ia sekaligus mencatat dan menuliskan pelesirannya. Terbilang 36 negara telah dikunjunginya. Penulis kelahiran Boja, Kendal, Jawa Tengah, itu memulai tiap pelancongannya dari negeri Swiss. Ia menetap di negeri orang sejak April 1996.

Pada tiap pelesirannya Sigit selalu ditemani oleh istrinya, Claudia Beck, warga negara Swiss. Jangan bayangkan mereka berdua pengembara romantik yang berkelana sepanjang tahun. Sigit dan istrinya berumah dan bekerja di Swiss. Hanya saja, tiap tahun, mereka gemar berpesiar. Bepergian di luar Eropa pun mereka menggunakan biro jasa wisata dan pemandu (guide).

Menariknya, di tengah sempitnya tempo pesiar, antara satu—dua minggu, Sigit teliti merekam detail peristiwa atau lokasi yang didatanginya. Kesan-kesannya pun diungkapkan secara menarik. Catatannya rinci, penuh warna lokal, dan berciri etnografis. Dengan membaca esainya, pembaca membayangkan dirinya di ruang-waktu yang sama bersama Sigit. Padahal, catatan perjalanan tersebut ditulis belakangan, bahkan terkadang setelah tiga tahun usai pelesirannya.

Minatnya pada kesusastraan, sosial-politik, sejarah atau kebudayaan umumnya kian memberi bobot pada tiap catatan perjalanannya. Dalam ranah sastra, alumnus Akaba 17, Semarang, ini mengidolakan sastrawan Franz Kafka dan James Joyce.

Buku catatan perjalanannya yang ketiga tersebut manampung kisah-kisahnya ke negara-negara Kenya, India, Turki, Yordania, Skandinavia (Denmark, Finlandia, Swedia dan Norwegia), Polandia, Mesir, Sicilia, Hongkong, Kamboja, dan Yunani. Total ada 13 esai di buku ini.

Melongok ke Dalam
Seperti galibnya turis, Sigit pun menyinggahi berbagai objek wisata kondang. Museum atau bangunan bersejarah, seperti (bekas) istana, agaknya adalah destinasi utama. Contohnya, ia kunjungi arena pacuan kuda, reruntuhan kerajaan Romawi, di Yordania. Disambangi pula masjid Hagia Sophia, Istanbul, Turki. Awalnya masjid itu adalah bangunan gereja di zaman Byzantium. Pada masa kerajaan Usmaniyah, di tarikh 1453, atas titah sultan Mehmed II gereja itu dijadikan masjid. Hagia Sophia bertahan sebagai masjid hingga 1931. Pada 1935 pemerintah Turki mengubahnya menjadi museum.

Di India, kunjungan wajib tentu ke Taj Mahal. Namun kenangan terdalam barangkali terpatri di Kota Biru, julukan bagi Jodhpur. Claudia dan Sigit melenggang di pasar. Mereka dikuntit anak-anak jalanan dekil, berpakaian kotor dan robek-robek. Claudia iba melihat kondisi mereka. Dicarinya penjual baju bekas. Lantas delapan anak dibiarkan memilih baju-celana kesukaannya, gratis. Tak ayal, di sepanjang jalan, tangan Claudia dan Sigit digandeng bocah-bocah fakir itu. Genggaman jari-jemari kurus itu lekat-kuat sampai akhirnya sang pelancong murah hati melesat pulang dengan bajaj.

Kisah simpatik di Jodhpur mewarnai buku ini bersama cerita sastra dan nukilan-nukilannya di sekujur risalah. Pembaca bakal silap bila ingin mencari informasi standar buku petunjuk wisata. Tak ada keterangan how to get there, how to eat, atau how to stay. Isi buku lebih pada tuturan kesan dan, di sana-sini, kontemplasi penulis. Dengan cara itu seolah pembaca diajak melongok lebih dalam, tentang the other side, ke pelosok tempat yang dikunjunginya.

Buku ini layak pula dianggap sebagai reportase jurnalistik. Seperti terhadap jurnalis, yang kita beri mandat sebagai penyambung mata-telinga kita, Sigit pun bisa kita percayai atas reputasinya sebagai pelancong tangguh. Esai-esai dalam buku ini absah. Menyimaknya, pemahaman pembaca tentang sosiokultural suatu negara bakal lebih mendalam.

Karangan Sigit enak dibaca. Barangkali latarnya sebagai pemandu wisata di Bali, belasan tahun silam, turut membantu. Tak jarang kalimatnya memikat, contohnya: Binatang liar berkecambah dan dipagar gunung Kilimanjaro di kejauhan (halaman 12). Sebaliknya, di pagina yang sama, tersua kalimat tak logis, seperti: Yang menakutkan jika mobil tak bisa keluar, kami harus bermalam di dalam mobil yang banyak binatang buas.

Bila gramatika dibenahi dan struktur kisahan tidak linear-monoton, niscaya, narasinya bakal kian menawan. Meski begitu, di sana-sini, pembaca bisa menemukan kejutan-kejutan menarik tentang, misalnya, gajah warna merah, Adidas, payudara, atau Injil Yunani. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Timbangan buku dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis: 10/05/2012.]

Kamis, 09 Februari 2012

PECINAN LUPA SEJARAH

[Sumber foto: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?s=914e38a0c2444eb21b7f26cf51092ecf&p=25389736#post25389736]

PENDUDUK Pecinan Semarang, jika saya boleh berprasangka, seperti lupa pada riwayat permukimannya. Lazimnya pelupa, orang berpikir serampangan dan bertindak gampangan. Maka, wilayah Pecinan terkini, ibaratnya, adalah raut komunitas pelupa.

Di zaman kolonial—pada tarikh 1741—orang-orang Tionghoa Semarang direlokasi di suatu tanah kosong, di tepi barat sungai. Hunian ini tak jauh dari benteng Belanda (sekarang Kota Lama) sehingga mereka masih mudah diawasi. Tindakan itu diambil karena pemerintah Hindia Belanda takut terulangnya pemberontakan orang Tionghoa (di Batavia, 1740). Tercatat ribuan orang Tionghoa terbantai saat itu.

Seiring beringsutnya waktu, orang Tionghoa beranak-pinak dan permukimannya berkembang pesat. Mengutip penelitian HF Tillema, Pratiwo (2005) menyebutkan, pada 1911 populasi di Pecinan mencapai 1000 orang/ha dan mortalitasnya 64,3/1000 orang. Ketika itu Pecinan adalah wilayah kumuh, gersang, dan tidak sehat.

Melihat buruknya lingkungan, kotapraja mengizinkan orang Tionghoa tinggal di luar Pecinan. Pratiwo (2010) mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda menghapuskan Wijkenstelsel pada 1915, orang Tionghoa banyak mendirikan rumah-toko (ruko), antara lain, di jalan Ambengan (MT Haryono), Bojongsche weg (Pemuda), jalan Karangturi (Dr Cipto) sampai Peterongan. Data-data tersebut berasal dari Liem Thiam Joe (1937).

Tersebarnya permukiman orang Tionghoa di seantero kota, dalam konteks sosiologis, membuktikan satu hal: Tionghoa Semarang mampu beradaptasi dan membaur dengan masyarakat dan lingkungan lebih luas.

Akan halnya Pecinan tumbuh sebagai salah satu pusat perdagangan utama di Semarang. Berdasarkan amatan terkini, di Pecinan sekarang ada pusat perdagangan kain (Gang Warung), pertokoan emas (Gang Pinggir), dan pasar tradisional kelas wahid (Gang Baru). Rumah makan, bank, hotel, toko alat tulis, salon, optik, apotek, money changer, praktik dokter dan sebagainya tersebar di Gg Pinggir, Gg Warung, Gg Besen, Gg Tengah, Gg Gambiran atau nyaris di setiap jalan di Pecinan.

Logis, sebagai pusat perdagangan Pecinan membutuhkan tempat usaha lebih luas. Hal ini disiasati dengan diubahnya rumah-rumah hunian sebagai unit usaha. Segera rumah-rumah tradisional kecinaan dirobohkan dan dibangunlah yang baru (rata-rata berlantai tiga). Nyaris pertambahan “rumah baru” tak terkontrol.

Agaknya penduduk Pecinan lupa pada diskriminasi yang menimpa mereka. Pada 1970-an rezim Orde Baru—c.q. pemerintah kota Semarang—memangkas habis fasad arsitektural kecinaan rumah-rumah, utamanya, di jalanan protokol Gg Pinggir-Gg Warung. Dalihnya, demi pelebaran jalan dan keindahan wilayah. Alhasil, seluruh raut bangunan di Pecinan berubah: serupa kerangkeng dengan lajur tembok lurus di lantai duanya.

Di masa represif itu, di tahun-tahun tatkala komunisme-fobia merebak dan kebudayaan Tionghoa dalam semua ekspresinya diberangus, penduduk Pecinan was-was bila menolak mengubah rumah mereka. Muncul isu, mereka bakal dipenjara bila tidak menuruti kehendak penguasa.

Lantas, dengan alasan menanggulangi banjir, pemerintah memaksakan Normalisasi Kali Semarang (NKS), pada akhir 1980-an. Puluhan bangunan kuno dibongkar atau dikepras. Di jalan Petudungan 22 ruko dihancurkan, 3 di antaranya hanya tersisa 3-4 meter. Di Gg Warung 24 ruko bagian belakangnya dipotong. Proyek NKS ini, tentu saja, ditentang keras oleh terutama pemilik bangunan yang rumahnya terdampak. Tapi, akhirnya mereka kalah juga.

Setelah NKS selesai kali Semarang tidak menjadi lebih baik. Airnya pun tidak mengalir lancar. Jalan inspeksi di kedua sisinya malah kumuh dan banjir di seantero kota tetap tak teratasi. Menurut Pratiwo (ibid), yang melakukan penelitian doktoralnya di Pecinan Semarang pada 1986-1987, NKS itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Parahnya, proyek itu telah menghancurkan banyak bangunan kuno sebagai warisan budaya yang mestinya dikonservasi.

Berkaca pada fakta-fakta di atas, tidakkah penduduk Pecinan tergugah menjaga identitas lingkungannya demi pewarisan budaya kepada generasi berikutnya? Faktanya, mereka seperti berlomba melumat jatidirinya sendiri. Satu demi satu gedung kuno dihancurkan, diganti dengan bangunan baru yang, celakanya, tidak lebih indah dari yang lama.

Hari-hari ini di Gg Tengah empat bangunan dirobohkan—tanahnya dibiarkan mangkrak—dan tiga rumah sedang didirikan. Di Gg Gambiran dan Gg Pinggir masing-masing ada pembangunan satu gedung baru. Dua gedung pun sedang didirikan di Kalikoping.

Jika dibiarkan semena-mena, tanpa penataan serius, Pecinan akan menjadi kawasan tanpa identitas. Juga, akibat daya dukung lingkungan terbatas dan infrastruktur yang sarat beban, di Pecinan suatu saat bakal timbul permasalahan genting dengan biaya sosial-ekonomi yang besar.

Sebagai pengingat, masyarakat pelupa niscaya sedang menggali kuburnya sendiri lebih lekas. Sangat bijak jika pinisepuh Pecinan bertindak sebelum nasi menjadi bubur.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Esais, lahir dan besar di Pecinan Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Minggu: 31/10/2010; tidak terbit. Diunggah ke Facebook https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150162664029181, Sabtu: 09/04/2011.]

Rabu, 01 Februari 2012

WISATA PECINAN SEMARANG

[Sumber foto: http://regional.kompas.com/read/2012/01/25/10251215/Dilestarikan.Kawasan.Pecinan.Semarang]

Semakin jelas Pecinan Semarang adalah salah satu magnet wisata kota. Barangkali para pelancong tertarik oleh sejarah, denyut nadi keseharian, atau tata lingkungannya. Pasar kuliner Waroeng Semawis, di sepanjang jalan Gang Warung, melengkapi daya tarik kawasan kota tua itu.

Karena itu, mesti dipikirkan bagaimana merancang kawasan itu sebagai destinasi wisata terpadu agar terhindar dari ekses-ekses yang merugikan. Selama ini upaya ke arah sana belum terorganisasi baik. Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), yang sepihak mendaku sebagai representasi warga Pecinan Semarang, hanya berfokus pada sisi komersialnya. Lembaga tersebut cuma mengelola Waroeng Semawis, tiap pekan, dan Pasar Imlek Semawis, setahun sekali.

Peran pemerintah? Nihil. Warga Pecinan Semarang tak tahu, seperti apakah cetak biru kawasan domisilinya sebagai destinasi wisata kota. Tak pernah sekalipun ada sosialisasi oleh pemerintah, tak juga oleh pengurus Kopi Semawis, tentang arah atau bentuk turisme di sana. Padahal, pada hemat saya, tak sulit merancang wilayah itu sebagai destinasi wisata kota. Faktanya, Pecinan Semarang bukan wilayah tak bertuan atau senyap, tapi dinamis secara ekonomis dan kultural.

Pecinan Semarang dan sekitarnya—Beteng, Kranggan, Johar, Kauman, Jurnatan, Pekojan dan MT Haryono—adalah sentra perdagangan utama di Semarang. Kenyataan ini membuat wilayah tersebut punya daya tarik kuat. Perekonomian—formal maupun informal—tumbuh pesat, secara alamiah. Relasi warga dengan ”orang luar” pun intens sekali. Menurut saya, sifat hakiki perdagangan—egaliter dan transparan—mendasari pergaulan warga di sana selama ini. Alhasil, keliru menganggap Pecinan Semarang sebagai kawasan tertutup atau eksklusif. Itulah keunikan Pecinan Semarang meski pada awalnya adalah suatu enclave yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda.

Sifat terbuka itu juga yang mengundang sejumlah ”tokoh” atau ”lembaga” berdatangan mengail rejeki atau reputasi di Pecinan Semarang. Pada hemat saya, faktor keterbukaan—dalam nada minor cenderung seperti ketakacuhan—warga inilah modal utama menjadikan Pecinan Semarang sebagai destinasi wisata kota. Warga akan mudah diajak bekerja sama asalkan harkatnya dihargai.

Kawasan Turisme Terpadu

Mengamati perkembangan terkini, sudah waktunya dibuat desain kawasan wisata terpadu Pecinan Semarang. Kian banyak pelancong berdatangan di sana, terutama didominasi oleh anak-anak muda. Hal itu mudah dipahami mengingat akhir-akhir ini jumlah pelancong di dalam negeri meningkat seiring dengan tumbuhnya kelas menengah perkotaan. Mobilitas mereka didukung oleh makin mudahnya akses informasi, transportasi dan daya dukung lainnya.

Desain kawasan wisata terpadu mesti mampu memetakan Pecinan Semarang dalam kerangka ekonomi, budaya, dan sosio-politik. Dalam bidang ekonomi, tak terbantahkan, di Pecinan Semarang berputar kapital besar. Banyak kalangan menggantungkan hidupnya di sektor ini. Di ranah budaya, Pecinan Semarang tempat tumbuh-kembangnya kultur peranakan Tionghoa, antara lain, keragaman kuliner dan kesenian etnik. Sedangkan dalam aspek sosio-politiknya tampak jelas betapa harmonisnya pergaulan warga dengan komunitas lain dan lingkungan sekitarnya. Semua itu pantas lebih diberdayakan dan dijadikan model bagi ketahanan bermasyarakat, khususnya di tingkat kota Semarang.

Perlu diingat, wisata Pecinan Semarang tak harus bergantung pada budaya kelenteng, kesenian etnik atau kuliner saja. Seni urban-kontemporer, aspek literer—sastra peranakan, misalnya—atau sejarah lisan pantas diangkat. Claudine Salmon (Sastra Indonesia Awal, Kontribusi Orang Tionghoa, Penerbit KPG, 2010) menyebutkan dengan jelas jejak-jejak “pendahulu kesusastraan Indonesia modern” dimulai di Semarang. Dengan memediasi seni urban-kontemporer dan menerbitkan karya sastra atau folklor Pecinan Semarang, pada hemat saya, bakal turut memperkaya nuansa wisata di sana.

Kini tergantung pada keseriusan pemerintah menangani wisata Pecinan Semarang lebih lanjut. Pemerintah mesti merancang kawasan itu menjadi destinasi pelancongan yang nyaman dan menarik serta menyejahterakan warga dan semua pemangku kepentingan. Lingkungan dan infrastruktur pendukungnya perlu segera dibenahi. Sejauh ini capaian Kopi Semawis patut dihargai meski warga tetap menagih janji wujud ”revitalisasi” Pecinan Semarang yang selalu diuar-uarkan itu.

Tentang kesigapan warga, dalam ranah ekonomi turisme, tak perlu diragukan. Sekarang ada home stay atau penginapan baru di Pecinan Semarang. Usaha lain—semisal rumah makan—sudah lancar sebelumnya. Yang belum tergarap, antara lain, event atau tontonan kesenian reguler.

Jika turisme Pecinan Semarang tertata baik, di samping jelas kontribusi devisanya, juga tereliminasi ekses sampingannya. Warga senang dan pemerintah tercitrakan positif pula.

TUBAGUS P SVARAJATI

Warga kota Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Wacana Lokal—Suara Merdeka, Rabu: 25 Januari 2012.]

Sabtu, 14 Januari 2012

ESAI TANPA EPITAF

[Sumber foto: http://www.rootsweb.ancestry.com/~inhendr2/Epitaphs.html]

”Hidup yang dihabiskan buat menulis telah mengajari saya
agar berhati-hati pada kata-kata.”
—Amin Maalouf
*)

*)In the Name of Identity, terjemahan oleh Ronny Agustinus,
Penerbit Resist Book, Cetakan I: November 2004.

Seperti kelimun pengungsi yang telantar, seperti itu juga nasib manusia: penuh kegamangan. Esai, tak kurang-kurangnya, menapaki jalan bercabang-berliku dan kerap terlunta-lunta pula.

Jalan esai lempang-lapang bila bernasib baik. Ia segera diterbitkan di koran, majalah atau jurnal. Selaik nasib, jangan harap ada rasionalisasi atas esai yang mulus itu. Penjaga media enggan bertepuk tangan, apalagi menebar pujian. Tak ada sinyal sedikit pun kapan esai diterbitkan. Tiba-tiba saja ia muncul. Tak butuh lama-lama honor menyelinap di rekening tabungan. Begitu lazimnya.

Tentang esai-esai yang malang, yang tak sempat menghirup oksigen media, nasibnya sering amat buruk: terkubur entah di mana, tanpa nisan pula. Sang penulis, tentu, tak bisa menziarahi kuburnya. Celaka pula, penjaga media biasanya lalai, atau abai, mengabarkan kematian-kematian esai itu.

Bagaimana matinya esai-esai naas itu? Barangkali ada tangan-tangan kekar-perkasa yang melumatnya, sekali remas, setelah sekilas dilirik.

Mengapa esai dimatikan samar-samar saja penjelasannya. Beberapa tahun silam redaktur Kompas, Tonny D Widiastono, kurang-lebihnya berucap: Tiap hari Kompas menerima sekitar 80-an esai opini. Lima redaktur yang bertugas membaca kerap kewalahan. Alhasil, bila ide tulisan tak menarik, gramatikanya sembrono, atau kepanjangan, tak ayal esai itu disingkirkan. Ada juga hal yang membikin redaktur gemas. Bayangkan, ”setingkat profesor doktor” mengirimkan tulisan berupa dokumen Power Point.

Apakah berbekal ide menarik dan enak dibaca sebuah esai dipastikan terbit? Tak segampang itu. Redaktur pilih-pilih. Satu esai bisa saja ditolak di koran yang satu, namun lolos di koran lain. Padahal koran yang memuat, dalam anggapan umum, ”derajat”nya lebih tinggi ketimbang yang menolak. Saya punya pengalaman seperti itu. Koran mana saja, tak perlu disebutkan. Bikin repot aja kelak.

Untunglah jika esai yang dimuat utuh sempurna. Banyak kejadian malah begini: Esai mampir dulu di ruang otopsi. Tubuhnya digurat, disayat. Tulangnya ditekuk. Ototnya diikat. Darahnya disedot. Jantungnya dibelah dua. Parasnya dipermak. Setelah kegaduhan itu usai, esai baru diterbitkan. ”Aaaargh...!” sontak esai kaget melihat sosoknya sendiri. Sang penulis gemetar: ”Zombie!”

Apa yang bisa dilakukan, sebagai pembelaan, oleh seseorang penulis yang ”dibegitukan”? Tak ada. Ia menyerah.

TR, sebut saja begitu, bisa sebagai contoh. Ia pengajar di suatu perguruan tinggi swasta di Semarang. Suatu kali esainya terbit di Kompas edisi Jawa Tengah, namun sudah dipermak dan tinggal separo. Ia risau. Bagi dia, gagasan esai jadi buntung. Ia stop menulis, mutung. Sejak itu tulisannya raib dari media. Bak solider, sejurus kemudian Kompas edisi Jawa Tengah pun menghilang.

Permak-memermak esai memang kontroversial. Tindakan permak, dalam kaidah penyuntingan bahasa, legawa dipahami. Bagaimana jika satu esai dipenggal dan disisakan cuma separo. Etiskah?

”Esai lahir karena keinginan berkata-kata, semacam obrolan dalam bentuk tulisan,” tulis Ignas Kleden, ”Kalau obrolan adalah bentuk penuturan lisan, maka esai adalah perwujudannya dalam bentuk tulisan.” Masih menurut dia: Sebuah esai, karena itu, menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, tatkala daya tarik itu muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana.

Jadi, etiskah bila obrolan kita, prosa kita itu, dimutilasi dan sisanya saja yang dipublikasikan ke khalayak. Barangkali sangkaan itu patut didiskusikan. Selain itu, kita paham, industri media terikat aturan bisnis. Halaman koran terbatas dan mahal nilai jualnya. Esai yang tak memikat atau mencekam perhatian, tentu, tergusur.

Sebaliknya, sebagai ”ruang publik”—istilah ambivalen—koran mesti membuka diri bagi perjumpaan gagasan dialektis. Gagasan esai tak mesti ilmiah-obyektif. Esai tak harus ditulis oleh, pinjam istilah pemusik John Mayall, high powers and big names. Orang kebanyakan pun patut diberi kesempatan. Celakanya media suka bersekutu dengan mereka yang disebut ”pakar dengan rentetan gelar akademis” itu. Apakah tulisan-tulisan mereka simetri merefleksikan gelar-kepakarannya? Belum tentu.

Dalam konteks ”ruang publik” dan perjumpaan gagasan dialektis itu saya menulis risalah Mengawal Mural untuk kapling Wacana Lokal Suara Merdeka. Di situ saya tanggapi artikel Karya Seni Kota Semarang tulisan Prof Eko Budihardjo (Suara Merdeka, Sabtu, 31/12/2011). Sampai hari ini (Minggu, 15/1), tulisan saya tadi telah berumur dua belas hari. Bisa diduga, esai itu tak diterbitkan. Mungkin para penjaga kapling Wacana Lokal menganggap esai saya tidak cukup bermutu.

Demi kepatutan, para penjaga media mesti segera mengabarkan jika ada esai-esai yang ditolak terbit. Bila mungkin, lengkap dengan keterangan ”bagaimana” atau ”mengapa”-nya. Kami—para esais—toh mengirimkan risalah kami dengan surat pengantar, tidak diam-diam. Idealnya berlaku resiprokalitas tata krama dan etika redaksional. Jangan bungkam seribu bahasa. Industri media harus membangun tradisi etik suprema, agar beradab.

Kepada Anda sekalian, juga para penjaga media, saya ingin berbagi informasi. Saya dengan antusias membaca risalah Esai Godaan Subyektivitas yang termuat di buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, karangan Ignas Kleden (Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2004). Kleden dengan jenial menunjukkan raut semestinya tulisan bernama esai. Barangkali risalah tersebut bisa menyegarkan ingatan Anda.

Saya akhiri esai ini dengan mendaras asa sederhana: Jika esai-esai kami ditakdirkan mati prematur, mestilah mereka dibuatkan pusara selayaknya; agar para peziarah atau musafir mengenalinya.

—Tubagus P. Svarajati