Senin, 06 Juni 2011

ETNIS CINA DAN AMNESIA SEJARAH


Suatu pemerintahan otokrasi yang panjang niscaya memecah kepribadian rakyatnya. Acapkali kesewenangan suatu rezim dilihat sebagai praktik pendisiplinan. Yang lebih parah: orang dengan sengaja melupakan sejarah kelam yang dilakukan oleh pemimpinnya yang telengas.

Rezim Orde Baru berkuasa dalam masa yang sangat lama. Sedari berkuasa, dalam tilikan banyak pakar, telah membekaskan catatan yang berdarah-darah. Kita tahu, semenjak Soeharto menerima tampuk kekuasaan, serentak setelah itu orang-orang yang dicap atau dikaitkan dengan komunisme—terkait peristiwa G30S—diganyang dan dibunuh. Benedict Anderson (Petrus Dadi Ratu, 2000) mencatat: “… meski Presiden Soekarno mencegahnya, Soeharto dan rekan-rekannya merencanakan dan melakukan pembunuhan cepat pada bulan-bulan Oktober, November, dan Desember 1965.”

Para keluarga korban G30S dipaksa terus menyandang stigma sebagai anak jadah pengkhianat bangsa. Hak-hak hukum, sosial, dan politik mereka dipangkas. Dalam pergaulan horisontal, bahkan secara tidak disadari, masyarakat menyisihkan mereka dalam kasta paria.

Akan tetapi, kekejian itu tidak berakhir di sana. Seakan menular, rezim Soeharto terus mereproduksi kekerasan dan pembunuhan demi tegaknya suatu pemerintahan yang aman dan stabil. Sejarah nasional kita juga mencatat, terlepas dari efektivitasnya mengurangi kriminalitas, Soeharto memerintahkan pembunuhan terencana terhadap mereka yang disebut penjahat kriminal. Fenomena itu (tahun 1983-1984), merujuk pada identitas sumir pembunuhnya, disebut sebagai “petrus” singkatan dari “penembak misterius”.

James T Siegel (2000), antropolog Universitas Cornell, berpendapat: “penjahat Indonesia bukan orang lain (the Other)” melainkan “anggota sebuah bangsa yang sama dengan yang membunuhnya”. Siegel seakan hendak menegaskan, para penjahat itu tidak lain citra cermin dari pembunuhnya sendiri. Pembunuh itu adalah preman atau, dengan kata lain, siapa pun yang memerintahkan pembunuhan itu berada dalam klasifikasi yang sama.

Represi atas Etnis Cina
Kekerasan dan pembunuhan terus berlanjut. Sejarah mencatat, rezim Orde Baru, melalui dan dengan peran milter, menorehkan lembar hitam di Aceh dan Papua. Dengan dalih integrasi, padahal jelas sebagai kolonisasi, Timor Timur pun ditaklukkan.

Lantas, di manakah “rakyat” diposisikan? Jargon dan ideologi pembangunan selalu meletakkan “rakyat” di pusat kemakmuran yang dimimpi-mimpikan. Namun, kita tahu, “kemakmuran” itu dicapai dengan cara-cara yang korup dan tangan besi. Dan “rakyat”, dalam hal ini etnis Cina, dilindas secara kultural, sosial, dan politis sembari diperalat secara ekonomis.

Diskriminasi terhadap etnis Cina, dalam tempo yang panjang, tidak lain ialah penindasan terhadap humanitas. Etnis Cina sebagai suatu “entitas” ditindas habis-habisan dan, meniru politik kolonialis devide et empera, dibenturkan dengan etnis (pribumi) lainnya. Bukti pelanggaran hak asasi lainnya ialah dilarangnya agama Khong Hu Cu, medio 1970-an. Represi politik dan kultural ini sungguh mengerikan: betapa saja, dalam suatu masa, para penganut konfusianisme dicerabut dari keyakinannya. Inilah banalitas yang dipertontonkan oleh rezim despotis pimpinan Jenderal Besar Soeharto.

Secara umum, rezim Orde Baru menindas etnis Cina nyaris dalam semua aspek kehidupan, kecuali di ranah ekonomi. Namun, sebaliknya, sekelompok etnis Cina—umumnya para pengusaha kaya yang dekat dengan penguasa—dilindungi dan dimanfaatkan rezim Orde Baru untuk kemakmuran penguasa, kroni, dan keluarganya. Kelompok yang merasa aman dan nyaman dalam lindungan sang patron ini lantas, kita tahu, telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia. Pengusaha etnis Cina tertentu itu dan rezim penguasa (pribumi) menjalin relasi yang lazim dikenal sebagai teori “konspirasi ekonomi Baba-Ali”.

Arketipe relasi “Baba-Ali” itu merata di setiap daerah. Akan tetapi, perlu diingat dan digaris-bawahi, tidak semua etnis Cina terlibat dalam konspirasi dengan penguasa rezim. Kenyataannya, sebagian terbesar dari mereka dalam kondisi terbungkam dan jauh dari akses kekuasaan politik, kelimpahan finansial, atau kesempatan mengekspresikan jatidirinya. Puncak penindasan mutakhir terhadap etnis Cina terjadi pada huru-hara Peristiwa Mei 1998. Gemunung catatan menyebutkan, banyak perempuan Cina dinista, diperkosa dan dibunuh dalam kekacauan saat itu.

Amnesia Sejarah
Kini, ketika angin reformasi bertiup memerdekakan humanitas rakyat Indonesia, ada saja orang-orang—termasuk sebagian etnis Cina—yang berbalik arah dan seolah senang kembali pada situasi represif di tangan rezim Orde Baru. Mereka melupakan dosa-dosa politik Soeharto yang memerintah dengan tangan berlumur darah. Tulisan Harjanto Halim (“Tat Twam Asi: Refleksi Wafat Pak Harto”, Suara Merdeka, Rabu, 6/2) jelas menunjukkan kesilapan mendasar dalam menyikapi kasus hukum Soeharto.

Berpihak kepada Soeharto tak dilarang asal proporsional. Meski banyak jasanya, namun tak terhitung pula tindakannya yang melanggar humanitas bangsa ini. Justru kesalahan Soeharto (dan kekejiannya) harus dibongkar dan dijadikan monumen ingatan kolektif bangsa ini agar ke depan kita tidak mengulang kesalahan yang sama. Pelurusan sejarah ini, tidak lain, demi harkat dan martabat bangsa ini juga.

Penuntutan atas kesalahan (rezim) Soeharto memang tidak perlu diekspresikan dengan sikap kasar atau cara-cara kekerasan. Kekasaran sikap yang terjadi tidak lain hanya menunjukkan jatidiri bangsa yang belum dewasa. Jelaslah, ini bukti lain tentang kegagalan pendidikan atau dekadensi moralitas yang diwariskan oleh rezim Soeharto.

Opini Harjanto Halim harus tidak dibaca sebagai sikap seluruh etnis Cina terhadap penghambaan pada (bekas) pusat kekuasaan (baca: Soeharto). Tentu tidak semua etnis Cina bersekutu atau memuja suatu rezim atau sosok penindas. Seseorang yang lekas-lekas atau sengaja melupakan noktah hitam sejarah bangsanya, barangkali, sedang mengidap amnesia akut.

Esai pendek ini cuma sebagai pengingat: Bahwa siapa pun mesti menghargai capaian prestasi atau kegagalan pemimpin bangsanya secara dewasa dan proporsional.

Tubagus P Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka (Jumat: 08/02/2008) sebagai tanggapan atas tulisan Harjanto Halim ”Tat Twam Asi: Refleksi Wafat Pak Harto”, Suara Merdeka, Rabu, 6/2 (bisa dibaca di: http://www.suaramerdeka.com/harian/0802/06/opi04.htm). Esai tidak terbit. Esai disunting seperlunya sebelum diunggah di blog.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar