Minggu, 26 Juni 2011

TIDAK UNTUK AKADEMI SEMARANG


Sering kali ide-ide hadir dan lekas membatu, menjadi epitaf. Ia nihil daya hidup karena tidak tumbuh dari fenomena riil dan menjauh dari realitas lokal. Selain itu, tak jarang landasan rasional-logisnya lemah.

Ide Handry TM tentang ”Akademi Semarang” (”Keberanian demi Akademi Semarang”, Suara Merdeka, Sabtu, 18/6) terkategori begitu. Ia beranggapan, untuk membangun karakter kota dengan ketinggian selera budaya seperti Singapura (Asia) dan Venesia (Eropa), seyogianya ditangani secara kuratorial. Mustahil menyetarakan Semarang dengan kota besar lain di Asia bila ditangani sendirian. Perlu kerja sama dengan negara kurator.

Tak jelas apa yang dimaksud dengan istilah ”negara kurator”. Intinya, ia menggagas pembentukan lembaga ”Akademi Semarang” demi membangun poros kebudayaan kota. Ia mencontohkan Akademi Jakarta. Menurut dia, lembaga itu digagas oleh orang-orang visioner di bidang kebudayaan yang memberi masukan, diminta atau tidak, kepada Gubernur tentang arah kebudayaan kota masa depan.

Pada bagian lain ia menuding, Semarang tak punya penggagas brilian 10 tahun terakhir. Tapi, lucunya, ia lega belakangan ada pimpinan visioner di Jawa Tengah dan ibu kotanya, Semarang. Maka muncullah: agenda-agenda arak-arakan (carnival) Visit Jateng 2013, Semarang Great Sale, Semarang Night Carnival dan Resik-resik Kutha.

Paradigma Kebudayaan Baru
Terus terang, saya menolak gagasan Handry TM tentang ”Akademi Semarang”. Tak perlu membentuk lembaga baru untuk pengembangan kebudayaan kota. Berdayakan birokrat kota yang mengurusi aspek kebudayaan. Saya duga, mereka terjebak pada rutinitas birokrasi dengan model manajemen yang salah urus. Kultur semacam ini membutakan mereka dari dinamika kebudayaan yang berkembang di masyarakat.

Tabiat struktural-birokratis itu juga menjangkiti cara pikir pekerja seni atau pemikir kebudayaan kita. Lihat, dewan kesenian yang semestinya sebagai lembaga think-thank malah berbalik arah dan mengerdilkan diri sebagai event organiser atau makelar kegiatan belaka. Celakanya, pola seperti ini disetujui oleh anggota dewan yang terhormat. Dari hal itu tampak benderang: Ketakmampuan memisahkan yang-ideologis dengan yang-praktis.

Maka, pembentukan lembaga baru bakal menambah daftar panjang inefisiensi. Lembaga baru niscaya menyedot anggaran belanja daerah. Padahal sekitar 70 persen anggaran negara habis untuk menyokong mesin birokrasi saja. Artinya, beban hidup rakyat nantinya semakin besar. Bukan mustahil, lembaga baru tak terhindar dari mala korup: finansial dan kekuasaan.

Yang dibutuhkan ialah: Paradigma baru bagaimana membangun cetak biru konstruk kebudayaan kota yang dinamis: Memberikan peluang seluas-luasnya kepada siapa saja agar menjadi manusia beradab.

Bagaimana caranya? Ajari para birokrat pengambil kebijakan agar lebih cerdas dan visioner dengan paradigma kebudayaan yang berkembang di masyarakatnya. Ingatkan mereka, manakah yang pantas dipilih: Apakah konstruk kebudayaan kapitalistik-hedonis ala Barat ataukah sosial-demokratik pancasilaistik? Karenanya, perlu dijelaskan apa latar ideologisnya arak-arakan ”visioner” seperti yang dicontohkan tadi.

Ubah dan Ciutkan Birokrasi
Sudah saatnya mesin birokrasi disederhanakan. Pemerintah hadir demi melayani dan mewujudkan impian kolektif rakyatnya. Agar mangkus, mekanisme implementasinya dipendekkan.

Hemat saya, Dewan Kesenian Semarang (Dekase) atau Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) layak diubah fungsinya menjadi lembaga think-thank—laboratorium dokumentasi dan penelitian—yang menghasilkan pemikiran atau kajian holistik cetak-biru kebudayaan kota-provinsi. Dewan ini—apa pun namanya yang akan dipilih kelak—bukan event organiser atau pelaksana kegiatan. Produk pemikirannya dijalankan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) atau Pemerintah Provinsi (Pemprov). Pekerja kesenian (bagian dari kebudayaan), sebagai contoh, langsung berhubungan dengan Pemkot-Pemprov. Maka, otoritas birokrasi dan anggarannya memendek, lebih sangkil-mangkus. Dualitas pemerintah-rakyat menjadi dwitunggal kohesif, koeksistensi. Pengawasan atas langkah-langkah Pemerintah oleh BPK dan DPRD.

Tentang ”ketinggian selera budaya” tak mesti menengok ke Singapura atau Venesia. Bukankah Solo dan Jember sangat berkelas selera budayanya? Bergurulah kepada Wali Kota Solo Joko Widodo atau Dynand Fariz (pencetus Jember Fashion Carnaval).

Lalu, di mana rumah ideal pemikir-kritikus kebudayaan? Mereka tetap di tapal batas: Senantiasa bermigrasi dari satu noktah sosial ke noktah sosial lain sembari menawar (atau bahkan menghancurkan) sekat-partisi sosial dalam suatu rezim sensibilitas (Baca gagasan selintas Jacques Rancière dalam ”Empat Esai Etika Politik”, penerbit www.srimulyani.net, 2011.).

Pada ujungnya saya tegaskan, pemikir atau kritikus kebudayaan tak selibat atau patgulipat dengan pusat kekuasaan.

TUBAGUS P SVARAJATI
Esais, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Senin: 20/06/2011.]

Senin, 20 Juni 2011

SEPUNGUT TIONGHOA DALAM BAKMI JOWO

[Sumber foto: http://oase.kompas.com/read/2011/06/12/06452778/Mencuri.Inspirasi.dari.Kelucuan.Put.On]

Salah kaprah tentang “minoritas Tionghoa” mesti disudahi. Sejauh ini wacana ketionghoaan, sengaja atau tidak, cuma dikaitkan dengan aspek ekonomi. Padahal sumbangan orang Tionghoa dalam kebudayaan Nusantara sangat beragam dan dominan.

Pameran ilustrasi grafis Chéng Li adalah bukti nyata kuatnya peran orang Tionghoa dalam seni gambar, susastra dan pers Indonesia. Ragam bahasa yang digunakan, Melayu-Tionghoa, juga diakrabi masyarakat luas pada zamannya. Pameran tersebut diadakan oleh Widya Mitra dan Bentara Budaya Yogyakarta, di Gedung Rasa Dharma, Pecinan Semarang, 3―11 Juni kemarin.

Meski kebanyakan hanya reproduksinya, tak berarti artifak yang dipamerkan berkurang nilainya. Yang terpajang, antara lain, puluhan sampul buku, iklan, komik, petilan majalah, gambar kalender, hingga petikan cerita pendek. Ada pula buku tulisan tangan asli naskah cerita Beng Lee Koen atawa Liong Hong Pwee Tjay Seng Jan. Manuskrip lama itu disebut sebagai: ”Satoe tjerita di djeman Goan Tiauw”, jilid 1―25. Tak jelas siapa pengarangnya. Artifak ini, tentu, sangat bernilai bagi sejarah kebudayaan modern Indonesia.

Pemirsa pameran tersebut beruntung menikmati komik dwilogi, meski sepenggal, karya Siauw Tik Kwie. Keduanya bertajuk Sie Djin Koei Tjeng Tang (Sie Jin Kui Menyerbu ke Timur) dan Sie Djin Koei Tjeng See (Sie Jin Kui Menyerbu ke Barat). Pertama kali karya itu muncul secara mingguan di majalah Star Weekly.

Hemat saya, karya Siauw tersebut salah satu masterpiece komik yang pernah dihasilkan oleh putra Indonesia. Ilustrasi grafisnya bersih-rinci. Para tokoh dan lingkungannya dilukiskan secara anatomis dan proporsional. Perlu dicatat, karya puncak komik Indonesia lainnya ialah Maha Bharata dan Ramayana karangan RA Kosasih. Nasib Kosasih lebih baik. Ia digelari Bapak Komik Indonesia lewat kedua komik wayang itu.

Bersama Sie Djin Koei juga ditampilkan potongan strip komik Put On karya Kho Wang Gie. Put On atawa Ko Put On adalah tokoh Tionghoa peranakan yang penuh humor. Oleh Kho, Put On digambarkan satiristik, tragik dan paradoks. Visualitasnya mengandalkan blabar (outline) yang hemat dan lentur. Dalam pengantar pameran, Sindhunata menulis: (Melalui sosok Put On) dalam paradoks dan satirnya, hidup seorang Cina peranakan itu tak ubahnya dengan hidup kaum pribumi sendiri.

Di usia tuanya Kho tetap berkarya. Ia menyamar sebagai Sopoiku atau Soponyono. Masih ingat si Pengky di sampul belakang majalah Ria Film? Atau komik humor Nona A Go Go, Jali Tokcer, Si Lemot dan Agen Rahasia Bolong Jilu (013)?

Pada masanya, Put On digemari masyarakat luas. Put On muncul secara mingguan di harian Sin Po. Put On dan Sie Djin Koei berjaya antara 1930 sampai 1960-an.

Melayu-Tionghoa di Semarang
Menurut Leo Suryadinata (“Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia”, Penerbit PT Gramedia, 1988), Pramoedya Ananta Toer (dalam Salmon, 1981) meyakini bahasa Melayu-Rendah sebagai “bahasa kerja” masa itu dan digunakan secara luas oleh kebanyakan orang Indonesia perkotaan dan pers. Salah satu varian Melayu-Rendah adalah Melayu-Tionghoa. Salmon juga berpendapat, bahasa Melayu Tionghoa sebelum pertengahan 1920-an tidak berbeda dengan bahasa Melayu yang digunakan oleh orang-orang Indonesia lainnya di Jawa.

Diyakini, orang-orang Tionghoa menggunakan bahasa Melayu sudah lama sekali. Bisa jadi setua masyarakat Nusantara sendiri. Di dalam buku “Sastra Indonesia Awal, Kontribusi Orang Tionghoa” (Penerbit KPG, 2010) Salmon menegaskan, ”Akan sia-sia saja mencari tahu sejak kapan orang Tionghoa mulai mempelajari bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lain di Nusantara.”

Tentang “pendahulu kesusastraan Indonesia modern”, masih menurut Salmon (ibid), bisa disigi dari satu syair iklan (terbit 1886) bikinan saudagar Semarang, Ting Sam Sien. Syair berbahasa Melayu itu suatu promosi buku-buku roman Tionghoa terjemahan (41 judul) yang dijual di tokonya. Buku-buku itu terbitan antara 1883―1886. Diperkirakan, para penerjemahnya sudah mulai menulis di sekitar 1880-an. Sebagai bandingan, Sitti Nurbaya (Marah Rusli) terbit pada 1922 dan Student Hidjo (Mas Marco Kartodikromo) terbit pada 1919.

Dari Semarang juga ada pengarang Boen Sing Hoo (=Kesuburan Susastra). Nama aslinya Tan Tjien Hwa, pemilik satu toko buku di Jalan Tjapkauwking (kini Wotgandul Timur), Pecinan Semarang. Wartawan Warna Warta (terbitan NV Hap Sing Kong Sie) itu diyakini membuat syair pertama yang berisi kritik atas pacht (bahasa Belanda), yakni sistem monopoli candu di era kolonial, yang diterbitkan sebagai buku di Pulau Jawa. Buku itu berjudul Boekoe Sair Binatang: Landak, Koeda dan Sapi, terkarang dalem bahasa Melajoe rendah (terbit pada 28 Agustus 1889).

Sampai di sini tampak jelas, orang Tionghoa telah menyumbang sangat banyak nilai-nilai kehidupan di Nusantara. Tanpa disadari, dengan melahap bakmi jowo, misalnya, budaya Tionghoa bersemayam sampai dalam di perut kita.

TUBAGUS P SVARAJATI
Esais, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Senin: 13/06/2011.]

Senin, 06 Juni 2011

ETNIS CINA DAN AMNESIA SEJARAH


Suatu pemerintahan otokrasi yang panjang niscaya memecah kepribadian rakyatnya. Acapkali kesewenangan suatu rezim dilihat sebagai praktik pendisiplinan. Yang lebih parah: orang dengan sengaja melupakan sejarah kelam yang dilakukan oleh pemimpinnya yang telengas.

Rezim Orde Baru berkuasa dalam masa yang sangat lama. Sedari berkuasa, dalam tilikan banyak pakar, telah membekaskan catatan yang berdarah-darah. Kita tahu, semenjak Soeharto menerima tampuk kekuasaan, serentak setelah itu orang-orang yang dicap atau dikaitkan dengan komunisme—terkait peristiwa G30S—diganyang dan dibunuh. Benedict Anderson (Petrus Dadi Ratu, 2000) mencatat: “… meski Presiden Soekarno mencegahnya, Soeharto dan rekan-rekannya merencanakan dan melakukan pembunuhan cepat pada bulan-bulan Oktober, November, dan Desember 1965.”

Para keluarga korban G30S dipaksa terus menyandang stigma sebagai anak jadah pengkhianat bangsa. Hak-hak hukum, sosial, dan politik mereka dipangkas. Dalam pergaulan horisontal, bahkan secara tidak disadari, masyarakat menyisihkan mereka dalam kasta paria.

Akan tetapi, kekejian itu tidak berakhir di sana. Seakan menular, rezim Soeharto terus mereproduksi kekerasan dan pembunuhan demi tegaknya suatu pemerintahan yang aman dan stabil. Sejarah nasional kita juga mencatat, terlepas dari efektivitasnya mengurangi kriminalitas, Soeharto memerintahkan pembunuhan terencana terhadap mereka yang disebut penjahat kriminal. Fenomena itu (tahun 1983-1984), merujuk pada identitas sumir pembunuhnya, disebut sebagai “petrus” singkatan dari “penembak misterius”.

James T Siegel (2000), antropolog Universitas Cornell, berpendapat: “penjahat Indonesia bukan orang lain (the Other)” melainkan “anggota sebuah bangsa yang sama dengan yang membunuhnya”. Siegel seakan hendak menegaskan, para penjahat itu tidak lain citra cermin dari pembunuhnya sendiri. Pembunuh itu adalah preman atau, dengan kata lain, siapa pun yang memerintahkan pembunuhan itu berada dalam klasifikasi yang sama.

Represi atas Etnis Cina
Kekerasan dan pembunuhan terus berlanjut. Sejarah mencatat, rezim Orde Baru, melalui dan dengan peran milter, menorehkan lembar hitam di Aceh dan Papua. Dengan dalih integrasi, padahal jelas sebagai kolonisasi, Timor Timur pun ditaklukkan.

Lantas, di manakah “rakyat” diposisikan? Jargon dan ideologi pembangunan selalu meletakkan “rakyat” di pusat kemakmuran yang dimimpi-mimpikan. Namun, kita tahu, “kemakmuran” itu dicapai dengan cara-cara yang korup dan tangan besi. Dan “rakyat”, dalam hal ini etnis Cina, dilindas secara kultural, sosial, dan politis sembari diperalat secara ekonomis.

Diskriminasi terhadap etnis Cina, dalam tempo yang panjang, tidak lain ialah penindasan terhadap humanitas. Etnis Cina sebagai suatu “entitas” ditindas habis-habisan dan, meniru politik kolonialis devide et empera, dibenturkan dengan etnis (pribumi) lainnya. Bukti pelanggaran hak asasi lainnya ialah dilarangnya agama Khong Hu Cu, medio 1970-an. Represi politik dan kultural ini sungguh mengerikan: betapa saja, dalam suatu masa, para penganut konfusianisme dicerabut dari keyakinannya. Inilah banalitas yang dipertontonkan oleh rezim despotis pimpinan Jenderal Besar Soeharto.

Secara umum, rezim Orde Baru menindas etnis Cina nyaris dalam semua aspek kehidupan, kecuali di ranah ekonomi. Namun, sebaliknya, sekelompok etnis Cina—umumnya para pengusaha kaya yang dekat dengan penguasa—dilindungi dan dimanfaatkan rezim Orde Baru untuk kemakmuran penguasa, kroni, dan keluarganya. Kelompok yang merasa aman dan nyaman dalam lindungan sang patron ini lantas, kita tahu, telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia. Pengusaha etnis Cina tertentu itu dan rezim penguasa (pribumi) menjalin relasi yang lazim dikenal sebagai teori “konspirasi ekonomi Baba-Ali”.

Arketipe relasi “Baba-Ali” itu merata di setiap daerah. Akan tetapi, perlu diingat dan digaris-bawahi, tidak semua etnis Cina terlibat dalam konspirasi dengan penguasa rezim. Kenyataannya, sebagian terbesar dari mereka dalam kondisi terbungkam dan jauh dari akses kekuasaan politik, kelimpahan finansial, atau kesempatan mengekspresikan jatidirinya. Puncak penindasan mutakhir terhadap etnis Cina terjadi pada huru-hara Peristiwa Mei 1998. Gemunung catatan menyebutkan, banyak perempuan Cina dinista, diperkosa dan dibunuh dalam kekacauan saat itu.

Amnesia Sejarah
Kini, ketika angin reformasi bertiup memerdekakan humanitas rakyat Indonesia, ada saja orang-orang—termasuk sebagian etnis Cina—yang berbalik arah dan seolah senang kembali pada situasi represif di tangan rezim Orde Baru. Mereka melupakan dosa-dosa politik Soeharto yang memerintah dengan tangan berlumur darah. Tulisan Harjanto Halim (“Tat Twam Asi: Refleksi Wafat Pak Harto”, Suara Merdeka, Rabu, 6/2) jelas menunjukkan kesilapan mendasar dalam menyikapi kasus hukum Soeharto.

Berpihak kepada Soeharto tak dilarang asal proporsional. Meski banyak jasanya, namun tak terhitung pula tindakannya yang melanggar humanitas bangsa ini. Justru kesalahan Soeharto (dan kekejiannya) harus dibongkar dan dijadikan monumen ingatan kolektif bangsa ini agar ke depan kita tidak mengulang kesalahan yang sama. Pelurusan sejarah ini, tidak lain, demi harkat dan martabat bangsa ini juga.

Penuntutan atas kesalahan (rezim) Soeharto memang tidak perlu diekspresikan dengan sikap kasar atau cara-cara kekerasan. Kekasaran sikap yang terjadi tidak lain hanya menunjukkan jatidiri bangsa yang belum dewasa. Jelaslah, ini bukti lain tentang kegagalan pendidikan atau dekadensi moralitas yang diwariskan oleh rezim Soeharto.

Opini Harjanto Halim harus tidak dibaca sebagai sikap seluruh etnis Cina terhadap penghambaan pada (bekas) pusat kekuasaan (baca: Soeharto). Tentu tidak semua etnis Cina bersekutu atau memuja suatu rezim atau sosok penindas. Seseorang yang lekas-lekas atau sengaja melupakan noktah hitam sejarah bangsanya, barangkali, sedang mengidap amnesia akut.

Esai pendek ini cuma sebagai pengingat: Bahwa siapa pun mesti menghargai capaian prestasi atau kegagalan pemimpin bangsanya secara dewasa dan proporsional.

Tubagus P Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka (Jumat: 08/02/2008) sebagai tanggapan atas tulisan Harjanto Halim ”Tat Twam Asi: Refleksi Wafat Pak Harto”, Suara Merdeka, Rabu, 6/2 (bisa dibaca di: http://www.suaramerdeka.com/harian/0802/06/opi04.htm). Esai tidak terbit. Esai disunting seperlunya sebelum diunggah di blog.]