Minggu, 07 Oktober 2012

Toko Buku Surya

[Situs toko buku Surya (tanah berpagar seng, kiri), Jl. Letjend. MT Haryono 289, Semarang. Foto diambil pada Jumat, 5 Oktober 2012.]

ENTAH bagaimana ketertarikan saya pada buku, atau minat baca saya, bermula. Sependek yang saya ingat, kami berdua—saya dan kakak lelaki—saling bertungkus-lumus dalam perkara baca-membaca. Itu kira-kira seusia anak sekolah dasar.

Tapi, tak mudah kami memuaskan hasrat pada bebacaan. Keluarga kami berkekurangan, karenanya tak ada uang berlebih untuk membeli buku. Apa daya, minat membaca meletup-membucah. Alhasil, sekerat koran pun kami lahap tuntas. Kami bolak-bolak potongan koran itu, kami serap aksaranya, tak hirau apa saja isi beritanya. Yang penting: ekstase membaca terpuaskan.

Kian lama minat baca kami meningkat. Rasanya kami tak peduli, apa saja yang beraksara, entah potongan koran, atau buku apa saja, kami sikat habis isinya. Saya ingat, pada waktu Sekolah Dasar hampir kami tunaikan, kami berdua mulai membaca majalah Intisari. Bagaimana mendapatkan majalah itu sedangkan kami tak berpunya? Berpatungan kami menyewa di suatu taman bacaan—tentu setelah kami sisihkan sebagian uang jajan yang tak seberapa. Begitulah suatu persewaan buku disebut, ketika itu, sekitar 1970-an, di Semarang. Di Sekolah Menengah Pertama, kami mulai beradaptasi dengan majalah Tempo. Demikianlah, terus-menerus minat baca kami berkembang. Kami melebarkan cara pandang sekaligus meluaskan hasrat kami pada kata-kata.

Tentang taman bacaan, ada rahasia khusus. Di sana kami—barangkali perlu koreksi: jangan-jangan saya yang termaksud, lebih tepatnya—tak sekadar menemu buku-buku komik, cerita silat Kho Ping Ho, majalah remaja, atau roman-novela. Rahasia taman bacaan itu tidak terselip di antara bebukuan atau di tumpukan majalah. Tapi, di suatu laci khusus. Di sanalah sang pemilik taman bacaan menyembunyikan nikmat-khayali itu. Itulah sejenis buku meski sekadar kumpulan kertas dengan jilid sederhana dan cetakan sekadarnya pula. Huruf-hurufnya tercetak model mesin ketik biasa, sering kali buram, tak jarang tintanya mengotori telapak tangan kita. Pasalnya, jelaslah, buku itu dicetak dengan mesin stensil. Tapi, isinya! Saya gemetaran pertama kali membacanya. Penuh ketelanjangan dan umbaran berahi. Menggairahkan.

Sesungguhnya istilah ’stensilan’ mengacu pada sejenis buku pornografi. Vulgar. Tanpa sensor. Bahasanya banal. Kisahnya langsung menohok, tanpa basa-basi. Justru itulah kekuatan utamanya. Pada era tujuhpuluhan, remaja yang tak bersinggungan dengan stensilan bolehlah ditandai sebagai kuno dan 'kuper', kurang pergaulan.

Pertama kali saya baca buku stensilan, selanjutnya hanya ada satu kata: ketagihan. Tapi, percayalah, bukan saya saja yang mengalami adiksi demikian. Bahkah ada orang yang sampai perlu mengoleksinya. Seseorang kawan wartawan, ketika bertugas di Medan beberapa tahun silam, ternyata beruntung bisa mendapatkan cukup banyak stensilan itu. Jadilah ia kolektor “buku tjabul” stensilan. Kita, tentu saja, tak pantas menyebutnya sebagai wartawan cabul.

Sekarang saya tidak perlu buku sejenis itu. Minat saya berubah. Lagi-lagi saya tak ingat bagaimana persisnya saya tertarik pada bacaan filsafat. Yang jelas, pada 1980-an, saya mulai membaca buku-buku filsafat. Saya membelinya di toko buku Surya, Semarang. Stempel toko buku Surya menyebutkan alamatnya: Jl. Letjen. Haryono 289 Tlp. 20722.

Bila Anda susuri Jalan MT Haryono, dari arah lalu-lintas searah selatan-utara, toko buku Surya tepat di sebelah kiri, di ujung jalan, sebelum belok ke Jalan Jagalan. Bangunannya tidak besar, mungkin hanya 4 meter lebarnya dan panjangnya sekitar 10 meter saja. Di kedua dindingnya menempel almari buku kuno, coklat tua, berpintu kaca. Warna kacanya suram tergerus umur. Tinggi almari hampir menyentuh plafon. Di depan almari dinding masih ada almari kaca setinggi dada orang dewasa. Kacanya sudah buram pula. Lemari-lemari itu penuh buku. Si penjual buku, pelayan toko atau sang pemilik sendiri, melayani pembeli dari antara almari dinding dan almari pendek itu. Pembeli, berdiri di luar almari pendek, memang tak leluasa memilih buku. Saya pun kesulitan memilih-memilah buku yang saya sukai.

Toko buku Surya terutama menjual buku-buku pelajaran sekolah, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Hanya sedikit buku-buku umum. Lainnya beberapa jenis majalah. Seingat saya, saya tak menjumpai buku-buku cerita silat karya, misalnya, Kho Ping Ho atau Gan KL. Untuk buku-buku sejenis itu, biasanya, saya beli di toko buku Sutawijaya. Toko buku yang kedua ini juga di Jalan MT Haryono, tak jauh dari toko buku Surya.

Meski koleksi toko buku Surya tak banyak, entah mengapa ada juga dijual buku-buku filsafat. Di sinilah, untuk pertama kalinya, saya mengenal apa itu filsafat. Sejujurnya, sampai sekarang pun, filsafat ialah cabang keilmuan diskursif yang tak mudah bagi sebagian besar orang, tak terkecuali saya. Tetapi, lagi-lagi harus saya ungkapkan, saya tak paham mengapa saya tertarik pada buku-buku sejenis itu. Sungguh. Membacanya pun, bagi remaja tanggung pada 1980-an itu, saya tak paham benar maksudnya. Hanya hasrat membaca sajalah yang menuntun saya meniti aksara demi aksara, menjalin kognisi dan berupaya merasionalisasi apa-apa yang terserap, dan tak jarang itu semua berakhir di lembah kebingungan.

Begitulah proses saya membaca filsafat, bertahun-tahun. Setelah koleksi buku saya berderet-berdesakan di beberapa rak, berserak di beberapa sudut rumah atau ruang, saya masih membaca dengan cara begitu: pemahaman selalu bermula dari upaya keras, sering kali melelahkan, merangkai ide-ide atau petikan-petikan isi buku menjadi piramida pengetahuan. Maklum, masih dengan alasan sama: kami sangat berkekurangan dalam hal finansial, pendidikan formal saya tak memadai untuk menekuni kajian filsafat atau cecabang keilmuan lain agar bisa menjadi seorang akademisi tangguh atau pemikir brilian.

Selain filsafat, minat baca saya melebar hingga ke risalah sastra, sosial, politik, fotografi, seni rupa, dan kajian-kajian humaniora lain. Saya bersyukur, dengan praksis belajar sirkular, meliuk, tidak linear, maka kognisi saya meluas dan karena itu saya mudah berputar haluan menelisik, menelusup hingga menyelami palung kritisisme demi kritisisme. Tapi, sebaliknya, harus saya akui sejujurnya, model pembelajaran seperti itu menghasilkan cuma keseolahan intelektualitas. Saya sekadar memungut remah-remah gagasan, memamah-biak, bukan membangun ketangguhan logiko-rasio tertentu. Sungguh, saya sekadar seorang yang seolah tahu hal banyak, namun sering kali tak mengerti pernik-pernik kebenaran terpuji yang meruah di sekeliling saya.

Upaya membeli buku, ketika saya sebagai remaja, masih bukan perkara mudah. Saya harus berhemat, menabung sebagian sisa uang jajan, agar sesegera mungkin bisa kembali ke toko buku Surya. Saya tinggal menyeberang jalan saja jika hendak ke toko buku Surya. Ketika itu keluarga kami mengontrak sebuah rumah di Jalan MT Haryono, berseberangan jalan dengan toko buku Surya, berjarak sekitar 50 meter saja. Di rumah kontrakan itu, keluarga kami—kecuali saya yang berdiam sembari menjaga rumah kami di Gang Cilik, Pecinan Semarang—berjualan ayam goreng. Warung kami bernama ”Ayam Goreng Gaya Baru”.

Kenangan saya pada toko buku Surya, barangkali, segera sirna bersama robohnya bangunan toko itu. Tampaknya bangunan toko buku Surya sedang dan akan dibangun dengan bangunan baru. Ini hal yang tak dapat dicegah. Toko buku, apalagi bila ukurannya kecil, memang tak menjanjikan madu-laba setakat ini. Toko buku semacam itu tentu kalah bersaing dengan toko sejenis yang bermodal besar. Beberapa tahun belakangan, memang, toko buku Surya telah bersalin rupa menjadi toko busana. Agaknya toko busana itu juga tak bertahan lama. Alhasil, toko itu tutup selama beberapa tahun.

Dengan esai ini saya ingin berterima kasih pada toko buku Surya. Langsung atau tidak, toko itu palung pertama saya menyelami kedalaman dan keluasan kognisi, tentu saja, melalui bebacaan, melalui bebukuan ’bermutu’.

Bisa dibilang toko buku Surya pernah menjadi bagian dari sejarah-peradaban kota. Di sana aksara-aksara merapat menjadi bebacaan atau bebukuan. (Tubagus P. Svarajati)