Kamis, 21 Juli 2011

LINDA, ISLAM, DAN JURNALISME SASTRAWI



Judul:
Jangan Tulis Kami Teroris
Penulis:
Linda Christanty
Penerbit:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan:
Pertama, Mei 2011
Tebal:
x + 147 halaman


Berbeda dengan reportase langsung (straight news), literary journalism atau creative nonfiction menyajikan berita lebih dalam dan rinci. Peristiwa dipaparkan bak karya sastra. Penuturannya naratif. Ini varian dari new journalism yang dikembangkan oleh Tom Wolfe pada 1970-an di Amerika.

In Cold Blood karangan Truman Capote disebut-sebut sebagai salah satu tonggak literary journalism. Kisahnya tentang dua bekas narapidana yang membunuh satu keluarga di Kansas, Amerika Serikat. Tulisan itu muncul secara bersambung di majalah The New Yorker, musim gugur 1965, dan setahun kemudian baru dibukukan.

Di Indonesia, barangkali gaya jurnalisme baru itu mula-mula dipraktikkan oleh majalah Tempo. Lalu, dipopulerkan oleh Andreas Harsono di Pantau, majalah bulanan soal media dan jurnalisme. Oleh dia, genre itu dinamai jurnalisme sastrawi. Kini Pantau tidak terbit lagi.

Produk jurnalisme sastrawi bukan karya fiksi. Ia tetap berita jurnalistik yang taat pada paradigma jurnalisme umumnya. Dalam jurnalisme sastrawi, wartawan mesti piawai menguasai teknik penulisan dengan bahasa yang pejal, lincah dan renyah. Mesti pula didukung oleh riset dan amatan yang cermat. Tujuannya agar tulisan jadi khas, realistik, dan imajinatif, sehingga memikat dan mampu melibatkan emosi pembaca.

Linda Christanty punya kualifikasi itu semua. Ia pernah bekerja di Pantau. Memenangkan dua Khatulistiwa Literary Award untuk buku kumpulan cerita pendeknya, Kuda Terbang Mario Pinto (2004) dan Rahasia Selma (2010). Pada 2010 itu juga, Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, memberikan penghargaan untuk kumpulan tulisannya, Dari Jawa Menuju Atjeh. Pendiri sekaligus pemimpin kantor berita Aceh Feature ini tinggal di Banda Aceh.

Saya dan Islam
Buku ”Jangan Tulis Kami Teroris” berisi empat belas tulisan. Menilik tahun penulisannya, karangan-karangan dalam buku ini termasuk baru (yang terbaru bertanggal 9 April 2011). Tapi, bukan itu soalnya. Feature—atau karangan khas—tak selalu menenggang aktualitas meski hal itu tetap penting. Karenanya, tulisan Linda terkesan awet.

Dalam buku ini penulis membuka diri. Ia muslimah. Lahir di Pulau Bangka. Namanya—yang mengandung unsur ”Christ”—kerap menuai salah paham. Sebagian orang beranggapan, seorang muslim lazim bernama kearab-araban.

”Nama dan wujud saya terkadang memicu kejadian lucu,” tulis dia dalam Saya dan Islam, ”Secara fisik, saya bahkan lebih mirip orang-orang Cina di Hong Kong atau orang Jepang ketimbang orang-orang Arab, yang puluhan nama mereka memang tercantum dalam silsilah keluarga kami.”

Nama Linda Christanty ada kisahnya. Muasalnya dari sang ayah yang mengagumi petenis dunia Christ Evert. Tambahan ”Tanty” sebagai pemanis belaka. Sedangkan Linda berasal dari nama anak perempuan Presiden Amerika Lyndon B. Johnson. Namun, lucunya, merek mesin jahit di rumah keluarga Linda juga ”Linda”.

Aceh dan Islam
Empat belas tulisan Linda sarat dengan soal Aceh dan Islam. Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Aceh pascakonflik adalah wilayah yang menerapkan syariat Islam.

Tentang Islam, misalnya, penulis mendiskusikan jilbab di Jilbab Dek Tata. Ia mencatat, kini jilbab jadi tren. Di Aceh jilbab wajib dipakai oleh perempuan muslimah. Seperti jilbab, fenomena memelihara jenggot dan bersorban juga suatu tren. Oleh sebagian orang, tampilan itu dianggap sebagai kebangkitan kembali Islam.

Bagi Linda, ”kebangkitan kembali” itu bermuka dua: revivalisme atau fundamentalisme. Revivalisme, singkatnya, kebangkitan Islam dengan cara menafsir Alquran dan hadist sesuai semangat kekinian. Kaum fundamentalisme memimpikan Islam semasa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah yang dianggap menerapkan Islam secara sempurna.

Di Aceh, wajah syariat Islam mulai mengeras dan tak ramah kepada kaum minoritas. Islam yang garang, antara lain, muncul sebagai ormas yang anggotanya berjubah dan menerapkan paham Wahhabi. (”Orang Aceh dulu tidak ada pakai-pakai jubah begitu. Ya, begini saja seperti saya ini. Berkopiah, bersarung atau celana.”—halaman 71)

Linda juga melakukan perjalanan jurnalistik ke Patani, Thailand selatan, dan Kamboja. Ia mendatangi Choeung Ek Genocidal Museum, Phnom Penh. Museum ini untuk mengenang kekejaman Pol Pot. Tengkorak dan belulang bertumpuk, ditata seakan barang-barang mewah di butik atau gerai ternama.

”Anehnya saya tidak merasakan apa pun ketika menyaksikan pemandangan ini. Tidak sedih atau gembira. Tidak juga ngeri. Datar-datar saja,” tulis dia.

Jurnalisme sastrawi membuka peluang wartawan berkisah dari sudut personal. Jurnalis pun boleh bersikap, teguh pada pendiriannya. Intinya tetap: Jurnalisme mesti berpihak pada kebenaran.

Dari Linda Christanty, kita belajar soal: Feature bisa memikat asal struktur narasi dan diksinya tepat.

TUBAGUS P SVARAJATI
Esais, bermukim di Semarang

[CATATAN: Timbangan buku dikirimkan ke Suara Merdeka, Jumat: 10/06/2011.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar