Jumat, 18 Oktober 2013

PHōTAGōGóS Terang-Gelap Fotografi Indonesia


Judul:
PHōTAGōGóS Terang-Gelap Fotografi Indonesia

Penerbit:
Suka Buku, Semarang

Cetakan:
Pertama, September 2013

Tebal:
xxxix + 201 Hlm.

Ukuran:
14 x 21 cm

ISBN:
978-602-19785-8-0

Harga:
Rp40.000,00


Buku yang langka dan penting dibaca.
Isinya sangat apresiatif.
Agus Leonardus
Fotografer dan pengajar fotografi

Buku yang menarik dan wajiba dibaca
para fotografer semua genre, termasuk pewarta foto.
R. Rekotomo
Pewarta foto ANTARA

Ide, permasalahan dan filosofi fotografi dalam
PHōTAGōGóS begitu mudah dicerna.
Oscar Motuloh
Fotografer

PHōTAGōGóS membuat kita mengerti ada hal-hal
yang belum kita mengerti meskipun kita
sudah tahu banyak tentang fotografi.
Kristupa Saragih
Fotografer profesional dan salah satu pendiri Fotografer.net

Bahwa foto ternyata sarat dengan pesan.
Harto Solichin Margo
Ketua Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia (FPSI)


Sementara buku bisa diperoleh di:

Toko Buku MERBABU
Jl Pandanaran No 108
Semarang
024-8319562

BURSA KAMERA
Ruko Mataram B-4
Jl MT Haryono 427-429
Semarang
024-3560052

Toko Buku PANDORA
Jl Singosari Raya No. 25
Semarang
024-831 7913

SEMARANG GALLERY
Jl Taman Srigunting No 5-6
Semarang
024-3552099


Aris Yaitu
085641292732
facebook.com/aris.yaitu
@Arisyaitu
bermain_warna@ymail.com

Rana Wijayasoe
08562758558
facebook.com/rana.wijayasoe
@RanaWijayaSoe
rana.wijayasoe@gmail.com

Tubagus P. Svarajati
facebook.com/svarajati
@svarajati_yes
svarajati@yahoo.com


Minggu, 24 Februari 2013

Lontong Cap Go Meh Menyerempet Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota

[Photo: http://blog.foreignpolicy.com/posts/2012/12/17/warhols_mao_wont_be_headed_to_china]

Suherjoko, wartawan The Jakarta Post di Semarang, menelepon saya, dua hari lalu. Ia sebenarnya bertanya-tanya soal Cap Go Meh yang tepat jatuh pada hari ini, Minggu (24/2). Momentum Cap Go Meh, jika hendak disamakan dengan peristiwa Lebaran, mirip dengan Bakda Kupat di Jawa. Cap Go Meh menuntaskan perayaan Imlek, dua minggu sebelumnya, sedangkan Bakda Kupat menggenapi Lebaran, juga setelah dua minggu Lebaran berselang. Ada irisan kultural di antara keduanya.

Pada tradisi Cap Go Meh, orang Tionghoa, khususnya yang saya tahu di seputar Semarang, punya makanan khas lontong capgomeh. Sebenarnya ini sekadar potongan lontong biasa yang dihidangkan dengan opor ayam berkuah. Lontong capgomeh disuguhkan dalam piring dengan kelengkapannya: sambal goreng hati-rempelo ayam, perkedel kentang, sayur lodeh, suwiran ayam, dan sebagainya. Yang terpenting, setelah semuanya tersaji lengkap di piring, di atasnya ditaburi bubuk kedelai-sangrai. Dengan menyajikan kulinari tersebut orang Tionghoa, secara langsung, melakukan akulturasi budaya Jawa dan menahbiskan lontong opor sebagai bagian dari jati dirinya.

Tentang lontong capgomeh, termasuk ramuan sejarahnya, Jongkie Tio piawai berkisah. Pemerhati budaya lisan Semarang dan pengusaha restoran itu bilang, versi lontong  capgomeh racikannya terdiri dari sepuluh macam bahan. Mistifikasi Tio tentang masakannya memang sedap disimak.

Lebih dari itu saya tidak akrab pada tradisi Cap Go Meh. Keluarga kami tidak terlalu ketat melaksanakan ritual atau tradisi ketionghoaan. Apa pasalnya? Yang pertama, jelas, ini hasil eksklusi rezim Orde Baru terhadap tradisi dan budaya Tionghoa secara umum. Alasan kedua, secara emosional, kami tak pernah terikat pada tradisi leluhur kami di Tiongkok. Bagi kami, negeri Tirai Bambu serasa di awang-awang. Satu hal yang tetap jadi kesepakatan, boleh disebut sebagai tradisi, ialah kewajiban keluarga berkumpul di malam hari, sehari jelang Tahun Baru Imlek, yakni saat Ji Kau Meh. Hal ini lebih sebagai ekspresi silaturahmi kekeluargaan atau kekerabatan. Tentang Cap Go Meh, paling banter kami hanya memasak, lebih kerapnya membeli, dan mengudap penganan lontong opor pada momentum tersebut di dalam keluarga batih kami sendiri.

Obrolan saya dan Suherjoko melebar dan menyinggung buku Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota. Menyitir kawannya, Suherjoko berkata bahwa buku tersebut sekadar menampung kemarahan atau kegeraman saya apalagi hanya bersumber dari tulisan-tulisan di blog personal. Dua hal mencuat dari asumsi tersebut: pertama, seakan tulisan-tulisan yang bersumber dari blog personal kurang berbobot; dan kedua, isi tulisan juga tidak berarti.

Terhadap sinisme yang menyeruak, Suherjoko memberikan ”pembelaan”. Ia yakin, tulisan-tulisan saya berangkat dari perenungan dalam. Tentu tak semena-mena esai-esai terlontar dalam ruang-waktu tanpa pertanggungjawaban. Benar, saya kira tanggung jawab etik-moral, sekaligus intelektual, menyertai kelahiran setiap esai saya. Saya berterima kasih untuk pendapatnya tersebut.

Saya jelaskan di sini, semua format tulisan saya adalah esai. Nyaris semuanya saya kirimkan ke berbagai media (koran). Seperti lazimnya, dengan berbagai alasan redaksional, tidak semua tulisan terbit. Esai yang tidak terbit, setelah beberapa waktu, saya unggah di blog. Sedangkan tulisan yang terpublikasi di media saya unggah pula. Dengan cara ini saya ingin gagasan atau diskursusnya awet dan melebar. Jadi, intensi penulisannya setara: untuk masyarakat umum. Tentang isi tulisan, yang terbit ataupun tidak, sama saja signifikansinya. Jangan kira bahwa tulisan yang terpublikasi di media selalu lebih baik.

Jika dicermati, nyaris semua tulisan yang pada akhirnya terunggah di blog senantiasa saya sertakan catatan riwayatnya: atau ia terpublikasi atau ia pernah dikirimkan ke media tertentu. Singkat kata, ini bukti bahwa semua tulisan saya dirancang untuk suatu penerbitan. Dengan demikian, dalam berbagai segi, saya patuh pada kode etik jurnalistik secara umum. Ini lebih ke soal integritas.

Sekiranya ada anggapan esai-esai tak layak dirangkum dalam sebuah kitab, berkacalah pada buku-buku, misalnya, On Not Speaking Chinese (Ien Ang) atau Can Asians Think? (Kishore Mahbubani). Keduanya adalah kumpulan esai yang riwayat penerbitannya terentang dalam ruang-waktu berbeda. Isi kedua buku itu pun pantas Anda simak dengan takzim. Antara lain dari kedua penulis itu saya meyakini kekuatan tulisan tak berkurang oleh bentuknya atau ruang pemuatannya. Tapi, terhadap pendapat lain, bahwa buku kumpulan esai cuma ”buku-bukuan”, bukan buku serius, saya lebih baik tak berkomentar.

Tentang gagasan-gagasan saya dalam buku Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota, seperti yang saya yakini sekeras batu, niscaya beroleh tempat baik dalam ruang-waktu yang tepat. Dengan membukukan esai-esai tersebut, lebih-kurangnya, saya telah mendokumentasikan gagasan dan kontemplasi intelektualitas saya. Itu saja.

Minggu, 03 Februari 2013

GONJANG-GANJING PECINAN SEMARANG

SURAT TERBUKA
KEPADA WALI KOTA SEMARANG
SOAL
GONJANG-GANJING PECINAN SEMARANG
TERKAIT DENGAN KERAMAIAN
PASAR IMLEK SEMAWIS
OLEH KOPI SEMAWIS
DI JALAN GANG PINGGIR – WOTGANDUL TIMUR
SEMARANG

Catatan:

1/
Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) bukan wakil Pecinan Semarang. Jikalau dianggap sebagai representasi warga Pecinan Semarang, pembentukannya cacat sosiologis karena hanya ditentukan oleh beberapa orang warga yang merasa punya hak atas identitas dan wilayah Pecinan Semarang.

2/
Kopi Semawis sekadar melansir jargon ”revitalisasi Pecinan Semarang” tanpa pernah melakukankan riset dan atau menjelaskan tentang apa itu ”revitalisasi Pecinan Semarang”. Juga tidak ada sosialisasi kepada warga Pecinan Semarang. Gagasan itu ujug-ujug saja.

3/
Kopi Semawis melakukan politisasi terhadap Pecinan Semarang dengan menyatakan bahwa kegiatannya (Waroeng Semawis dan Pasar Imlek Semawis) demi asas pembauran; dianggap bahwa kawasan dan warga Pecinan Semarang tertutup dan tidak berbaur. Faktanya, kawasan dan warga Pecinan Semarang sangat terbuka dan hidup rukun bersama komunitas lain.

4/
Waroeng Semawis dan Pasar Imlek Semawis adalah kegiatan ekonomi baru, bukan praktik kultural yang dihidupi oleh segenap warga Pecinan Semarang. Pengelola bertumpu pada prinsip dominan ekonomi untung-rugi dalam implementasinya.

5/
Dalih Kopi Semawis bahwa Waroeng Semawis dan Pasar Imlek Semawis demi kepariwisataan Pecinan Semarang tidak berterima karena para pemangku kepentingan—warga Pecinan Semarang—tidak pernah dilibatkan atas konsep atau kajian turisme itu. Praktik wisata kota, khususnya Pecinan Semarang, harus melibatkan dan demi kesejahteraan para pemangku kepentingan. Warga Pecinan Semarang tidak semestinya dijadikan obyek tontonan di halamannya sendiri.

6/
Waroeng Semawis relatif tidak ditentang warga Pecinan Semarang karena menempati ruas jalan yang relatif sepi di malam hari. Keramaian Waroeng Semawis relatif tidak menggangu ketenteraman warga atau lalu lintas kawasan.

7/
Pasar Imlek Semawis ditentang kuat oleh sebagian warga Pecinan Semarang dengan alasan:
A. Keramaian 3 – 4 hari di Jalan Gang Pinggir-Wotgandul Timur, dengan menutup total kedua ruas jalan itu, praktis melumpuhkan penghidupan (ekonomi) dan aktivitas harian hampir sebagian besar wilayah Pecinan Semarang. Warga dirugikan secara finansial dan psikologis.
B. Pasar Imlek Semawis hanya memanfaatkan momentum tradisi Ji Kau Meh di pasar tradisional Gang Baru. Pasar Imlek Semawis bukan ekstensi dari tradisi masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang.
C. Bila benar Pasar Imlek Semawis berpaut dengan tradisi Ji Kau Meh di Pasar Gang Baru, realitanya kontraproduktif: imbas keramaian tertuju langsung kepada para pedagang di Pasar Gang Baru; pendapatan harian mereka anjlok.


Rekomendasi:

1/
Bilamana Kopi Semawis tetap hendak berkiprah di wilayah Pecinan Semarang maka lembaga tersebut harus melakukan hal-hal berikut:
A. Menunaikan janji-janjinya tentang ”revitalisasi Pecinan Semarang” dengan melakukan riset memadai.
B. Mengakomodasi kehendak dan cita-cita kolektif para pemangku kepentingan demi menata suatu kawasan Pecinan Semarang yang asri, sejahtera dan bertamadun.
C. Melakukan sosialisasi seluruh programnya secara memadai kepada warga dan lingkungan sekitar Pecinan Semarang dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
D. Melaksanakan seluruh kegiatan berdasar kaidah hukum yang berlaku dan menjunjung prinsip etika dan moralitas universal.

2/
Bilamana Pasar Imlek Semawis tetap dipaksakan kehadirannya dan tetap hendak dipautkan dengan tradisi Ji Kau Meh di Pasar Gang Baru, Pasar Imlek Semawis cukup dilaksanakan di Jalan Wotgandul Timur saja, yakni dari batas Jalan Beteng dan Jalan Gambiran. Dengan cara ini kerugian finansial dan psikologis warga Pecinan Semarang tereliminasi. Ketidaknyamanan publik luas (warga Semarang) pun relatif berkurang.

3/
Pengembangan kawasan Pecinan Semarang sebagai destinasi turisme kota tak harus bertumpu pada dan atau dipautkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek belaka. Mesti digali lagi bentuk aktivitas kultural lain yang bisa menampakkan wajah budaya Pecinan Semarang dan konstruk kebudayaan kota umumnya secara lebih cerdas dan menarik.

4/
Adalah tepat menggagas dan merancang suatu Festival Pecinan Semarang, terpisah dari tradisi Tahun Baru Imlek, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan segenap potensi ekonomi-budayanya sehingga mampu menampakkan wajah Pecinan Semarang sebagai suatu situs kehidupan masyarakat yang bertamadun (culturally living site).

5/
Bahwa pengembangan (revitalisasi) suatu kawasan tua, seperti Pecinan Semarang, tidak harus selalu bercermin dan atau merayakan (glorifikasi) budaya arkaik-romantik. Kebudayaan semasa (kontemporer) yang masih hidup dan dihidupi oleh segenap pemangku kepentingan pantas dan layak diunggulkan.

6/
Perlu dan sudah semestinya, sebagai masyarakat modern yang beradab, agar pengembangan atau konstruk baru kebudayaan kawasan Pecinan Semarang tidak dikotori oleh upaya kepentingan pribadi/kelompok alih-alih mengatasnamakan kepentingan publik. Pemangku kepentingan Pecinan Semarang harus dianggap sebagai pemilik sah kawasan dan pelaku utama yang harus dilibatkan dan diutamakan dalam rancang bangun dan pengembangan kawasan.


Semarang, 4 Februari 2013


Salam budaya,
Tubagus P. Svarajati
Penulis buku ”Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota”
[e-mail: svarajati@yahoo.com]

Sabtu, 26 Januari 2013

Saya Kenal Sumartoyo

Ya, saya kenal Pak Sumartoyo ketika menghadap beliau di kantornya, harian Suara Merdeka, di Jalan Kaligawe KM 5, Semarang. Ketika itu pertengahan 1980an. Kepada Pak Sumartoyo, saya minta uang. Tanpa banyak cakap ia memberi saya Rp4 ribu. Ya, empat ribu rupiah saja. Itu pemberian awal.

Orang baik itu telah berpulang, tanpa ditunggui siapa pun, di rumahnya, Jalan Mahesa Utara Kekancan Mukti Pedurungan, Semarang, Jumat (25/1). Menurut berita, ia hidup sendiri setelah kematian istrinya. Anak semata wayangnya tinggal di Solo. Kematiannya pertama kali diketahui oleh salah satu tetangganya. Informasi ini saya dapatkan di harian Suara Merdeka, pagi tadi, Sabtu (26/1).

Tak sekali saja Pak Sumartoyo memberi uang kepada saya. Pertama memang empat ribu tadi. Saya tak ingat, entah berapa kali saya dapatkan empat ribuan dari dia. Tak lama ia menaikkan angkanya: enam, delapan, hingga sepuluh ribu rupiah. Terakhir kalinya saya diganjar Rp20 ribu.

Uang-uang tadi saya dapatkan dengan cara mendatangi kantornya. Meja kerjanya ada di ujung ruangan. Dia duduk membelakangi jendela kantor. Di dekatnya, seingat saya, adalah meja kerja Pak Hanapi dan Bambang Iss. Jika hendak menemui Pak Sumartoyo, saya mesti melewati meja kerja Ibu Humaini AS, di sebelah deret kanan, dekat pintu masuk. Dengan mendatangi dia, selain saya mendapat uang darinya, sekaligus saya berikan tulisan saya.

Ya, uang tadi adalah honor tulisan saya yang dimuat, umumnya, di lembaran Minggu Ini, bagian dari harian Suara Merdeka, terbit tiap hari Minggu. Jika saya cermati, nyaris seluruh tulisan saya itu berupa feature. Singkat kata, pada awalnya, honor satu tulisan saya sebesar Rp4 ribu.

Yang membanggakan, dan dengan tulisan ini saya ingin mengenang kebaikan Pak Sumartoyo, tak satu pun tulisan saya ditolak oleh dia. Artinya, semua tulisan saya yang saya sodorkan kepada dia, dimuat semua. Samar-samar saya ingat komentarnya: “Tulisan kamu sudah tidak perlu dikoreksi.” Bukankah hal itu semacam obat kuat, sebagai penyemangat, bagi seorang pemuda, pemula dalam tulis-menulis, seperti saya?

Di zaman Pak Sumartoyo itu, dan saya alami juga, belum ada komputer. Saya menulis dengan mesin ketik kecil. Itu mesin ketik ayah saya. Barangkali itu alat paling mewah di rumah keluarga kami. Mesin ketik itu ibarat perpanjangan pikiran saya. Tanpa bagan, saya langsung mengetik. Setelah karangan rampung, saya baca ulang. Saya koreksi. Lalu saya ketik ulang dengan hati-hati. Setelah beres, ya itu tadi, saya berikan kepada Pak Sumartoyo. Rasanya saya tidak perlu menunggu lama untuk membaca tulisan saya sendiri di koran. Senang, tentu saja.

Saya tak ingat berapa persisnya jumlah tulisan saya, pada era Pak Sumartoyo, yang terbit di harian Suara Merdeka. Barangkali tak semua tulisan-tulisan awal itu ada di almari saya. Pada awalnya, perkara dokumentasi memang rada terbengkelai. Tulisan-tulisan saya tentang fotografi populer di (saat itu) harian sore Wawasan pun tak tentu rimbanya.

Untuk mengakhiri kenangan saya kepada Pak Sumartoyo, saya harus berterus terang sekarang. Honor tulisan saya yang pertama bukan berasal dari dia. Saya pertama kali beroleh honor tulisan langsung Rp8 ribu. Adalah Pak Tedjo, ya ayahanda Sasongko Tedjo, yang pertama mengulurkan amplop berisi Rp8 ribu tadi. Uang sebesar itu honor satu tulisan, rada panjang, yang dimuat dua kali berurutan di lembaran Minggu Ini. Pak Tedjo inilah yang pertama merekomendasi tulisan saya untuk dimuat di koran Suara Merdeka.

Akhirulkalam, Pak Tedjo dan Pak Sumartoyo, dalam satu dan lain hal, sosok yang berjasa memuncakkan minat kepenulisan saya. Semoga Bapak berdua tenang di alam baka. Terima kasih.