Minggu, 03 Februari 2013

GONJANG-GANJING PECINAN SEMARANG

SURAT TERBUKA
KEPADA WALI KOTA SEMARANG
SOAL
GONJANG-GANJING PECINAN SEMARANG
TERKAIT DENGAN KERAMAIAN
PASAR IMLEK SEMAWIS
OLEH KOPI SEMAWIS
DI JALAN GANG PINGGIR – WOTGANDUL TIMUR
SEMARANG

Catatan:

1/
Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) bukan wakil Pecinan Semarang. Jikalau dianggap sebagai representasi warga Pecinan Semarang, pembentukannya cacat sosiologis karena hanya ditentukan oleh beberapa orang warga yang merasa punya hak atas identitas dan wilayah Pecinan Semarang.

2/
Kopi Semawis sekadar melansir jargon ”revitalisasi Pecinan Semarang” tanpa pernah melakukankan riset dan atau menjelaskan tentang apa itu ”revitalisasi Pecinan Semarang”. Juga tidak ada sosialisasi kepada warga Pecinan Semarang. Gagasan itu ujug-ujug saja.

3/
Kopi Semawis melakukan politisasi terhadap Pecinan Semarang dengan menyatakan bahwa kegiatannya (Waroeng Semawis dan Pasar Imlek Semawis) demi asas pembauran; dianggap bahwa kawasan dan warga Pecinan Semarang tertutup dan tidak berbaur. Faktanya, kawasan dan warga Pecinan Semarang sangat terbuka dan hidup rukun bersama komunitas lain.

4/
Waroeng Semawis dan Pasar Imlek Semawis adalah kegiatan ekonomi baru, bukan praktik kultural yang dihidupi oleh segenap warga Pecinan Semarang. Pengelola bertumpu pada prinsip dominan ekonomi untung-rugi dalam implementasinya.

5/
Dalih Kopi Semawis bahwa Waroeng Semawis dan Pasar Imlek Semawis demi kepariwisataan Pecinan Semarang tidak berterima karena para pemangku kepentingan—warga Pecinan Semarang—tidak pernah dilibatkan atas konsep atau kajian turisme itu. Praktik wisata kota, khususnya Pecinan Semarang, harus melibatkan dan demi kesejahteraan para pemangku kepentingan. Warga Pecinan Semarang tidak semestinya dijadikan obyek tontonan di halamannya sendiri.

6/
Waroeng Semawis relatif tidak ditentang warga Pecinan Semarang karena menempati ruas jalan yang relatif sepi di malam hari. Keramaian Waroeng Semawis relatif tidak menggangu ketenteraman warga atau lalu lintas kawasan.

7/
Pasar Imlek Semawis ditentang kuat oleh sebagian warga Pecinan Semarang dengan alasan:
A. Keramaian 3 – 4 hari di Jalan Gang Pinggir-Wotgandul Timur, dengan menutup total kedua ruas jalan itu, praktis melumpuhkan penghidupan (ekonomi) dan aktivitas harian hampir sebagian besar wilayah Pecinan Semarang. Warga dirugikan secara finansial dan psikologis.
B. Pasar Imlek Semawis hanya memanfaatkan momentum tradisi Ji Kau Meh di pasar tradisional Gang Baru. Pasar Imlek Semawis bukan ekstensi dari tradisi masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang.
C. Bila benar Pasar Imlek Semawis berpaut dengan tradisi Ji Kau Meh di Pasar Gang Baru, realitanya kontraproduktif: imbas keramaian tertuju langsung kepada para pedagang di Pasar Gang Baru; pendapatan harian mereka anjlok.


Rekomendasi:

1/
Bilamana Kopi Semawis tetap hendak berkiprah di wilayah Pecinan Semarang maka lembaga tersebut harus melakukan hal-hal berikut:
A. Menunaikan janji-janjinya tentang ”revitalisasi Pecinan Semarang” dengan melakukan riset memadai.
B. Mengakomodasi kehendak dan cita-cita kolektif para pemangku kepentingan demi menata suatu kawasan Pecinan Semarang yang asri, sejahtera dan bertamadun.
C. Melakukan sosialisasi seluruh programnya secara memadai kepada warga dan lingkungan sekitar Pecinan Semarang dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
D. Melaksanakan seluruh kegiatan berdasar kaidah hukum yang berlaku dan menjunjung prinsip etika dan moralitas universal.

2/
Bilamana Pasar Imlek Semawis tetap dipaksakan kehadirannya dan tetap hendak dipautkan dengan tradisi Ji Kau Meh di Pasar Gang Baru, Pasar Imlek Semawis cukup dilaksanakan di Jalan Wotgandul Timur saja, yakni dari batas Jalan Beteng dan Jalan Gambiran. Dengan cara ini kerugian finansial dan psikologis warga Pecinan Semarang tereliminasi. Ketidaknyamanan publik luas (warga Semarang) pun relatif berkurang.

3/
Pengembangan kawasan Pecinan Semarang sebagai destinasi turisme kota tak harus bertumpu pada dan atau dipautkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek belaka. Mesti digali lagi bentuk aktivitas kultural lain yang bisa menampakkan wajah budaya Pecinan Semarang dan konstruk kebudayaan kota umumnya secara lebih cerdas dan menarik.

4/
Adalah tepat menggagas dan merancang suatu Festival Pecinan Semarang, terpisah dari tradisi Tahun Baru Imlek, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan segenap potensi ekonomi-budayanya sehingga mampu menampakkan wajah Pecinan Semarang sebagai suatu situs kehidupan masyarakat yang bertamadun (culturally living site).

5/
Bahwa pengembangan (revitalisasi) suatu kawasan tua, seperti Pecinan Semarang, tidak harus selalu bercermin dan atau merayakan (glorifikasi) budaya arkaik-romantik. Kebudayaan semasa (kontemporer) yang masih hidup dan dihidupi oleh segenap pemangku kepentingan pantas dan layak diunggulkan.

6/
Perlu dan sudah semestinya, sebagai masyarakat modern yang beradab, agar pengembangan atau konstruk baru kebudayaan kawasan Pecinan Semarang tidak dikotori oleh upaya kepentingan pribadi/kelompok alih-alih mengatasnamakan kepentingan publik. Pemangku kepentingan Pecinan Semarang harus dianggap sebagai pemilik sah kawasan dan pelaku utama yang harus dilibatkan dan diutamakan dalam rancang bangun dan pengembangan kawasan.


Semarang, 4 Februari 2013


Salam budaya,
Tubagus P. Svarajati
Penulis buku ”Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota”
[e-mail: svarajati@yahoo.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar