Sabtu, 26 Januari 2013

Saya Kenal Sumartoyo

Ya, saya kenal Pak Sumartoyo ketika menghadap beliau di kantornya, harian Suara Merdeka, di Jalan Kaligawe KM 5, Semarang. Ketika itu pertengahan 1980an. Kepada Pak Sumartoyo, saya minta uang. Tanpa banyak cakap ia memberi saya Rp4 ribu. Ya, empat ribu rupiah saja. Itu pemberian awal.

Orang baik itu telah berpulang, tanpa ditunggui siapa pun, di rumahnya, Jalan Mahesa Utara Kekancan Mukti Pedurungan, Semarang, Jumat (25/1). Menurut berita, ia hidup sendiri setelah kematian istrinya. Anak semata wayangnya tinggal di Solo. Kematiannya pertama kali diketahui oleh salah satu tetangganya. Informasi ini saya dapatkan di harian Suara Merdeka, pagi tadi, Sabtu (26/1).

Tak sekali saja Pak Sumartoyo memberi uang kepada saya. Pertama memang empat ribu tadi. Saya tak ingat, entah berapa kali saya dapatkan empat ribuan dari dia. Tak lama ia menaikkan angkanya: enam, delapan, hingga sepuluh ribu rupiah. Terakhir kalinya saya diganjar Rp20 ribu.

Uang-uang tadi saya dapatkan dengan cara mendatangi kantornya. Meja kerjanya ada di ujung ruangan. Dia duduk membelakangi jendela kantor. Di dekatnya, seingat saya, adalah meja kerja Pak Hanapi dan Bambang Iss. Jika hendak menemui Pak Sumartoyo, saya mesti melewati meja kerja Ibu Humaini AS, di sebelah deret kanan, dekat pintu masuk. Dengan mendatangi dia, selain saya mendapat uang darinya, sekaligus saya berikan tulisan saya.

Ya, uang tadi adalah honor tulisan saya yang dimuat, umumnya, di lembaran Minggu Ini, bagian dari harian Suara Merdeka, terbit tiap hari Minggu. Jika saya cermati, nyaris seluruh tulisan saya itu berupa feature. Singkat kata, pada awalnya, honor satu tulisan saya sebesar Rp4 ribu.

Yang membanggakan, dan dengan tulisan ini saya ingin mengenang kebaikan Pak Sumartoyo, tak satu pun tulisan saya ditolak oleh dia. Artinya, semua tulisan saya yang saya sodorkan kepada dia, dimuat semua. Samar-samar saya ingat komentarnya: “Tulisan kamu sudah tidak perlu dikoreksi.” Bukankah hal itu semacam obat kuat, sebagai penyemangat, bagi seorang pemuda, pemula dalam tulis-menulis, seperti saya?

Di zaman Pak Sumartoyo itu, dan saya alami juga, belum ada komputer. Saya menulis dengan mesin ketik kecil. Itu mesin ketik ayah saya. Barangkali itu alat paling mewah di rumah keluarga kami. Mesin ketik itu ibarat perpanjangan pikiran saya. Tanpa bagan, saya langsung mengetik. Setelah karangan rampung, saya baca ulang. Saya koreksi. Lalu saya ketik ulang dengan hati-hati. Setelah beres, ya itu tadi, saya berikan kepada Pak Sumartoyo. Rasanya saya tidak perlu menunggu lama untuk membaca tulisan saya sendiri di koran. Senang, tentu saja.

Saya tak ingat berapa persisnya jumlah tulisan saya, pada era Pak Sumartoyo, yang terbit di harian Suara Merdeka. Barangkali tak semua tulisan-tulisan awal itu ada di almari saya. Pada awalnya, perkara dokumentasi memang rada terbengkelai. Tulisan-tulisan saya tentang fotografi populer di (saat itu) harian sore Wawasan pun tak tentu rimbanya.

Untuk mengakhiri kenangan saya kepada Pak Sumartoyo, saya harus berterus terang sekarang. Honor tulisan saya yang pertama bukan berasal dari dia. Saya pertama kali beroleh honor tulisan langsung Rp8 ribu. Adalah Pak Tedjo, ya ayahanda Sasongko Tedjo, yang pertama mengulurkan amplop berisi Rp8 ribu tadi. Uang sebesar itu honor satu tulisan, rada panjang, yang dimuat dua kali berurutan di lembaran Minggu Ini. Pak Tedjo inilah yang pertama merekomendasi tulisan saya untuk dimuat di koran Suara Merdeka.

Akhirulkalam, Pak Tedjo dan Pak Sumartoyo, dalam satu dan lain hal, sosok yang berjasa memuncakkan minat kepenulisan saya. Semoga Bapak berdua tenang di alam baka. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar