Minggu, 24 Februari 2013

Lontong Cap Go Meh Menyerempet Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota

[Photo: http://blog.foreignpolicy.com/posts/2012/12/17/warhols_mao_wont_be_headed_to_china]

Suherjoko, wartawan The Jakarta Post di Semarang, menelepon saya, dua hari lalu. Ia sebenarnya bertanya-tanya soal Cap Go Meh yang tepat jatuh pada hari ini, Minggu (24/2). Momentum Cap Go Meh, jika hendak disamakan dengan peristiwa Lebaran, mirip dengan Bakda Kupat di Jawa. Cap Go Meh menuntaskan perayaan Imlek, dua minggu sebelumnya, sedangkan Bakda Kupat menggenapi Lebaran, juga setelah dua minggu Lebaran berselang. Ada irisan kultural di antara keduanya.

Pada tradisi Cap Go Meh, orang Tionghoa, khususnya yang saya tahu di seputar Semarang, punya makanan khas lontong capgomeh. Sebenarnya ini sekadar potongan lontong biasa yang dihidangkan dengan opor ayam berkuah. Lontong capgomeh disuguhkan dalam piring dengan kelengkapannya: sambal goreng hati-rempelo ayam, perkedel kentang, sayur lodeh, suwiran ayam, dan sebagainya. Yang terpenting, setelah semuanya tersaji lengkap di piring, di atasnya ditaburi bubuk kedelai-sangrai. Dengan menyajikan kulinari tersebut orang Tionghoa, secara langsung, melakukan akulturasi budaya Jawa dan menahbiskan lontong opor sebagai bagian dari jati dirinya.

Tentang lontong capgomeh, termasuk ramuan sejarahnya, Jongkie Tio piawai berkisah. Pemerhati budaya lisan Semarang dan pengusaha restoran itu bilang, versi lontong  capgomeh racikannya terdiri dari sepuluh macam bahan. Mistifikasi Tio tentang masakannya memang sedap disimak.

Lebih dari itu saya tidak akrab pada tradisi Cap Go Meh. Keluarga kami tidak terlalu ketat melaksanakan ritual atau tradisi ketionghoaan. Apa pasalnya? Yang pertama, jelas, ini hasil eksklusi rezim Orde Baru terhadap tradisi dan budaya Tionghoa secara umum. Alasan kedua, secara emosional, kami tak pernah terikat pada tradisi leluhur kami di Tiongkok. Bagi kami, negeri Tirai Bambu serasa di awang-awang. Satu hal yang tetap jadi kesepakatan, boleh disebut sebagai tradisi, ialah kewajiban keluarga berkumpul di malam hari, sehari jelang Tahun Baru Imlek, yakni saat Ji Kau Meh. Hal ini lebih sebagai ekspresi silaturahmi kekeluargaan atau kekerabatan. Tentang Cap Go Meh, paling banter kami hanya memasak, lebih kerapnya membeli, dan mengudap penganan lontong opor pada momentum tersebut di dalam keluarga batih kami sendiri.

Obrolan saya dan Suherjoko melebar dan menyinggung buku Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota. Menyitir kawannya, Suherjoko berkata bahwa buku tersebut sekadar menampung kemarahan atau kegeraman saya apalagi hanya bersumber dari tulisan-tulisan di blog personal. Dua hal mencuat dari asumsi tersebut: pertama, seakan tulisan-tulisan yang bersumber dari blog personal kurang berbobot; dan kedua, isi tulisan juga tidak berarti.

Terhadap sinisme yang menyeruak, Suherjoko memberikan ”pembelaan”. Ia yakin, tulisan-tulisan saya berangkat dari perenungan dalam. Tentu tak semena-mena esai-esai terlontar dalam ruang-waktu tanpa pertanggungjawaban. Benar, saya kira tanggung jawab etik-moral, sekaligus intelektual, menyertai kelahiran setiap esai saya. Saya berterima kasih untuk pendapatnya tersebut.

Saya jelaskan di sini, semua format tulisan saya adalah esai. Nyaris semuanya saya kirimkan ke berbagai media (koran). Seperti lazimnya, dengan berbagai alasan redaksional, tidak semua tulisan terbit. Esai yang tidak terbit, setelah beberapa waktu, saya unggah di blog. Sedangkan tulisan yang terpublikasi di media saya unggah pula. Dengan cara ini saya ingin gagasan atau diskursusnya awet dan melebar. Jadi, intensi penulisannya setara: untuk masyarakat umum. Tentang isi tulisan, yang terbit ataupun tidak, sama saja signifikansinya. Jangan kira bahwa tulisan yang terpublikasi di media selalu lebih baik.

Jika dicermati, nyaris semua tulisan yang pada akhirnya terunggah di blog senantiasa saya sertakan catatan riwayatnya: atau ia terpublikasi atau ia pernah dikirimkan ke media tertentu. Singkat kata, ini bukti bahwa semua tulisan saya dirancang untuk suatu penerbitan. Dengan demikian, dalam berbagai segi, saya patuh pada kode etik jurnalistik secara umum. Ini lebih ke soal integritas.

Sekiranya ada anggapan esai-esai tak layak dirangkum dalam sebuah kitab, berkacalah pada buku-buku, misalnya, On Not Speaking Chinese (Ien Ang) atau Can Asians Think? (Kishore Mahbubani). Keduanya adalah kumpulan esai yang riwayat penerbitannya terentang dalam ruang-waktu berbeda. Isi kedua buku itu pun pantas Anda simak dengan takzim. Antara lain dari kedua penulis itu saya meyakini kekuatan tulisan tak berkurang oleh bentuknya atau ruang pemuatannya. Tapi, terhadap pendapat lain, bahwa buku kumpulan esai cuma ”buku-bukuan”, bukan buku serius, saya lebih baik tak berkomentar.

Tentang gagasan-gagasan saya dalam buku Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota, seperti yang saya yakini sekeras batu, niscaya beroleh tempat baik dalam ruang-waktu yang tepat. Dengan membukukan esai-esai tersebut, lebih-kurangnya, saya telah mendokumentasikan gagasan dan kontemplasi intelektualitas saya. Itu saja.

2 komentar:

  1. Buku Pecinan semarang dan Dar Der Dor kota, menurut saya bukan hanya sebuah kumpulan esai yang tanpa makna seperti yang diungkapkan Suherjoko. Ia adalah sebuah rangkuman keluh kesah, dan juga bentuk kritisme Tubagus. Tidak hanya itu, ia juga menawarkan solusi demi kebaikan pengelolaan di masa mendatang.
    Banyak buku yang berasal dari kumpulan esai, menurut saya buku dengan kumpulan esai (apalagi pengamatan secara langsung tentang suatu masalah) lebih menarik dibanding dengan buku-buku hasil penelitian yang disuguhkan dengan bahasa kaku.

    Gagasan dan juga kritik pedas ini bukanlah bentuk kemarahan dan kegeramanTubagus, tetapi bentuk keprihatinan beliau.

    BalasHapus
  2. Lebih-kurangnya pendapat Andika Prabowo menjadi perhatian saya ketika menyatukan sejumlah esai saya ke bentuk buku.

    Terima kasih telah berbagi pendapat.

    Salam.

    BalasHapus