Jumat, 18 Oktober 2013

PHōTAGōGóS Terang-Gelap Fotografi Indonesia


Judul:
PHōTAGōGóS Terang-Gelap Fotografi Indonesia

Penerbit:
Suka Buku, Semarang

Cetakan:
Pertama, September 2013

Tebal:
xxxix + 201 Hlm.

Ukuran:
14 x 21 cm

ISBN:
978-602-19785-8-0

Harga:
Rp40.000,00


Buku yang langka dan penting dibaca.
Isinya sangat apresiatif.
Agus Leonardus
Fotografer dan pengajar fotografi

Buku yang menarik dan wajiba dibaca
para fotografer semua genre, termasuk pewarta foto.
R. Rekotomo
Pewarta foto ANTARA

Ide, permasalahan dan filosofi fotografi dalam
PHōTAGōGóS begitu mudah dicerna.
Oscar Motuloh
Fotografer

PHōTAGōGóS membuat kita mengerti ada hal-hal
yang belum kita mengerti meskipun kita
sudah tahu banyak tentang fotografi.
Kristupa Saragih
Fotografer profesional dan salah satu pendiri Fotografer.net

Bahwa foto ternyata sarat dengan pesan.
Harto Solichin Margo
Ketua Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia (FPSI)


Sementara buku bisa diperoleh di:

Toko Buku MERBABU
Jl Pandanaran No 108
Semarang
024-8319562

BURSA KAMERA
Ruko Mataram B-4
Jl MT Haryono 427-429
Semarang
024-3560052

Toko Buku PANDORA
Jl Singosari Raya No. 25
Semarang
024-831 7913

SEMARANG GALLERY
Jl Taman Srigunting No 5-6
Semarang
024-3552099


Aris Yaitu
085641292732
facebook.com/aris.yaitu
@Arisyaitu
bermain_warna@ymail.com

Rana Wijayasoe
08562758558
facebook.com/rana.wijayasoe
@RanaWijayaSoe
rana.wijayasoe@gmail.com

Tubagus P. Svarajati
facebook.com/svarajati
@svarajati_yes
svarajati@yahoo.com


Minggu, 24 Februari 2013

Lontong Cap Go Meh Menyerempet Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota

[Photo: http://blog.foreignpolicy.com/posts/2012/12/17/warhols_mao_wont_be_headed_to_china]

Suherjoko, wartawan The Jakarta Post di Semarang, menelepon saya, dua hari lalu. Ia sebenarnya bertanya-tanya soal Cap Go Meh yang tepat jatuh pada hari ini, Minggu (24/2). Momentum Cap Go Meh, jika hendak disamakan dengan peristiwa Lebaran, mirip dengan Bakda Kupat di Jawa. Cap Go Meh menuntaskan perayaan Imlek, dua minggu sebelumnya, sedangkan Bakda Kupat menggenapi Lebaran, juga setelah dua minggu Lebaran berselang. Ada irisan kultural di antara keduanya.

Pada tradisi Cap Go Meh, orang Tionghoa, khususnya yang saya tahu di seputar Semarang, punya makanan khas lontong capgomeh. Sebenarnya ini sekadar potongan lontong biasa yang dihidangkan dengan opor ayam berkuah. Lontong capgomeh disuguhkan dalam piring dengan kelengkapannya: sambal goreng hati-rempelo ayam, perkedel kentang, sayur lodeh, suwiran ayam, dan sebagainya. Yang terpenting, setelah semuanya tersaji lengkap di piring, di atasnya ditaburi bubuk kedelai-sangrai. Dengan menyajikan kulinari tersebut orang Tionghoa, secara langsung, melakukan akulturasi budaya Jawa dan menahbiskan lontong opor sebagai bagian dari jati dirinya.

Tentang lontong capgomeh, termasuk ramuan sejarahnya, Jongkie Tio piawai berkisah. Pemerhati budaya lisan Semarang dan pengusaha restoran itu bilang, versi lontong  capgomeh racikannya terdiri dari sepuluh macam bahan. Mistifikasi Tio tentang masakannya memang sedap disimak.

Lebih dari itu saya tidak akrab pada tradisi Cap Go Meh. Keluarga kami tidak terlalu ketat melaksanakan ritual atau tradisi ketionghoaan. Apa pasalnya? Yang pertama, jelas, ini hasil eksklusi rezim Orde Baru terhadap tradisi dan budaya Tionghoa secara umum. Alasan kedua, secara emosional, kami tak pernah terikat pada tradisi leluhur kami di Tiongkok. Bagi kami, negeri Tirai Bambu serasa di awang-awang. Satu hal yang tetap jadi kesepakatan, boleh disebut sebagai tradisi, ialah kewajiban keluarga berkumpul di malam hari, sehari jelang Tahun Baru Imlek, yakni saat Ji Kau Meh. Hal ini lebih sebagai ekspresi silaturahmi kekeluargaan atau kekerabatan. Tentang Cap Go Meh, paling banter kami hanya memasak, lebih kerapnya membeli, dan mengudap penganan lontong opor pada momentum tersebut di dalam keluarga batih kami sendiri.

Obrolan saya dan Suherjoko melebar dan menyinggung buku Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota. Menyitir kawannya, Suherjoko berkata bahwa buku tersebut sekadar menampung kemarahan atau kegeraman saya apalagi hanya bersumber dari tulisan-tulisan di blog personal. Dua hal mencuat dari asumsi tersebut: pertama, seakan tulisan-tulisan yang bersumber dari blog personal kurang berbobot; dan kedua, isi tulisan juga tidak berarti.

Terhadap sinisme yang menyeruak, Suherjoko memberikan ”pembelaan”. Ia yakin, tulisan-tulisan saya berangkat dari perenungan dalam. Tentu tak semena-mena esai-esai terlontar dalam ruang-waktu tanpa pertanggungjawaban. Benar, saya kira tanggung jawab etik-moral, sekaligus intelektual, menyertai kelahiran setiap esai saya. Saya berterima kasih untuk pendapatnya tersebut.

Saya jelaskan di sini, semua format tulisan saya adalah esai. Nyaris semuanya saya kirimkan ke berbagai media (koran). Seperti lazimnya, dengan berbagai alasan redaksional, tidak semua tulisan terbit. Esai yang tidak terbit, setelah beberapa waktu, saya unggah di blog. Sedangkan tulisan yang terpublikasi di media saya unggah pula. Dengan cara ini saya ingin gagasan atau diskursusnya awet dan melebar. Jadi, intensi penulisannya setara: untuk masyarakat umum. Tentang isi tulisan, yang terbit ataupun tidak, sama saja signifikansinya. Jangan kira bahwa tulisan yang terpublikasi di media selalu lebih baik.

Jika dicermati, nyaris semua tulisan yang pada akhirnya terunggah di blog senantiasa saya sertakan catatan riwayatnya: atau ia terpublikasi atau ia pernah dikirimkan ke media tertentu. Singkat kata, ini bukti bahwa semua tulisan saya dirancang untuk suatu penerbitan. Dengan demikian, dalam berbagai segi, saya patuh pada kode etik jurnalistik secara umum. Ini lebih ke soal integritas.

Sekiranya ada anggapan esai-esai tak layak dirangkum dalam sebuah kitab, berkacalah pada buku-buku, misalnya, On Not Speaking Chinese (Ien Ang) atau Can Asians Think? (Kishore Mahbubani). Keduanya adalah kumpulan esai yang riwayat penerbitannya terentang dalam ruang-waktu berbeda. Isi kedua buku itu pun pantas Anda simak dengan takzim. Antara lain dari kedua penulis itu saya meyakini kekuatan tulisan tak berkurang oleh bentuknya atau ruang pemuatannya. Tapi, terhadap pendapat lain, bahwa buku kumpulan esai cuma ”buku-bukuan”, bukan buku serius, saya lebih baik tak berkomentar.

Tentang gagasan-gagasan saya dalam buku Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota, seperti yang saya yakini sekeras batu, niscaya beroleh tempat baik dalam ruang-waktu yang tepat. Dengan membukukan esai-esai tersebut, lebih-kurangnya, saya telah mendokumentasikan gagasan dan kontemplasi intelektualitas saya. Itu saja.

Minggu, 03 Februari 2013

GONJANG-GANJING PECINAN SEMARANG

SURAT TERBUKA
KEPADA WALI KOTA SEMARANG
SOAL
GONJANG-GANJING PECINAN SEMARANG
TERKAIT DENGAN KERAMAIAN
PASAR IMLEK SEMAWIS
OLEH KOPI SEMAWIS
DI JALAN GANG PINGGIR – WOTGANDUL TIMUR
SEMARANG

Catatan:

1/
Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) bukan wakil Pecinan Semarang. Jikalau dianggap sebagai representasi warga Pecinan Semarang, pembentukannya cacat sosiologis karena hanya ditentukan oleh beberapa orang warga yang merasa punya hak atas identitas dan wilayah Pecinan Semarang.

2/
Kopi Semawis sekadar melansir jargon ”revitalisasi Pecinan Semarang” tanpa pernah melakukankan riset dan atau menjelaskan tentang apa itu ”revitalisasi Pecinan Semarang”. Juga tidak ada sosialisasi kepada warga Pecinan Semarang. Gagasan itu ujug-ujug saja.

3/
Kopi Semawis melakukan politisasi terhadap Pecinan Semarang dengan menyatakan bahwa kegiatannya (Waroeng Semawis dan Pasar Imlek Semawis) demi asas pembauran; dianggap bahwa kawasan dan warga Pecinan Semarang tertutup dan tidak berbaur. Faktanya, kawasan dan warga Pecinan Semarang sangat terbuka dan hidup rukun bersama komunitas lain.

4/
Waroeng Semawis dan Pasar Imlek Semawis adalah kegiatan ekonomi baru, bukan praktik kultural yang dihidupi oleh segenap warga Pecinan Semarang. Pengelola bertumpu pada prinsip dominan ekonomi untung-rugi dalam implementasinya.

5/
Dalih Kopi Semawis bahwa Waroeng Semawis dan Pasar Imlek Semawis demi kepariwisataan Pecinan Semarang tidak berterima karena para pemangku kepentingan—warga Pecinan Semarang—tidak pernah dilibatkan atas konsep atau kajian turisme itu. Praktik wisata kota, khususnya Pecinan Semarang, harus melibatkan dan demi kesejahteraan para pemangku kepentingan. Warga Pecinan Semarang tidak semestinya dijadikan obyek tontonan di halamannya sendiri.

6/
Waroeng Semawis relatif tidak ditentang warga Pecinan Semarang karena menempati ruas jalan yang relatif sepi di malam hari. Keramaian Waroeng Semawis relatif tidak menggangu ketenteraman warga atau lalu lintas kawasan.

7/
Pasar Imlek Semawis ditentang kuat oleh sebagian warga Pecinan Semarang dengan alasan:
A. Keramaian 3 – 4 hari di Jalan Gang Pinggir-Wotgandul Timur, dengan menutup total kedua ruas jalan itu, praktis melumpuhkan penghidupan (ekonomi) dan aktivitas harian hampir sebagian besar wilayah Pecinan Semarang. Warga dirugikan secara finansial dan psikologis.
B. Pasar Imlek Semawis hanya memanfaatkan momentum tradisi Ji Kau Meh di pasar tradisional Gang Baru. Pasar Imlek Semawis bukan ekstensi dari tradisi masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang.
C. Bila benar Pasar Imlek Semawis berpaut dengan tradisi Ji Kau Meh di Pasar Gang Baru, realitanya kontraproduktif: imbas keramaian tertuju langsung kepada para pedagang di Pasar Gang Baru; pendapatan harian mereka anjlok.


Rekomendasi:

1/
Bilamana Kopi Semawis tetap hendak berkiprah di wilayah Pecinan Semarang maka lembaga tersebut harus melakukan hal-hal berikut:
A. Menunaikan janji-janjinya tentang ”revitalisasi Pecinan Semarang” dengan melakukan riset memadai.
B. Mengakomodasi kehendak dan cita-cita kolektif para pemangku kepentingan demi menata suatu kawasan Pecinan Semarang yang asri, sejahtera dan bertamadun.
C. Melakukan sosialisasi seluruh programnya secara memadai kepada warga dan lingkungan sekitar Pecinan Semarang dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
D. Melaksanakan seluruh kegiatan berdasar kaidah hukum yang berlaku dan menjunjung prinsip etika dan moralitas universal.

2/
Bilamana Pasar Imlek Semawis tetap dipaksakan kehadirannya dan tetap hendak dipautkan dengan tradisi Ji Kau Meh di Pasar Gang Baru, Pasar Imlek Semawis cukup dilaksanakan di Jalan Wotgandul Timur saja, yakni dari batas Jalan Beteng dan Jalan Gambiran. Dengan cara ini kerugian finansial dan psikologis warga Pecinan Semarang tereliminasi. Ketidaknyamanan publik luas (warga Semarang) pun relatif berkurang.

3/
Pengembangan kawasan Pecinan Semarang sebagai destinasi turisme kota tak harus bertumpu pada dan atau dipautkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek belaka. Mesti digali lagi bentuk aktivitas kultural lain yang bisa menampakkan wajah budaya Pecinan Semarang dan konstruk kebudayaan kota umumnya secara lebih cerdas dan menarik.

4/
Adalah tepat menggagas dan merancang suatu Festival Pecinan Semarang, terpisah dari tradisi Tahun Baru Imlek, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan segenap potensi ekonomi-budayanya sehingga mampu menampakkan wajah Pecinan Semarang sebagai suatu situs kehidupan masyarakat yang bertamadun (culturally living site).

5/
Bahwa pengembangan (revitalisasi) suatu kawasan tua, seperti Pecinan Semarang, tidak harus selalu bercermin dan atau merayakan (glorifikasi) budaya arkaik-romantik. Kebudayaan semasa (kontemporer) yang masih hidup dan dihidupi oleh segenap pemangku kepentingan pantas dan layak diunggulkan.

6/
Perlu dan sudah semestinya, sebagai masyarakat modern yang beradab, agar pengembangan atau konstruk baru kebudayaan kawasan Pecinan Semarang tidak dikotori oleh upaya kepentingan pribadi/kelompok alih-alih mengatasnamakan kepentingan publik. Pemangku kepentingan Pecinan Semarang harus dianggap sebagai pemilik sah kawasan dan pelaku utama yang harus dilibatkan dan diutamakan dalam rancang bangun dan pengembangan kawasan.


Semarang, 4 Februari 2013


Salam budaya,
Tubagus P. Svarajati
Penulis buku ”Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota”
[e-mail: svarajati@yahoo.com]

Sabtu, 26 Januari 2013

Saya Kenal Sumartoyo

Ya, saya kenal Pak Sumartoyo ketika menghadap beliau di kantornya, harian Suara Merdeka, di Jalan Kaligawe KM 5, Semarang. Ketika itu pertengahan 1980an. Kepada Pak Sumartoyo, saya minta uang. Tanpa banyak cakap ia memberi saya Rp4 ribu. Ya, empat ribu rupiah saja. Itu pemberian awal.

Orang baik itu telah berpulang, tanpa ditunggui siapa pun, di rumahnya, Jalan Mahesa Utara Kekancan Mukti Pedurungan, Semarang, Jumat (25/1). Menurut berita, ia hidup sendiri setelah kematian istrinya. Anak semata wayangnya tinggal di Solo. Kematiannya pertama kali diketahui oleh salah satu tetangganya. Informasi ini saya dapatkan di harian Suara Merdeka, pagi tadi, Sabtu (26/1).

Tak sekali saja Pak Sumartoyo memberi uang kepada saya. Pertama memang empat ribu tadi. Saya tak ingat, entah berapa kali saya dapatkan empat ribuan dari dia. Tak lama ia menaikkan angkanya: enam, delapan, hingga sepuluh ribu rupiah. Terakhir kalinya saya diganjar Rp20 ribu.

Uang-uang tadi saya dapatkan dengan cara mendatangi kantornya. Meja kerjanya ada di ujung ruangan. Dia duduk membelakangi jendela kantor. Di dekatnya, seingat saya, adalah meja kerja Pak Hanapi dan Bambang Iss. Jika hendak menemui Pak Sumartoyo, saya mesti melewati meja kerja Ibu Humaini AS, di sebelah deret kanan, dekat pintu masuk. Dengan mendatangi dia, selain saya mendapat uang darinya, sekaligus saya berikan tulisan saya.

Ya, uang tadi adalah honor tulisan saya yang dimuat, umumnya, di lembaran Minggu Ini, bagian dari harian Suara Merdeka, terbit tiap hari Minggu. Jika saya cermati, nyaris seluruh tulisan saya itu berupa feature. Singkat kata, pada awalnya, honor satu tulisan saya sebesar Rp4 ribu.

Yang membanggakan, dan dengan tulisan ini saya ingin mengenang kebaikan Pak Sumartoyo, tak satu pun tulisan saya ditolak oleh dia. Artinya, semua tulisan saya yang saya sodorkan kepada dia, dimuat semua. Samar-samar saya ingat komentarnya: “Tulisan kamu sudah tidak perlu dikoreksi.” Bukankah hal itu semacam obat kuat, sebagai penyemangat, bagi seorang pemuda, pemula dalam tulis-menulis, seperti saya?

Di zaman Pak Sumartoyo itu, dan saya alami juga, belum ada komputer. Saya menulis dengan mesin ketik kecil. Itu mesin ketik ayah saya. Barangkali itu alat paling mewah di rumah keluarga kami. Mesin ketik itu ibarat perpanjangan pikiran saya. Tanpa bagan, saya langsung mengetik. Setelah karangan rampung, saya baca ulang. Saya koreksi. Lalu saya ketik ulang dengan hati-hati. Setelah beres, ya itu tadi, saya berikan kepada Pak Sumartoyo. Rasanya saya tidak perlu menunggu lama untuk membaca tulisan saya sendiri di koran. Senang, tentu saja.

Saya tak ingat berapa persisnya jumlah tulisan saya, pada era Pak Sumartoyo, yang terbit di harian Suara Merdeka. Barangkali tak semua tulisan-tulisan awal itu ada di almari saya. Pada awalnya, perkara dokumentasi memang rada terbengkelai. Tulisan-tulisan saya tentang fotografi populer di (saat itu) harian sore Wawasan pun tak tentu rimbanya.

Untuk mengakhiri kenangan saya kepada Pak Sumartoyo, saya harus berterus terang sekarang. Honor tulisan saya yang pertama bukan berasal dari dia. Saya pertama kali beroleh honor tulisan langsung Rp8 ribu. Adalah Pak Tedjo, ya ayahanda Sasongko Tedjo, yang pertama mengulurkan amplop berisi Rp8 ribu tadi. Uang sebesar itu honor satu tulisan, rada panjang, yang dimuat dua kali berurutan di lembaran Minggu Ini. Pak Tedjo inilah yang pertama merekomendasi tulisan saya untuk dimuat di koran Suara Merdeka.

Akhirulkalam, Pak Tedjo dan Pak Sumartoyo, dalam satu dan lain hal, sosok yang berjasa memuncakkan minat kepenulisan saya. Semoga Bapak berdua tenang di alam baka. Terima kasih.

Jumat, 09 November 2012

Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota



Judul:
Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota

Penerbit:
Suka Buku, Semarang

Cetakan:
Pertama, Oktober 2012

Tebal:
xxii + 250 Hlm.

Ukuran:
12 x 19 cm

ISBN:
978602968-2

Harga:
Rp30.000,00

Ada dua hal dari buku ini yang menarik. Pertama, belum banyak buku yang mengkaji soal Pecinan Semarang. Kedua, penulisnya seorang budayawan cum jurnalis. Esai-esai dikemas dengan gaya jurnalistik sehingga kajian seberat apapun menjadi enak dibaca.
Renjani Puspo Sari, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang

Jika Anda bertanya, siapa yang mesti diajak bicara, sebagai pemangku kepentingan, tentang penanganan suatu kawasan dari segenap aspek di Kota Semarang, terutama kawasan Pecinan, 
jawaban saya: Tubagus Svarajati!
Gunawan Budi Susanto, dosen luar biasa FBS Universitas Negeri Semarang

Jika Anda ingin mendapatkan kritik tajam, lugas, tanpa basa-basi, dan jujur mengenai perkotaan, terutama kawasan Pecinan, bacalah tulisan Tubagus yang kadang hadir secara kasar, sinis, dan penuh ledekan. Percayalah, itu hanya cara lain sang penulis untuk menghargai, merawat, 
dan “mengekalkan” kotanya dari kehancuran.
Triyanto Triwikromo, sastrawan dan wartawan, tinggal di Semarang

Gagasan dan kritik pedas di buku ini tentang Pecinan — dari kerusakan lingkungan, transportasi, turisme sampai seni dan sastra — didasari pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang Pecinan dan masyarakatnya. Sesuatu yang sulit, bahkan mustahil, dipunyai orang yang tidak lahir dan besar di sana. Di tengah keengganan masyarakat Pecinan umumnya untuk bersuara akibat trauma masa lalu, teriakan lantang Tubagus mewakili aspirasi mereka.
Tjahjono Rahardjo, ketua Perkumpulan Seni Budaya dan
Gedung Cagar Budaya Sobokartti Semarang

Kota dalam kesadaran Tubagus adalah wilayah yang seharusnya menunjukkan watak manusiawi. Kota tanpa spirit keberadaban tidak lebih sebagai rimba raya modern 
yang membiakkan kebuasan dan keberingasan.
Triyono Lukmantoro, dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP 
Universitas Diponegoro Semarang



Dapatkan buku ini di:

Toko Buku PANDORA
Jln Singosari – Semarang
Tembalang – Semarang

Toko Buku TOGA MAS
Jln Bangkong – Semarang

Toko Buku MERBABU
Jln Pandanaran – Semarang

SEMARANG RESTAURANT
Jln Gajahmada – Semarang

HARUMI’S Tea and Noodle
Jln Puri Anjasmoro Blok B 1 No 16/17
Semarang

TJIANG RESIDENCE
Jln Gang Pinggir 24
Semarang

GLORY Stationery
Jln Gang Pinggir 9A
Semarang

Minggu, 07 Oktober 2012

Toko Buku Surya

[Situs toko buku Surya (tanah berpagar seng, kiri), Jl. Letjend. MT Haryono 289, Semarang. Foto diambil pada Jumat, 5 Oktober 2012.]

ENTAH bagaimana ketertarikan saya pada buku, atau minat baca saya, bermula. Sependek yang saya ingat, kami berdua—saya dan kakak lelaki—saling bertungkus-lumus dalam perkara baca-membaca. Itu kira-kira seusia anak sekolah dasar.

Tapi, tak mudah kami memuaskan hasrat pada bebacaan. Keluarga kami berkekurangan, karenanya tak ada uang berlebih untuk membeli buku. Apa daya, minat membaca meletup-membucah. Alhasil, sekerat koran pun kami lahap tuntas. Kami bolak-bolak potongan koran itu, kami serap aksaranya, tak hirau apa saja isi beritanya. Yang penting: ekstase membaca terpuaskan.

Kian lama minat baca kami meningkat. Rasanya kami tak peduli, apa saja yang beraksara, entah potongan koran, atau buku apa saja, kami sikat habis isinya. Saya ingat, pada waktu Sekolah Dasar hampir kami tunaikan, kami berdua mulai membaca majalah Intisari. Bagaimana mendapatkan majalah itu sedangkan kami tak berpunya? Berpatungan kami menyewa di suatu taman bacaan—tentu setelah kami sisihkan sebagian uang jajan yang tak seberapa. Begitulah suatu persewaan buku disebut, ketika itu, sekitar 1970-an, di Semarang. Di Sekolah Menengah Pertama, kami mulai beradaptasi dengan majalah Tempo. Demikianlah, terus-menerus minat baca kami berkembang. Kami melebarkan cara pandang sekaligus meluaskan hasrat kami pada kata-kata.

Tentang taman bacaan, ada rahasia khusus. Di sana kami—barangkali perlu koreksi: jangan-jangan saya yang termaksud, lebih tepatnya—tak sekadar menemu buku-buku komik, cerita silat Kho Ping Ho, majalah remaja, atau roman-novela. Rahasia taman bacaan itu tidak terselip di antara bebukuan atau di tumpukan majalah. Tapi, di suatu laci khusus. Di sanalah sang pemilik taman bacaan menyembunyikan nikmat-khayali itu. Itulah sejenis buku meski sekadar kumpulan kertas dengan jilid sederhana dan cetakan sekadarnya pula. Huruf-hurufnya tercetak model mesin ketik biasa, sering kali buram, tak jarang tintanya mengotori telapak tangan kita. Pasalnya, jelaslah, buku itu dicetak dengan mesin stensil. Tapi, isinya! Saya gemetaran pertama kali membacanya. Penuh ketelanjangan dan umbaran berahi. Menggairahkan.

Sesungguhnya istilah ’stensilan’ mengacu pada sejenis buku pornografi. Vulgar. Tanpa sensor. Bahasanya banal. Kisahnya langsung menohok, tanpa basa-basi. Justru itulah kekuatan utamanya. Pada era tujuhpuluhan, remaja yang tak bersinggungan dengan stensilan bolehlah ditandai sebagai kuno dan 'kuper', kurang pergaulan.

Pertama kali saya baca buku stensilan, selanjutnya hanya ada satu kata: ketagihan. Tapi, percayalah, bukan saya saja yang mengalami adiksi demikian. Bahkah ada orang yang sampai perlu mengoleksinya. Seseorang kawan wartawan, ketika bertugas di Medan beberapa tahun silam, ternyata beruntung bisa mendapatkan cukup banyak stensilan itu. Jadilah ia kolektor “buku tjabul” stensilan. Kita, tentu saja, tak pantas menyebutnya sebagai wartawan cabul.

Sekarang saya tidak perlu buku sejenis itu. Minat saya berubah. Lagi-lagi saya tak ingat bagaimana persisnya saya tertarik pada bacaan filsafat. Yang jelas, pada 1980-an, saya mulai membaca buku-buku filsafat. Saya membelinya di toko buku Surya, Semarang. Stempel toko buku Surya menyebutkan alamatnya: Jl. Letjen. Haryono 289 Tlp. 20722.

Bila Anda susuri Jalan MT Haryono, dari arah lalu-lintas searah selatan-utara, toko buku Surya tepat di sebelah kiri, di ujung jalan, sebelum belok ke Jalan Jagalan. Bangunannya tidak besar, mungkin hanya 4 meter lebarnya dan panjangnya sekitar 10 meter saja. Di kedua dindingnya menempel almari buku kuno, coklat tua, berpintu kaca. Warna kacanya suram tergerus umur. Tinggi almari hampir menyentuh plafon. Di depan almari dinding masih ada almari kaca setinggi dada orang dewasa. Kacanya sudah buram pula. Lemari-lemari itu penuh buku. Si penjual buku, pelayan toko atau sang pemilik sendiri, melayani pembeli dari antara almari dinding dan almari pendek itu. Pembeli, berdiri di luar almari pendek, memang tak leluasa memilih buku. Saya pun kesulitan memilih-memilah buku yang saya sukai.

Toko buku Surya terutama menjual buku-buku pelajaran sekolah, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Hanya sedikit buku-buku umum. Lainnya beberapa jenis majalah. Seingat saya, saya tak menjumpai buku-buku cerita silat karya, misalnya, Kho Ping Ho atau Gan KL. Untuk buku-buku sejenis itu, biasanya, saya beli di toko buku Sutawijaya. Toko buku yang kedua ini juga di Jalan MT Haryono, tak jauh dari toko buku Surya.

Meski koleksi toko buku Surya tak banyak, entah mengapa ada juga dijual buku-buku filsafat. Di sinilah, untuk pertama kalinya, saya mengenal apa itu filsafat. Sejujurnya, sampai sekarang pun, filsafat ialah cabang keilmuan diskursif yang tak mudah bagi sebagian besar orang, tak terkecuali saya. Tetapi, lagi-lagi harus saya ungkapkan, saya tak paham mengapa saya tertarik pada buku-buku sejenis itu. Sungguh. Membacanya pun, bagi remaja tanggung pada 1980-an itu, saya tak paham benar maksudnya. Hanya hasrat membaca sajalah yang menuntun saya meniti aksara demi aksara, menjalin kognisi dan berupaya merasionalisasi apa-apa yang terserap, dan tak jarang itu semua berakhir di lembah kebingungan.

Begitulah proses saya membaca filsafat, bertahun-tahun. Setelah koleksi buku saya berderet-berdesakan di beberapa rak, berserak di beberapa sudut rumah atau ruang, saya masih membaca dengan cara begitu: pemahaman selalu bermula dari upaya keras, sering kali melelahkan, merangkai ide-ide atau petikan-petikan isi buku menjadi piramida pengetahuan. Maklum, masih dengan alasan sama: kami sangat berkekurangan dalam hal finansial, pendidikan formal saya tak memadai untuk menekuni kajian filsafat atau cecabang keilmuan lain agar bisa menjadi seorang akademisi tangguh atau pemikir brilian.

Selain filsafat, minat baca saya melebar hingga ke risalah sastra, sosial, politik, fotografi, seni rupa, dan kajian-kajian humaniora lain. Saya bersyukur, dengan praksis belajar sirkular, meliuk, tidak linear, maka kognisi saya meluas dan karena itu saya mudah berputar haluan menelisik, menelusup hingga menyelami palung kritisisme demi kritisisme. Tapi, sebaliknya, harus saya akui sejujurnya, model pembelajaran seperti itu menghasilkan cuma keseolahan intelektualitas. Saya sekadar memungut remah-remah gagasan, memamah-biak, bukan membangun ketangguhan logiko-rasio tertentu. Sungguh, saya sekadar seorang yang seolah tahu hal banyak, namun sering kali tak mengerti pernik-pernik kebenaran terpuji yang meruah di sekeliling saya.

Upaya membeli buku, ketika saya sebagai remaja, masih bukan perkara mudah. Saya harus berhemat, menabung sebagian sisa uang jajan, agar sesegera mungkin bisa kembali ke toko buku Surya. Saya tinggal menyeberang jalan saja jika hendak ke toko buku Surya. Ketika itu keluarga kami mengontrak sebuah rumah di Jalan MT Haryono, berseberangan jalan dengan toko buku Surya, berjarak sekitar 50 meter saja. Di rumah kontrakan itu, keluarga kami—kecuali saya yang berdiam sembari menjaga rumah kami di Gang Cilik, Pecinan Semarang—berjualan ayam goreng. Warung kami bernama ”Ayam Goreng Gaya Baru”.

Kenangan saya pada toko buku Surya, barangkali, segera sirna bersama robohnya bangunan toko itu. Tampaknya bangunan toko buku Surya sedang dan akan dibangun dengan bangunan baru. Ini hal yang tak dapat dicegah. Toko buku, apalagi bila ukurannya kecil, memang tak menjanjikan madu-laba setakat ini. Toko buku semacam itu tentu kalah bersaing dengan toko sejenis yang bermodal besar. Beberapa tahun belakangan, memang, toko buku Surya telah bersalin rupa menjadi toko busana. Agaknya toko busana itu juga tak bertahan lama. Alhasil, toko itu tutup selama beberapa tahun.

Dengan esai ini saya ingin berterima kasih pada toko buku Surya. Langsung atau tidak, toko itu palung pertama saya menyelami kedalaman dan keluasan kognisi, tentu saja, melalui bebacaan, melalui bebukuan ’bermutu’.

Bisa dibilang toko buku Surya pernah menjadi bagian dari sejarah-peradaban kota. Di sana aksara-aksara merapat menjadi bebacaan atau bebukuan. (Tubagus P. Svarajati)

Kamis, 09 Agustus 2012

Reruntuhan Chung Hwa Photo Supply


CHUNG HWA PHOTO SUPPLY digempur, mulai hari ini (9/8). Temboknya hancur. Lantainya remuk. Jelas, sejarahnya segera jadi abu.

Dari gedung itu, di suatu masa ketika para meneer Belanda digdaya di tanah Hindia Belanda, penduduk Semarang seakan sejajar dengan masyarakat Eropa. Riwayat cerlang itu terhimpun dalam kecanggihan teknologi fotografi.

Saya ingat, meski samar-samar, seseorang pernah bercerita, Chung Hwa Photo Supply adalah toko fotografi kondang, sekaligus importir besar, di zamannya. Kisahnya dimulai dari ayahanda Lukito. Dan Lukito ialah fotografer tua yang, kata sebagian kenalan saya, tergolong kampiun. Saya tak ingat nama lengkap Lukito. Barangkali Lukito Tansil atawa Lukito Joedaatmadja. Entahlah.

Lukito salah satu tokoh Semarang Photo Club (SPC)—suatu klub foto amatir yang masyhur di sekitar 1970 sampai 1980-an akhir. Masyarakat fotografi Semarang paham, tahun-tahun belakangan SPC tidak berdaya lagi. Kisahnya meredup bersama uzurnya umur para anggotanya. Saya tak tahu, siapa saja anggotanya yang tertua. Tapi jelas mereka seumur Tan Thiam Kie kiranya, di sekitar 65-an tahun atau lebih. Sosok Thiam Kie tentu banyak yang kenal. Ia salah satu fotografer amatir Semarang yang paling sering didaulat menjadi juri, di berbagai lomba foto, di ranah lokal sampai internasional.

Robohnya gedung Chung Hwa niscaya merontokkan sebagian tubuh historis SPC. Tentu sebagian jejak klub itu tertinggal di sana. Padahal orang mengenang SPC identik dengan fotografi Semarang—tentu di masa keemasannya. Alhasil, sepenggal sejarah kota ini raib pula. Apa boleh buat.

Dan sore tadi, di saat matahari belum condong benar, beberapa pekerja terus menggempur  tembok bangunan itu—di perempatan jalan Ki Mangunsarkoro—Karang Saru, Semarang. Tadi seorang pekerja bangunan bilang, Lukito telah mangkat, belum lama benar. Barangkali memang begitu, sebab seseorang kawan pernah berkata, dia lama gering oleh sesuatu penyakit. Saya pernah bertandang ke rumahnya, bercengkerama dengan dia di suatu petang, dan itu telah berbilang tahun lamanya.