Sabtu, 02 Juni 2012

ADIDAS, PAYUDARA, INJIL YUNANI DAN LAIN-LAIN



Judul
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia
Kumpulan Catatan Perjalanan, Jilid 3
Penulis:
Sigit Susanto
Penyunting:
Puthut EA
Penerbit:
Insist Press, Yogyakarta
Cetakan:
Pertama, April 2012
Tebal:
xxiv + 307 halaman

Sigit Susanto pelancong yang tekun. Tak cuma berpesiar, ia sekaligus mencatat dan menuliskan pelesirannya. Terbilang 36 negara telah dikunjunginya. Penulis kelahiran Boja, Kendal, Jawa Tengah, itu memulai tiap pelancongannya dari negeri Swiss. Ia menetap di negeri orang sejak April 1996.

Pada tiap pelesirannya Sigit selalu ditemani oleh istrinya, Claudia Beck, warga negara Swiss. Jangan bayangkan mereka berdua pengembara romantik yang berkelana sepanjang tahun. Sigit dan istrinya berumah dan bekerja di Swiss. Hanya saja, tiap tahun, mereka gemar berpesiar. Bepergian di luar Eropa pun mereka menggunakan biro jasa wisata dan pemandu (guide).

Menariknya, di tengah sempitnya tempo pesiar, antara satu—dua minggu, Sigit teliti merekam detail peristiwa atau lokasi yang didatanginya. Kesan-kesannya pun diungkapkan secara menarik. Catatannya rinci, penuh warna lokal, dan berciri etnografis. Dengan membaca esainya, pembaca membayangkan dirinya di ruang-waktu yang sama bersama Sigit. Padahal, catatan perjalanan tersebut ditulis belakangan, bahkan terkadang setelah tiga tahun usai pelesirannya.

Minatnya pada kesusastraan, sosial-politik, sejarah atau kebudayaan umumnya kian memberi bobot pada tiap catatan perjalanannya. Dalam ranah sastra, alumnus Akaba 17, Semarang, ini mengidolakan sastrawan Franz Kafka dan James Joyce.

Buku catatan perjalanannya yang ketiga tersebut manampung kisah-kisahnya ke negara-negara Kenya, India, Turki, Yordania, Skandinavia (Denmark, Finlandia, Swedia dan Norwegia), Polandia, Mesir, Sicilia, Hongkong, Kamboja, dan Yunani. Total ada 13 esai di buku ini.

Melongok ke Dalam
Seperti galibnya turis, Sigit pun menyinggahi berbagai objek wisata kondang. Museum atau bangunan bersejarah, seperti (bekas) istana, agaknya adalah destinasi utama. Contohnya, ia kunjungi arena pacuan kuda, reruntuhan kerajaan Romawi, di Yordania. Disambangi pula masjid Hagia Sophia, Istanbul, Turki. Awalnya masjid itu adalah bangunan gereja di zaman Byzantium. Pada masa kerajaan Usmaniyah, di tarikh 1453, atas titah sultan Mehmed II gereja itu dijadikan masjid. Hagia Sophia bertahan sebagai masjid hingga 1931. Pada 1935 pemerintah Turki mengubahnya menjadi museum.

Di India, kunjungan wajib tentu ke Taj Mahal. Namun kenangan terdalam barangkali terpatri di Kota Biru, julukan bagi Jodhpur. Claudia dan Sigit melenggang di pasar. Mereka dikuntit anak-anak jalanan dekil, berpakaian kotor dan robek-robek. Claudia iba melihat kondisi mereka. Dicarinya penjual baju bekas. Lantas delapan anak dibiarkan memilih baju-celana kesukaannya, gratis. Tak ayal, di sepanjang jalan, tangan Claudia dan Sigit digandeng bocah-bocah fakir itu. Genggaman jari-jemari kurus itu lekat-kuat sampai akhirnya sang pelancong murah hati melesat pulang dengan bajaj.

Kisah simpatik di Jodhpur mewarnai buku ini bersama cerita sastra dan nukilan-nukilannya di sekujur risalah. Pembaca bakal silap bila ingin mencari informasi standar buku petunjuk wisata. Tak ada keterangan how to get there, how to eat, atau how to stay. Isi buku lebih pada tuturan kesan dan, di sana-sini, kontemplasi penulis. Dengan cara itu seolah pembaca diajak melongok lebih dalam, tentang the other side, ke pelosok tempat yang dikunjunginya.

Buku ini layak pula dianggap sebagai reportase jurnalistik. Seperti terhadap jurnalis, yang kita beri mandat sebagai penyambung mata-telinga kita, Sigit pun bisa kita percayai atas reputasinya sebagai pelancong tangguh. Esai-esai dalam buku ini absah. Menyimaknya, pemahaman pembaca tentang sosiokultural suatu negara bakal lebih mendalam.

Karangan Sigit enak dibaca. Barangkali latarnya sebagai pemandu wisata di Bali, belasan tahun silam, turut membantu. Tak jarang kalimatnya memikat, contohnya: Binatang liar berkecambah dan dipagar gunung Kilimanjaro di kejauhan (halaman 12). Sebaliknya, di pagina yang sama, tersua kalimat tak logis, seperti: Yang menakutkan jika mobil tak bisa keluar, kami harus bermalam di dalam mobil yang banyak binatang buas.

Bila gramatika dibenahi dan struktur kisahan tidak linear-monoton, niscaya, narasinya bakal kian menawan. Meski begitu, di sana-sini, pembaca bisa menemukan kejutan-kejutan menarik tentang, misalnya, gajah warna merah, Adidas, payudara, atau Injil Yunani. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Timbangan buku dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis: 10/05/2012.]

2 komentar:

  1. Thanks you, Yap. Ulasan yang memetik pernik pinggiran: adidas, payudara dan anjil yunani. That is fact. Kamsia hadirmu di Unika, semacam reuni bertemu mbakyu Sri Milangsih juga. (Sigit Susanto)

    BalasHapus
  2. Tentu senang bisa ketemu Sri Mulangsih setelah sekian lama, tiga puluhan tahun, setelah kulit kita kian mengerut.

    BalasHapus