Kamis, 12 Januari 2012

MENUNGGU PECINAN SEMARANG TERBAKAR


[Sumber foto: httpkfk.kompas.comkfkview51773]

PECINAN Semarang bisa terbakar ludas. Jika api berkobar, hampir dipastikan, bersumber dari trafo PLN celaka itu. Trafo itu bertengger angkuh di satu tiang, di ujung jalan Gang Cilik-Gang Pinggir.

Jumat (6/1) sore trafo itu kembali menggelegar. Sontak beberapa kabel menggantung kewer-kewer. Malamnya Pecinan gulita. Sebelumnya, pada Selasa (13/9/2011), trafo yang sama meledak dan terbakar sampai dua kali, sekitar jam 11:00 dan 22:00 WIB.

Pada kegaduhan tahun lalu, yang tanggal 13 September 2011 itu, trafo tadi tak kuat menahan beban berlebih. Pasalnya, sejumlah kelenteng mengadakan perayaan berbareng dan, tentu, memakai listrik berlebih.

Dalam catatan saya, trafo tersebut telah meledak atau terbakar sampai 7 kali dalam 2 tahun terakhir. Satu kali kebakaran cukup besar dan menakutkan: Ada lelehan minyak dan kabel yang membara apinya. Untung ada seorang penduduk yang sempat menyemprotkan busa pemadam kebakaran. Petugas PLN perlu waktu seharian memperbaiki trafo tersebut.

Kejadian itu, secara langsung, sangat merugikan kami. Seisi rumah ibu kami, yang berdekatan dengan trafo itu (hanya berjarak 1,5 meter), menjadi kotor dan sebagian peranti rumah tangga rusak. Belum lagi soal kerugian finansial yang ditanggung oleh para penghuni dan unit usaha sekitar.

Informasi dari petugas PLN menyebutkan: Trafo sumber petaka itu menanggung beban yang berlebihan. Sumber listrik terbanyak digunakan oleh unit-unit usaha besar di Pecinan, terutama perkantoran/perbankan.

Trafo yang terbakar atau memercikkan bunga api adalah kejadian yang menakutkan. Bukan tak mungkin kejadian itu akan berujung begini: Pecinan terbakar ludas.

Risau oleh akibatnya, bila Pecinan terbakar, saya berkirim surat pembaca ke koran Suara Merdeka. Dua kali surat saya tidak dimuat. Entah mengapa.

Saya pun berkirim berita kepada Harjanto Halim, ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis). Juga kepada beberapa orang kenalan yang, menurut hemat saya, adalah para intelektual yang barangkali peduli pada situs kota kuno Semarang itu.

Harjanto Halim dengan Kopi Semawisnya perlu saya ulik. Alasannya, lembaga itu mendaku, secara sepihak, sebagai representasi politik identitas dan habitus Pecinan. Juga, Kopi Semawis selalu menggemakan gagasan ”revitalisasi Pecinan”. Saya ingin tahu apa tindakah solutif mereka.

Sampai hari ini, setelah sejumlah komentar basa-basi terlontar, tak ada jalan keluar untuk masalah trafo yang kelebihan beban tersebut. Salah satu bekas pengurus RT di Pecinan, Heru Fenas, juga berjanji mengusahakan trafo itu bisa dipindah. Di depan saya ia menelepon pejabat PLN. Cuma begitu. Heru Fenas, seperti diakuinya, adalah salah satu konseptor awal Kopi Semawis.

Akan halnya lingkungan Pecinan adalah kawasan yang menyimpan paradoks dan ironi. Meski begitu, secara visual, lorong-lorong Pecinan, dengan sengkarut untaian kabel listrik-telepon di udaranya, amat menarik. Lingkungan ini santir kawasan ”baheula” di zaman posmo. Di balik itu, yang mencemaskan saya, Pecinan menyimpan bara yang sewaktu-waktu bisa mengabukan dirinya sendiri.

Selamat datang di Pecinan Semarang. Nikmati suasananya sebelum Pecinan punah menjadi abu.

—Tubagus P. Svarajati

2 komentar:

  1. Merinding juga ketika membaca artikel ini, semoga saja pihak berwenang segera memperbaikinya, sehingga keabadian kawasan Pecinan akan tetap lestari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, semoga ke depan akan lebih baik. Terima kasih atensi Anda, Bung Andika Prabowo.

      Hapus