Sabtu, 02 Juni 2012

ADIDAS, PAYUDARA, INJIL YUNANI DAN LAIN-LAIN



Judul
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia
Kumpulan Catatan Perjalanan, Jilid 3
Penulis:
Sigit Susanto
Penyunting:
Puthut EA
Penerbit:
Insist Press, Yogyakarta
Cetakan:
Pertama, April 2012
Tebal:
xxiv + 307 halaman

Sigit Susanto pelancong yang tekun. Tak cuma berpesiar, ia sekaligus mencatat dan menuliskan pelesirannya. Terbilang 36 negara telah dikunjunginya. Penulis kelahiran Boja, Kendal, Jawa Tengah, itu memulai tiap pelancongannya dari negeri Swiss. Ia menetap di negeri orang sejak April 1996.

Pada tiap pelesirannya Sigit selalu ditemani oleh istrinya, Claudia Beck, warga negara Swiss. Jangan bayangkan mereka berdua pengembara romantik yang berkelana sepanjang tahun. Sigit dan istrinya berumah dan bekerja di Swiss. Hanya saja, tiap tahun, mereka gemar berpesiar. Bepergian di luar Eropa pun mereka menggunakan biro jasa wisata dan pemandu (guide).

Menariknya, di tengah sempitnya tempo pesiar, antara satu—dua minggu, Sigit teliti merekam detail peristiwa atau lokasi yang didatanginya. Kesan-kesannya pun diungkapkan secara menarik. Catatannya rinci, penuh warna lokal, dan berciri etnografis. Dengan membaca esainya, pembaca membayangkan dirinya di ruang-waktu yang sama bersama Sigit. Padahal, catatan perjalanan tersebut ditulis belakangan, bahkan terkadang setelah tiga tahun usai pelesirannya.

Minatnya pada kesusastraan, sosial-politik, sejarah atau kebudayaan umumnya kian memberi bobot pada tiap catatan perjalanannya. Dalam ranah sastra, alumnus Akaba 17, Semarang, ini mengidolakan sastrawan Franz Kafka dan James Joyce.

Buku catatan perjalanannya yang ketiga tersebut manampung kisah-kisahnya ke negara-negara Kenya, India, Turki, Yordania, Skandinavia (Denmark, Finlandia, Swedia dan Norwegia), Polandia, Mesir, Sicilia, Hongkong, Kamboja, dan Yunani. Total ada 13 esai di buku ini.

Melongok ke Dalam
Seperti galibnya turis, Sigit pun menyinggahi berbagai objek wisata kondang. Museum atau bangunan bersejarah, seperti (bekas) istana, agaknya adalah destinasi utama. Contohnya, ia kunjungi arena pacuan kuda, reruntuhan kerajaan Romawi, di Yordania. Disambangi pula masjid Hagia Sophia, Istanbul, Turki. Awalnya masjid itu adalah bangunan gereja di zaman Byzantium. Pada masa kerajaan Usmaniyah, di tarikh 1453, atas titah sultan Mehmed II gereja itu dijadikan masjid. Hagia Sophia bertahan sebagai masjid hingga 1931. Pada 1935 pemerintah Turki mengubahnya menjadi museum.

Di India, kunjungan wajib tentu ke Taj Mahal. Namun kenangan terdalam barangkali terpatri di Kota Biru, julukan bagi Jodhpur. Claudia dan Sigit melenggang di pasar. Mereka dikuntit anak-anak jalanan dekil, berpakaian kotor dan robek-robek. Claudia iba melihat kondisi mereka. Dicarinya penjual baju bekas. Lantas delapan anak dibiarkan memilih baju-celana kesukaannya, gratis. Tak ayal, di sepanjang jalan, tangan Claudia dan Sigit digandeng bocah-bocah fakir itu. Genggaman jari-jemari kurus itu lekat-kuat sampai akhirnya sang pelancong murah hati melesat pulang dengan bajaj.

Kisah simpatik di Jodhpur mewarnai buku ini bersama cerita sastra dan nukilan-nukilannya di sekujur risalah. Pembaca bakal silap bila ingin mencari informasi standar buku petunjuk wisata. Tak ada keterangan how to get there, how to eat, atau how to stay. Isi buku lebih pada tuturan kesan dan, di sana-sini, kontemplasi penulis. Dengan cara itu seolah pembaca diajak melongok lebih dalam, tentang the other side, ke pelosok tempat yang dikunjunginya.

Buku ini layak pula dianggap sebagai reportase jurnalistik. Seperti terhadap jurnalis, yang kita beri mandat sebagai penyambung mata-telinga kita, Sigit pun bisa kita percayai atas reputasinya sebagai pelancong tangguh. Esai-esai dalam buku ini absah. Menyimaknya, pemahaman pembaca tentang sosiokultural suatu negara bakal lebih mendalam.

Karangan Sigit enak dibaca. Barangkali latarnya sebagai pemandu wisata di Bali, belasan tahun silam, turut membantu. Tak jarang kalimatnya memikat, contohnya: Binatang liar berkecambah dan dipagar gunung Kilimanjaro di kejauhan (halaman 12). Sebaliknya, di pagina yang sama, tersua kalimat tak logis, seperti: Yang menakutkan jika mobil tak bisa keluar, kami harus bermalam di dalam mobil yang banyak binatang buas.

Bila gramatika dibenahi dan struktur kisahan tidak linear-monoton, niscaya, narasinya bakal kian menawan. Meski begitu, di sana-sini, pembaca bisa menemukan kejutan-kejutan menarik tentang, misalnya, gajah warna merah, Adidas, payudara, atau Injil Yunani. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Timbangan buku dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis: 10/05/2012.]

Kamis, 09 Februari 2012

PECINAN LUPA SEJARAH

[Sumber foto: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?s=914e38a0c2444eb21b7f26cf51092ecf&p=25389736#post25389736]

PENDUDUK Pecinan Semarang, jika saya boleh berprasangka, seperti lupa pada riwayat permukimannya. Lazimnya pelupa, orang berpikir serampangan dan bertindak gampangan. Maka, wilayah Pecinan terkini, ibaratnya, adalah raut komunitas pelupa.

Di zaman kolonial—pada tarikh 1741—orang-orang Tionghoa Semarang direlokasi di suatu tanah kosong, di tepi barat sungai. Hunian ini tak jauh dari benteng Belanda (sekarang Kota Lama) sehingga mereka masih mudah diawasi. Tindakan itu diambil karena pemerintah Hindia Belanda takut terulangnya pemberontakan orang Tionghoa (di Batavia, 1740). Tercatat ribuan orang Tionghoa terbantai saat itu.

Seiring beringsutnya waktu, orang Tionghoa beranak-pinak dan permukimannya berkembang pesat. Mengutip penelitian HF Tillema, Pratiwo (2005) menyebutkan, pada 1911 populasi di Pecinan mencapai 1000 orang/ha dan mortalitasnya 64,3/1000 orang. Ketika itu Pecinan adalah wilayah kumuh, gersang, dan tidak sehat.

Melihat buruknya lingkungan, kotapraja mengizinkan orang Tionghoa tinggal di luar Pecinan. Pratiwo (2010) mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda menghapuskan Wijkenstelsel pada 1915, orang Tionghoa banyak mendirikan rumah-toko (ruko), antara lain, di jalan Ambengan (MT Haryono), Bojongsche weg (Pemuda), jalan Karangturi (Dr Cipto) sampai Peterongan. Data-data tersebut berasal dari Liem Thiam Joe (1937).

Tersebarnya permukiman orang Tionghoa di seantero kota, dalam konteks sosiologis, membuktikan satu hal: Tionghoa Semarang mampu beradaptasi dan membaur dengan masyarakat dan lingkungan lebih luas.

Akan halnya Pecinan tumbuh sebagai salah satu pusat perdagangan utama di Semarang. Berdasarkan amatan terkini, di Pecinan sekarang ada pusat perdagangan kain (Gang Warung), pertokoan emas (Gang Pinggir), dan pasar tradisional kelas wahid (Gang Baru). Rumah makan, bank, hotel, toko alat tulis, salon, optik, apotek, money changer, praktik dokter dan sebagainya tersebar di Gg Pinggir, Gg Warung, Gg Besen, Gg Tengah, Gg Gambiran atau nyaris di setiap jalan di Pecinan.

Logis, sebagai pusat perdagangan Pecinan membutuhkan tempat usaha lebih luas. Hal ini disiasati dengan diubahnya rumah-rumah hunian sebagai unit usaha. Segera rumah-rumah tradisional kecinaan dirobohkan dan dibangunlah yang baru (rata-rata berlantai tiga). Nyaris pertambahan “rumah baru” tak terkontrol.

Agaknya penduduk Pecinan lupa pada diskriminasi yang menimpa mereka. Pada 1970-an rezim Orde Baru—c.q. pemerintah kota Semarang—memangkas habis fasad arsitektural kecinaan rumah-rumah, utamanya, di jalanan protokol Gg Pinggir-Gg Warung. Dalihnya, demi pelebaran jalan dan keindahan wilayah. Alhasil, seluruh raut bangunan di Pecinan berubah: serupa kerangkeng dengan lajur tembok lurus di lantai duanya.

Di masa represif itu, di tahun-tahun tatkala komunisme-fobia merebak dan kebudayaan Tionghoa dalam semua ekspresinya diberangus, penduduk Pecinan was-was bila menolak mengubah rumah mereka. Muncul isu, mereka bakal dipenjara bila tidak menuruti kehendak penguasa.

Lantas, dengan alasan menanggulangi banjir, pemerintah memaksakan Normalisasi Kali Semarang (NKS), pada akhir 1980-an. Puluhan bangunan kuno dibongkar atau dikepras. Di jalan Petudungan 22 ruko dihancurkan, 3 di antaranya hanya tersisa 3-4 meter. Di Gg Warung 24 ruko bagian belakangnya dipotong. Proyek NKS ini, tentu saja, ditentang keras oleh terutama pemilik bangunan yang rumahnya terdampak. Tapi, akhirnya mereka kalah juga.

Setelah NKS selesai kali Semarang tidak menjadi lebih baik. Airnya pun tidak mengalir lancar. Jalan inspeksi di kedua sisinya malah kumuh dan banjir di seantero kota tetap tak teratasi. Menurut Pratiwo (ibid), yang melakukan penelitian doktoralnya di Pecinan Semarang pada 1986-1987, NKS itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Parahnya, proyek itu telah menghancurkan banyak bangunan kuno sebagai warisan budaya yang mestinya dikonservasi.

Berkaca pada fakta-fakta di atas, tidakkah penduduk Pecinan tergugah menjaga identitas lingkungannya demi pewarisan budaya kepada generasi berikutnya? Faktanya, mereka seperti berlomba melumat jatidirinya sendiri. Satu demi satu gedung kuno dihancurkan, diganti dengan bangunan baru yang, celakanya, tidak lebih indah dari yang lama.

Hari-hari ini di Gg Tengah empat bangunan dirobohkan—tanahnya dibiarkan mangkrak—dan tiga rumah sedang didirikan. Di Gg Gambiran dan Gg Pinggir masing-masing ada pembangunan satu gedung baru. Dua gedung pun sedang didirikan di Kalikoping.

Jika dibiarkan semena-mena, tanpa penataan serius, Pecinan akan menjadi kawasan tanpa identitas. Juga, akibat daya dukung lingkungan terbatas dan infrastruktur yang sarat beban, di Pecinan suatu saat bakal timbul permasalahan genting dengan biaya sosial-ekonomi yang besar.

Sebagai pengingat, masyarakat pelupa niscaya sedang menggali kuburnya sendiri lebih lekas. Sangat bijak jika pinisepuh Pecinan bertindak sebelum nasi menjadi bubur.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Esais, lahir dan besar di Pecinan Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Minggu: 31/10/2010; tidak terbit. Diunggah ke Facebook https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150162664029181, Sabtu: 09/04/2011.]

Rabu, 01 Februari 2012

WISATA PECINAN SEMARANG

[Sumber foto: http://regional.kompas.com/read/2012/01/25/10251215/Dilestarikan.Kawasan.Pecinan.Semarang]

Semakin jelas Pecinan Semarang adalah salah satu magnet wisata kota. Barangkali para pelancong tertarik oleh sejarah, denyut nadi keseharian, atau tata lingkungannya. Pasar kuliner Waroeng Semawis, di sepanjang jalan Gang Warung, melengkapi daya tarik kawasan kota tua itu.

Karena itu, mesti dipikirkan bagaimana merancang kawasan itu sebagai destinasi wisata terpadu agar terhindar dari ekses-ekses yang merugikan. Selama ini upaya ke arah sana belum terorganisasi baik. Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), yang sepihak mendaku sebagai representasi warga Pecinan Semarang, hanya berfokus pada sisi komersialnya. Lembaga tersebut cuma mengelola Waroeng Semawis, tiap pekan, dan Pasar Imlek Semawis, setahun sekali.

Peran pemerintah? Nihil. Warga Pecinan Semarang tak tahu, seperti apakah cetak biru kawasan domisilinya sebagai destinasi wisata kota. Tak pernah sekalipun ada sosialisasi oleh pemerintah, tak juga oleh pengurus Kopi Semawis, tentang arah atau bentuk turisme di sana. Padahal, pada hemat saya, tak sulit merancang wilayah itu sebagai destinasi wisata kota. Faktanya, Pecinan Semarang bukan wilayah tak bertuan atau senyap, tapi dinamis secara ekonomis dan kultural.

Pecinan Semarang dan sekitarnya—Beteng, Kranggan, Johar, Kauman, Jurnatan, Pekojan dan MT Haryono—adalah sentra perdagangan utama di Semarang. Kenyataan ini membuat wilayah tersebut punya daya tarik kuat. Perekonomian—formal maupun informal—tumbuh pesat, secara alamiah. Relasi warga dengan ”orang luar” pun intens sekali. Menurut saya, sifat hakiki perdagangan—egaliter dan transparan—mendasari pergaulan warga di sana selama ini. Alhasil, keliru menganggap Pecinan Semarang sebagai kawasan tertutup atau eksklusif. Itulah keunikan Pecinan Semarang meski pada awalnya adalah suatu enclave yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda.

Sifat terbuka itu juga yang mengundang sejumlah ”tokoh” atau ”lembaga” berdatangan mengail rejeki atau reputasi di Pecinan Semarang. Pada hemat saya, faktor keterbukaan—dalam nada minor cenderung seperti ketakacuhan—warga inilah modal utama menjadikan Pecinan Semarang sebagai destinasi wisata kota. Warga akan mudah diajak bekerja sama asalkan harkatnya dihargai.

Kawasan Turisme Terpadu

Mengamati perkembangan terkini, sudah waktunya dibuat desain kawasan wisata terpadu Pecinan Semarang. Kian banyak pelancong berdatangan di sana, terutama didominasi oleh anak-anak muda. Hal itu mudah dipahami mengingat akhir-akhir ini jumlah pelancong di dalam negeri meningkat seiring dengan tumbuhnya kelas menengah perkotaan. Mobilitas mereka didukung oleh makin mudahnya akses informasi, transportasi dan daya dukung lainnya.

Desain kawasan wisata terpadu mesti mampu memetakan Pecinan Semarang dalam kerangka ekonomi, budaya, dan sosio-politik. Dalam bidang ekonomi, tak terbantahkan, di Pecinan Semarang berputar kapital besar. Banyak kalangan menggantungkan hidupnya di sektor ini. Di ranah budaya, Pecinan Semarang tempat tumbuh-kembangnya kultur peranakan Tionghoa, antara lain, keragaman kuliner dan kesenian etnik. Sedangkan dalam aspek sosio-politiknya tampak jelas betapa harmonisnya pergaulan warga dengan komunitas lain dan lingkungan sekitarnya. Semua itu pantas lebih diberdayakan dan dijadikan model bagi ketahanan bermasyarakat, khususnya di tingkat kota Semarang.

Perlu diingat, wisata Pecinan Semarang tak harus bergantung pada budaya kelenteng, kesenian etnik atau kuliner saja. Seni urban-kontemporer, aspek literer—sastra peranakan, misalnya—atau sejarah lisan pantas diangkat. Claudine Salmon (Sastra Indonesia Awal, Kontribusi Orang Tionghoa, Penerbit KPG, 2010) menyebutkan dengan jelas jejak-jejak “pendahulu kesusastraan Indonesia modern” dimulai di Semarang. Dengan memediasi seni urban-kontemporer dan menerbitkan karya sastra atau folklor Pecinan Semarang, pada hemat saya, bakal turut memperkaya nuansa wisata di sana.

Kini tergantung pada keseriusan pemerintah menangani wisata Pecinan Semarang lebih lanjut. Pemerintah mesti merancang kawasan itu menjadi destinasi pelancongan yang nyaman dan menarik serta menyejahterakan warga dan semua pemangku kepentingan. Lingkungan dan infrastruktur pendukungnya perlu segera dibenahi. Sejauh ini capaian Kopi Semawis patut dihargai meski warga tetap menagih janji wujud ”revitalisasi” Pecinan Semarang yang selalu diuar-uarkan itu.

Tentang kesigapan warga, dalam ranah ekonomi turisme, tak perlu diragukan. Sekarang ada home stay atau penginapan baru di Pecinan Semarang. Usaha lain—semisal rumah makan—sudah lancar sebelumnya. Yang belum tergarap, antara lain, event atau tontonan kesenian reguler.

Jika turisme Pecinan Semarang tertata baik, di samping jelas kontribusi devisanya, juga tereliminasi ekses sampingannya. Warga senang dan pemerintah tercitrakan positif pula.

TUBAGUS P SVARAJATI

Warga kota Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Wacana Lokal—Suara Merdeka, Rabu: 25 Januari 2012.]

Sabtu, 14 Januari 2012

ESAI TANPA EPITAF

[Sumber foto: http://www.rootsweb.ancestry.com/~inhendr2/Epitaphs.html]

”Hidup yang dihabiskan buat menulis telah mengajari saya
agar berhati-hati pada kata-kata.”
—Amin Maalouf
*)

*)In the Name of Identity, terjemahan oleh Ronny Agustinus,
Penerbit Resist Book, Cetakan I: November 2004.

Seperti kelimun pengungsi yang telantar, seperti itu juga nasib manusia: penuh kegamangan. Esai, tak kurang-kurangnya, menapaki jalan bercabang-berliku dan kerap terlunta-lunta pula.

Jalan esai lempang-lapang bila bernasib baik. Ia segera diterbitkan di koran, majalah atau jurnal. Selaik nasib, jangan harap ada rasionalisasi atas esai yang mulus itu. Penjaga media enggan bertepuk tangan, apalagi menebar pujian. Tak ada sinyal sedikit pun kapan esai diterbitkan. Tiba-tiba saja ia muncul. Tak butuh lama-lama honor menyelinap di rekening tabungan. Begitu lazimnya.

Tentang esai-esai yang malang, yang tak sempat menghirup oksigen media, nasibnya sering amat buruk: terkubur entah di mana, tanpa nisan pula. Sang penulis, tentu, tak bisa menziarahi kuburnya. Celaka pula, penjaga media biasanya lalai, atau abai, mengabarkan kematian-kematian esai itu.

Bagaimana matinya esai-esai naas itu? Barangkali ada tangan-tangan kekar-perkasa yang melumatnya, sekali remas, setelah sekilas dilirik.

Mengapa esai dimatikan samar-samar saja penjelasannya. Beberapa tahun silam redaktur Kompas, Tonny D Widiastono, kurang-lebihnya berucap: Tiap hari Kompas menerima sekitar 80-an esai opini. Lima redaktur yang bertugas membaca kerap kewalahan. Alhasil, bila ide tulisan tak menarik, gramatikanya sembrono, atau kepanjangan, tak ayal esai itu disingkirkan. Ada juga hal yang membikin redaktur gemas. Bayangkan, ”setingkat profesor doktor” mengirimkan tulisan berupa dokumen Power Point.

Apakah berbekal ide menarik dan enak dibaca sebuah esai dipastikan terbit? Tak segampang itu. Redaktur pilih-pilih. Satu esai bisa saja ditolak di koran yang satu, namun lolos di koran lain. Padahal koran yang memuat, dalam anggapan umum, ”derajat”nya lebih tinggi ketimbang yang menolak. Saya punya pengalaman seperti itu. Koran mana saja, tak perlu disebutkan. Bikin repot aja kelak.

Untunglah jika esai yang dimuat utuh sempurna. Banyak kejadian malah begini: Esai mampir dulu di ruang otopsi. Tubuhnya digurat, disayat. Tulangnya ditekuk. Ototnya diikat. Darahnya disedot. Jantungnya dibelah dua. Parasnya dipermak. Setelah kegaduhan itu usai, esai baru diterbitkan. ”Aaaargh...!” sontak esai kaget melihat sosoknya sendiri. Sang penulis gemetar: ”Zombie!”

Apa yang bisa dilakukan, sebagai pembelaan, oleh seseorang penulis yang ”dibegitukan”? Tak ada. Ia menyerah.

TR, sebut saja begitu, bisa sebagai contoh. Ia pengajar di suatu perguruan tinggi swasta di Semarang. Suatu kali esainya terbit di Kompas edisi Jawa Tengah, namun sudah dipermak dan tinggal separo. Ia risau. Bagi dia, gagasan esai jadi buntung. Ia stop menulis, mutung. Sejak itu tulisannya raib dari media. Bak solider, sejurus kemudian Kompas edisi Jawa Tengah pun menghilang.

Permak-memermak esai memang kontroversial. Tindakan permak, dalam kaidah penyuntingan bahasa, legawa dipahami. Bagaimana jika satu esai dipenggal dan disisakan cuma separo. Etiskah?

”Esai lahir karena keinginan berkata-kata, semacam obrolan dalam bentuk tulisan,” tulis Ignas Kleden, ”Kalau obrolan adalah bentuk penuturan lisan, maka esai adalah perwujudannya dalam bentuk tulisan.” Masih menurut dia: Sebuah esai, karena itu, menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, tatkala daya tarik itu muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana.

Jadi, etiskah bila obrolan kita, prosa kita itu, dimutilasi dan sisanya saja yang dipublikasikan ke khalayak. Barangkali sangkaan itu patut didiskusikan. Selain itu, kita paham, industri media terikat aturan bisnis. Halaman koran terbatas dan mahal nilai jualnya. Esai yang tak memikat atau mencekam perhatian, tentu, tergusur.

Sebaliknya, sebagai ”ruang publik”—istilah ambivalen—koran mesti membuka diri bagi perjumpaan gagasan dialektis. Gagasan esai tak mesti ilmiah-obyektif. Esai tak harus ditulis oleh, pinjam istilah pemusik John Mayall, high powers and big names. Orang kebanyakan pun patut diberi kesempatan. Celakanya media suka bersekutu dengan mereka yang disebut ”pakar dengan rentetan gelar akademis” itu. Apakah tulisan-tulisan mereka simetri merefleksikan gelar-kepakarannya? Belum tentu.

Dalam konteks ”ruang publik” dan perjumpaan gagasan dialektis itu saya menulis risalah Mengawal Mural untuk kapling Wacana Lokal Suara Merdeka. Di situ saya tanggapi artikel Karya Seni Kota Semarang tulisan Prof Eko Budihardjo (Suara Merdeka, Sabtu, 31/12/2011). Sampai hari ini (Minggu, 15/1), tulisan saya tadi telah berumur dua belas hari. Bisa diduga, esai itu tak diterbitkan. Mungkin para penjaga kapling Wacana Lokal menganggap esai saya tidak cukup bermutu.

Demi kepatutan, para penjaga media mesti segera mengabarkan jika ada esai-esai yang ditolak terbit. Bila mungkin, lengkap dengan keterangan ”bagaimana” atau ”mengapa”-nya. Kami—para esais—toh mengirimkan risalah kami dengan surat pengantar, tidak diam-diam. Idealnya berlaku resiprokalitas tata krama dan etika redaksional. Jangan bungkam seribu bahasa. Industri media harus membangun tradisi etik suprema, agar beradab.

Kepada Anda sekalian, juga para penjaga media, saya ingin berbagi informasi. Saya dengan antusias membaca risalah Esai Godaan Subyektivitas yang termuat di buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, karangan Ignas Kleden (Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2004). Kleden dengan jenial menunjukkan raut semestinya tulisan bernama esai. Barangkali risalah tersebut bisa menyegarkan ingatan Anda.

Saya akhiri esai ini dengan mendaras asa sederhana: Jika esai-esai kami ditakdirkan mati prematur, mestilah mereka dibuatkan pusara selayaknya; agar para peziarah atau musafir mengenalinya.

—Tubagus P. Svarajati

Kamis, 12 Januari 2012

MENUNGGU PECINAN SEMARANG TERBAKAR


[Sumber foto: httpkfk.kompas.comkfkview51773]

PECINAN Semarang bisa terbakar ludas. Jika api berkobar, hampir dipastikan, bersumber dari trafo PLN celaka itu. Trafo itu bertengger angkuh di satu tiang, di ujung jalan Gang Cilik-Gang Pinggir.

Jumat (6/1) sore trafo itu kembali menggelegar. Sontak beberapa kabel menggantung kewer-kewer. Malamnya Pecinan gulita. Sebelumnya, pada Selasa (13/9/2011), trafo yang sama meledak dan terbakar sampai dua kali, sekitar jam 11:00 dan 22:00 WIB.

Pada kegaduhan tahun lalu, yang tanggal 13 September 2011 itu, trafo tadi tak kuat menahan beban berlebih. Pasalnya, sejumlah kelenteng mengadakan perayaan berbareng dan, tentu, memakai listrik berlebih.

Dalam catatan saya, trafo tersebut telah meledak atau terbakar sampai 7 kali dalam 2 tahun terakhir. Satu kali kebakaran cukup besar dan menakutkan: Ada lelehan minyak dan kabel yang membara apinya. Untung ada seorang penduduk yang sempat menyemprotkan busa pemadam kebakaran. Petugas PLN perlu waktu seharian memperbaiki trafo tersebut.

Kejadian itu, secara langsung, sangat merugikan kami. Seisi rumah ibu kami, yang berdekatan dengan trafo itu (hanya berjarak 1,5 meter), menjadi kotor dan sebagian peranti rumah tangga rusak. Belum lagi soal kerugian finansial yang ditanggung oleh para penghuni dan unit usaha sekitar.

Informasi dari petugas PLN menyebutkan: Trafo sumber petaka itu menanggung beban yang berlebihan. Sumber listrik terbanyak digunakan oleh unit-unit usaha besar di Pecinan, terutama perkantoran/perbankan.

Trafo yang terbakar atau memercikkan bunga api adalah kejadian yang menakutkan. Bukan tak mungkin kejadian itu akan berujung begini: Pecinan terbakar ludas.

Risau oleh akibatnya, bila Pecinan terbakar, saya berkirim surat pembaca ke koran Suara Merdeka. Dua kali surat saya tidak dimuat. Entah mengapa.

Saya pun berkirim berita kepada Harjanto Halim, ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis). Juga kepada beberapa orang kenalan yang, menurut hemat saya, adalah para intelektual yang barangkali peduli pada situs kota kuno Semarang itu.

Harjanto Halim dengan Kopi Semawisnya perlu saya ulik. Alasannya, lembaga itu mendaku, secara sepihak, sebagai representasi politik identitas dan habitus Pecinan. Juga, Kopi Semawis selalu menggemakan gagasan ”revitalisasi Pecinan”. Saya ingin tahu apa tindakah solutif mereka.

Sampai hari ini, setelah sejumlah komentar basa-basi terlontar, tak ada jalan keluar untuk masalah trafo yang kelebihan beban tersebut. Salah satu bekas pengurus RT di Pecinan, Heru Fenas, juga berjanji mengusahakan trafo itu bisa dipindah. Di depan saya ia menelepon pejabat PLN. Cuma begitu. Heru Fenas, seperti diakuinya, adalah salah satu konseptor awal Kopi Semawis.

Akan halnya lingkungan Pecinan adalah kawasan yang menyimpan paradoks dan ironi. Meski begitu, secara visual, lorong-lorong Pecinan, dengan sengkarut untaian kabel listrik-telepon di udaranya, amat menarik. Lingkungan ini santir kawasan ”baheula” di zaman posmo. Di balik itu, yang mencemaskan saya, Pecinan menyimpan bara yang sewaktu-waktu bisa mengabukan dirinya sendiri.

Selamat datang di Pecinan Semarang. Nikmati suasananya sebelum Pecinan punah menjadi abu.

—Tubagus P. Svarajati

Minggu, 08 Januari 2012

PEREMPUAN: YANG PUBLIK DAN YANG PRIVAT


Judul:
Kisah di Balik Pintu
Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat
Penulis:
Soe Tjen Marching
Penerbit:
Penerbit Ombak
Cetakan:
I, 2011
Tebal:
xxi + 256 halaman

Apa bedanya identitas yang ditampilkan seorang perempuan di mata publik dan dalam ranah privat? Soe Tjin Marching menjawabnya dengan menelisik 8 otobiografi (terpublikasi) dan 9 diari (tidak terpublikasi)—semuanya milik perempuan Indonesia.

Melalui penelitian itu Soe meraih PhD dari Universitas Monash, Australia. Disertasinya dibukukan bertajuk The Discrepancy between the Public and the Private of Indonesian Women (The Edwin Mellen Press, 2007). Kisah di Balik Pintu Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat adalah alih bahasa buku tadi ke bahasa Indonesia yang, menurut penulisnya, dibuat lebih populer.

Ass. Prof. Susan Blackburn, pengajar di School of Political and Social Inquiry, Universitas Monash, berkomentar, buku Soe “amat orisinal dan menggebrak”. Menurut dia, belum pernah ada analisa otobiografi perempuan Indonesia—utamanya tentang gender dan isu perempuan—seperti yang dilakukan Soe.

Soe menelaah otobiografi 8 perempuan yang semuanya lahir di Jawa, yakni Sujatin Kartowijono (Mencari Makna Hidupku, 1983), Rachmawati Sukarno (Bapakku Ibuku, 1984), Herlina (Pending Emas [1985] dan Bangkit dari Dunia Sakit [1986]), Inggit Garnasih (Kuantar ke Gerbang, 1988), Ratna Djuami Asmarahadi (Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno, 1992), Sulistina Soetomo (Bung Tomo Suamiku, 1995), dan Lasmidjah Hardi (Perjalanan Tiga Zaman, 1997). Mereka dianggap terlibat dalam perjuangan Kemerdekaan atau anak Proklamator. Sedangkan nama 9 penulis diari yang dikaji, disamarkan sebagai Fay, Lilies, Nani, Mar, Eli, Mina, Ema, Ida, dan Ani. Semuanya lahir setelah 1964 dengan latar sosial-edukasi beragam dan terkategori sebagai orang-orang biasa atau tidak terkenal.

Kita paham, ideologi rezim Orde Baru begitu dominan memengaruhi kehidupan orang Indonesia selama tiga dekade. Sadar atau tidak, ideologi itu—antara lain nilai-nilai kejawaan dan patriarkisme—merasuki pikiran hingga muncul dalam ekspresi keseharian orang Indonesia.

Berdasar kajian, ditemukan bahwa identitas perempuan mustahil terlepas dari wacana, persepsi atau ideologi-ideologi di sekitarnya. Perempuan yang menuliskan ”saya” atau ”gua” sekalipun—wujud identitas diri—terkadang merupakan hasil tawar-menawar antara bermacam suara pribadi, sosial dan ideologi. Apa-apa yang dituliskan juga tergantung pada situasi politik saat buku diterbitkan. Contohnya Pending Emas.

Awalnya Pending Emas terbit pada 1965 dengan pengantar Presiden Soekarno. Pada edisi 1985, pengantar Presiden Soekarno raib dan digantikan oleh Letjend Achmad Taher. Di buku edisi kedua itu nama Soeharto ditulis berulang-ulang dan berbunga-bunga. Padahal di buku sebelumnya Herlina tak menggambarkan kekagumannya kepada Panglima Komando Mandala itu. Alih-alih, tak sekali pun nama ”Soeharto” muncul di buku edisi pertama. Kesimpulannya, ekspresi atau identitas seseorang bukan milik diri sendiri, namun juga tergantung pada ”mata” kekuasaan yang mengawasinya. Tatkala Pending Emas edisi kedua terbit kita tahu, rezim Orde Baru sedang di puncak kekuasaannya.

Di dalam diari pengaruh tatapan luar (kuasa atau ideologi dominan) tak berarti nihil. Cara pandang stereotipe dan diskriminasi rezim Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, misalnya, muncul juga dalam diari. Tapi ada juga penulis diari yang tak setuju pada praktik diskriminatif itu.

Sering dianggap diari lebih benar, jujur dan menggambarkan fakta sebenarnya karena ditulis untuk diri sendiri, tak ada orang lain yang mengintip. Namun, Abbot, seperti dikutip Soe (pagina 22), bilang, ”Diari hanya menawarkan ilusi kejujuran.” Ada norma, tabu atau ideologi di luarnya yang tanpa sadar merasuki tiap jengkal penulisan diari. Faktanya, diri sendiri terbilang pembaca atau penatap lain atas diari yang ditulisnya.

Topik seksualitas—dalam otobiografi maupun diari—digambarkan cukup kompleks. Ada tabu dan kekangan dari luar—terutama norma keagamaan dan moralitas masyarakat—yang asimetri dengan gairah seksual para perempuan Indonesia. Semakin gamblang ilustrasi pengalaman seksual itu, semakin keras mereka mengutuki diri sendiri. Alhasil, seksualitas senantiasa berada dalam labirin wacana, bukan terutama masalah biologis semata. Soe (pagina 188) menyimpulkan, ”Seksualitas menjadi hal yang amat rumit. Dalam satu hal, ia dinikmati, dibutuhkan dan dipuja; namun dalam hal lain, ia juga dimaki dan dikutuk.”

Penelitian Soe melengkapi diskursus keperempuanan Indonesia yang sudah ada. Upaya Soe memburu diari-diari para perempuan Indonesia itu menarik disimak. Pada ujungnya terungkap, identitas perempuan Indonesia, dalam ranah publik atau privat, tak serta-merta terbebas dari jerat ideologi atau wacana dominan di sekitarnya. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Timbangan buku ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 8/1/2012.]

Senin, 08 Agustus 2011

SETELAH GAUL, SO WHAT GITU LOH?!

[Photo: http://www.guardian.co.uk/sport/2011/aug/08/oscar-pistorius-south-africa-world-championships]

SETELAH GAUL, SO WHAT GITU LOH?!
—sejauh-jauhnya cinta untuk fiona dan andreas—

Minggu: 7 Agustus 2011. Pada hari ini ada dua hal yang sama berkait dengan gadget: ”Tergiur Beli Ponsel, Remaja di Bawah Umur Jajakan Diri” dan ”Fiona merasa gaul dengan iPod dan BB-nya”.

Fiona bukan Rin, tentu. Rin, menurut berita harian Kompas, adalah remaja di bawah umur yang menjajakan diri itu. Ia baru sepekan melacur dan, sialnya, kena razia, Sabtu (6/8) dini hari. Tiap malam ia mangkal di satu hotel di Jalan Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat. Remaja yang tak lulus SMP itu lantas dibawa ke markas Polres Bogor Kota.

Terungkap, tiap menemani seorang tamu Rin dibayar Rp 200.000, dipotong Rp 30.000 untuk ”mami”. Rencananya uang hasil bekerja itu akan digunakan untuk membeli telepon genggam layar sentuh seharga Rp 1,5—Rp 2 juta.

”Seminggu itu paling saya baru dapat tamu 4-5 orang. Uangnya juga kadang dipinjam ibu buat kebutuhan sehari-hari, jadi belum bisa beli hape (HP),” tutur remaja berambut panjang itu. Rin yang malang.

Fenomena Rin, dari kacamata psikologi sosial, mudah dipahami. Telepon genggam dianggap mewakili citra modernitas. Memilikinya menjadi keharusan. Nilai guna dikalahkan oleh nilai simbolik. Akhirnya telepon genggam jadi fetistik.

Akal sehat—argumentasi telepon genggam adalah alat komunikasi—ditundukkan oleh hasrat konsumer-hedonistik. Bagaimana praktik pemberhalaan itu berlangsung? Iklan punya kontribusi yang signifikan.

Kesadaran palsu dibentuk oleh citra-citra dan lambang iklan. Pesannya lugas: Jika tak memiliki hape terbaru, maka kau tak gaul. Aspek gaul itu, antara lain, makin ditegaskan oleh berbagai jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Setakat ini bahkan remaja seperti Fiona, ambil contoh, menganggap Facebook telah kuno. Ia beralih ke kanal Twitter. Alasannya, lebih gaul dan up to date. Konon informasi lebih cepat di jejaring Twitter.

Sungguh, saya tak paham, bagaimana relasi jargon gaul dan kecepatan informasi tumbuh bareng. Di sisi lain, Fiona nyaris tak pernah, misalnya, mengakses koran elektronik atau situs-situs berita lain. Lantas, informasi semacam apa yang dikonsumsi oleh remaja gaul seperti Fiona itu?

Rony Chandra Kristanto, rohaniwan muda dari GIA Jemaat Pringgading, Semarang, kurang-lebihnya menyatakan: ”Remaja sekarang tak butuh jenis informasi tradisional. Mereka terhubungkan oleh kesenangan spesifik di antara sesamanya.”

Baiklah, untuk sementara argumentasi Rony dimaklumi. Tapi, apa kesenangan spesifik itu punya value? Atau, nilai-nilai apa yang dianut oleh remaja sekarang?

Secara gampang, remaja-remaja gaul itu imun atau resisten terhadap hal-hal di luar atensinya. Mereka nyaman di rumah asuh gadget terbaru nan canggih. Di sisi ini mereka alpa: Memiliki gadget seperti itu berarti membelanjakan uang berlebihan. Bisa jadi besar pasak daripada tiang. Tapi, apa alibi Fiona?

”Aku remaja gemar menabung, maka bisa beli iPod dan BB!” seru Fiona, Minggu (7/8) sore.

Bagiku, kebanggaan Fiona terasa semu. Nilai kebaikan menabung cuma dipertukarkan dengan praktik konsumsi alat-alat produksi pabrikan kapitalistik.

Fiona dan Rin adalah contoh nyata remaja yang dicengkeram oleh, dalam batas-batas tertentu, hasrat konsumtif. Bedanya, Rin berasal dari keluarga miskin, sedangkan keluarga Fiona relatif cukup mampu ekonominya. Cara mereka untuk mendapatkan gadget impiannya berlainan. Fiona menabung uang jajannya untuk dibelikan iPod dan smartphone Blackberry. Sedangkan Rin mesti melacurkan diri agar punya uang untuk membeli hape layar sentuh.

Masalahnya, seberapa penting alat komunikasi itu bagi remaja-remaja itu? Apakah alasan demi mengekspresikan diri, melalui gadget, jadi pembenar absolut? Dari mana mereka mendapatkan uang untuk membiayai gaya hidup itu sedangkan mereka belum bekerja?

Barangkali sudah saatnya para orangtua berpikir kritis: Haruskah anak-anak itu menjadi korban keganasan korporasi kapitalistik yang selalu mengaduk-aduk banalitas hasrat konsumtif manusia (melalui bahasa periklanan). Sementara ada banyak pilihan lainnya, jauh lebih cerdas-bernilai, ketimbang merelakan anak-anak tumbuh dalam asuhan dan sekadar berperilaku konsumtif atas kemajuan teknologi gadget.

Saya ingin titip pesan untuk Andreas: Penting meluaskan wawasan pengetahuan ketimbang piawai dalam games belaka. Adiksi games mengoyak kesehatan psike, sedangkan kecanduan ilmu pengetahuan malah meninggikan nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk Fiona, bukankah gengsi tak diukur dari canggihnya gadget, melainkan seberapa bijak perangkat itu kita manfaatkan. Renungkan: Setelah gaul, so what gitu loh?!

TUBAGUS P. SVARAJATI
—Kampung Jambe: Selasa, 9 Agustus 2011; 08:57

PS:
Fiona dan Andreas, tak jadi soal jika kalian menganggap paman yang satu ini mirip kakek-kakek nyinyir. So what gitu loh?!