Menyusuri Lorong-Lorong Dunia
Sigit Susanto
Puthut EA
Insist Press, Yogyakarta
Pertama, April 2012
xxiv + 307 halaman
[Sumber foto: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?s=914e38a0c2444eb21b7f26cf51092ecf&p=25389736#post25389736]
Semakin jelas Pecinan Semarang adalah salah satu magnet wisata kota. Barangkali para pelancong tertarik oleh sejarah, denyut nadi keseharian, atau tata lingkungannya. Pasar kuliner Waroeng Semawis, di sepanjang jalan Gang Warung, melengkapi daya tarik kawasan kota tua itu.
Karena itu, mesti dipikirkan bagaimana merancang kawasan itu sebagai destinasi wisata terpadu agar terhindar dari ekses-ekses yang merugikan. Selama ini upaya ke arah sana belum terorganisasi baik. Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), yang sepihak mendaku sebagai representasi warga Pecinan Semarang, hanya berfokus pada sisi komersialnya. Lembaga tersebut cuma mengelola Waroeng Semawis, tiap pekan, dan Pasar Imlek Semawis, setahun sekali.
Peran pemerintah? Nihil. Warga Pecinan Semarang tak tahu, seperti apakah cetak biru kawasan domisilinya sebagai destinasi wisata kota. Tak pernah sekalipun ada sosialisasi oleh pemerintah, tak juga oleh pengurus Kopi Semawis, tentang arah atau bentuk turisme di sana. Padahal, pada hemat saya, tak sulit merancang wilayah itu sebagai destinasi wisata kota. Faktanya, Pecinan Semarang bukan wilayah tak bertuan atau senyap, tapi dinamis secara ekonomis dan kultural.
Pecinan Semarang dan sekitarnya—Beteng, Kranggan, Johar, Kauman, Jurnatan, Pekojan dan MT Haryono—adalah sentra perdagangan utama di Semarang. Kenyataan ini membuat wilayah tersebut punya daya tarik kuat. Perekonomian—formal maupun informal—tumbuh pesat, secara alamiah. Relasi warga dengan ”orang luar” pun intens sekali. Menurut saya, sifat hakiki perdagangan—egaliter dan transparan—mendasari pergaulan warga di sana selama ini. Alhasil, keliru menganggap Pecinan Semarang sebagai kawasan tertutup atau eksklusif. Itulah keunikan Pecinan Semarang meski pada awalnya adalah suatu enclave yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sifat terbuka itu juga yang mengundang sejumlah ”tokoh” atau ”lembaga” berdatangan mengail rejeki atau reputasi di Pecinan Semarang. Pada hemat saya, faktor keterbukaan—dalam nada minor cenderung seperti ketakacuhan—warga inilah modal utama menjadikan Pecinan Semarang sebagai destinasi wisata kota. Warga akan mudah diajak bekerja sama asalkan harkatnya dihargai.
Kawasan Turisme Terpadu
Mengamati perkembangan terkini, sudah waktunya dibuat desain kawasan wisata terpadu Pecinan Semarang. Kian banyak pelancong berdatangan di sana, terutama didominasi oleh anak-anak muda. Hal itu mudah dipahami mengingat akhir-akhir ini jumlah pelancong di dalam negeri meningkat seiring dengan tumbuhnya kelas menengah perkotaan. Mobilitas mereka didukung oleh makin mudahnya akses informasi, transportasi dan daya dukung lainnya.
Desain kawasan wisata terpadu mesti mampu memetakan Pecinan Semarang dalam kerangka ekonomi, budaya, dan sosio-politik. Dalam bidang ekonomi, tak terbantahkan, di Pecinan Semarang berputar kapital besar. Banyak kalangan menggantungkan hidupnya di sektor ini. Di ranah budaya, Pecinan Semarang tempat tumbuh-kembangnya kultur peranakan Tionghoa, antara lain, keragaman kuliner dan kesenian etnik. Sedangkan dalam aspek sosio-politiknya tampak jelas betapa harmonisnya pergaulan warga dengan komunitas lain dan lingkungan sekitarnya. Semua itu pantas lebih diberdayakan dan dijadikan model bagi ketahanan bermasyarakat, khususnya di tingkat kota Semarang.
Perlu diingat, wisata Pecinan Semarang tak harus bergantung pada budaya kelenteng, kesenian etnik atau kuliner saja. Seni urban-kontemporer, aspek literer—sastra peranakan, misalnya—atau sejarah lisan pantas diangkat. Claudine Salmon (Sastra Indonesia Awal, Kontribusi Orang Tionghoa, Penerbit KPG, 2010) menyebutkan dengan jelas jejak-jejak “pendahulu kesusastraan Indonesia modern” dimulai di Semarang. Dengan memediasi seni urban-kontemporer dan menerbitkan karya sastra atau folklor Pecinan Semarang, pada hemat saya, bakal turut memperkaya nuansa wisata di sana.
Kini tergantung pada keseriusan pemerintah menangani wisata Pecinan Semarang lebih lanjut. Pemerintah mesti merancang kawasan itu menjadi destinasi pelancongan yang nyaman dan menarik serta menyejahterakan warga dan semua pemangku kepentingan. Lingkungan dan infrastruktur pendukungnya perlu segera dibenahi. Sejauh ini capaian Kopi Semawis patut dihargai meski warga tetap menagih janji wujud ”revitalisasi” Pecinan Semarang yang selalu diuar-uarkan itu.
Tentang kesigapan warga, dalam ranah ekonomi turisme, tak perlu diragukan. Sekarang ada home stay atau penginapan baru di Pecinan Semarang. Usaha lain—semisal rumah makan—sudah lancar sebelumnya. Yang belum tergarap, antara lain, event atau tontonan kesenian reguler.
Jika turisme Pecinan Semarang tertata baik, di samping jelas kontribusi devisanya, juga tereliminasi ekses sampingannya. Warga senang dan pemerintah tercitrakan positif pula.
TUBAGUS P SVARAJATI
Warga kota Semarang[CATATAN: Esai dikirimkan ke Wacana Lokal—Suara Merdeka, Rabu: 25 Januari 2012.]