Judul:
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia
Menyusuri Lorong-Lorong Dunia
Kumpulan
Catatan Perjalanan, Jilid 3
Penulis:
Sigit Susanto
Sigit Susanto
Penyunting:
Puthut EA
Puthut EA
Penerbit:
Insist Press, Yogyakarta
Insist Press, Yogyakarta
Cetakan:
Pertama, April 2012
Pertama, April 2012
Tebal:
xxiv + 307 halaman
xxiv + 307 halaman
Sigit Susanto pelancong yang tekun. Tak cuma berpesiar, ia
sekaligus mencatat dan menuliskan pelesirannya. Terbilang 36 negara telah
dikunjunginya. Penulis kelahiran Boja, Kendal, Jawa Tengah, itu memulai tiap
pelancongannya dari negeri Swiss. Ia menetap di negeri orang sejak April 1996.
Pada tiap pelesirannya Sigit selalu ditemani oleh istrinya,
Claudia Beck, warga negara Swiss. Jangan bayangkan mereka berdua pengembara
romantik yang berkelana sepanjang tahun. Sigit dan istrinya berumah dan bekerja di Swiss. Hanya
saja, tiap tahun, mereka gemar berpesiar. Bepergian di luar Eropa pun mereka
menggunakan biro jasa wisata dan pemandu (guide).
Menariknya, di tengah sempitnya tempo pesiar, antara
satu—dua minggu, Sigit teliti merekam detail peristiwa atau lokasi yang
didatanginya. Kesan-kesannya pun diungkapkan secara menarik. Catatannya rinci,
penuh warna lokal, dan berciri etnografis. Dengan membaca esainya, pembaca
membayangkan dirinya di ruang-waktu yang sama bersama Sigit. Padahal, catatan
perjalanan tersebut ditulis belakangan, bahkan terkadang setelah tiga tahun
usai pelesirannya.
Minatnya pada kesusastraan, sosial-politik, sejarah
atau
kebudayaan umumnya kian memberi bobot pada tiap catatan perjalanannya. Dalam ranah
sastra, alumnus Akaba 17, Semarang, ini mengidolakan sastrawan Franz Kafka dan
James Joyce.
Buku catatan perjalanannya yang ketiga tersebut manampung
kisah-kisahnya ke negara-negara Kenya, India, Turki, Yordania, Skandinavia
(Denmark, Finlandia, Swedia dan Norwegia), Polandia, Mesir, Sicilia, Hongkong,
Kamboja, dan Yunani. Total ada 13 esai di buku ini.
Melongok ke Dalam
Seperti galibnya turis, Sigit pun menyinggahi berbagai objek
wisata kondang. Museum
atau
bangunan bersejarah, seperti (bekas) istana, agaknya adalah destinasi utama.
Contohnya, ia kunjungi arena pacuan kuda, reruntuhan kerajaan Romawi, di
Yordania. Disambangi pula masjid Hagia Sophia, Istanbul, Turki. Awalnya masjid
itu adalah bangunan gereja di zaman Byzantium. Pada masa kerajaan Usmaniyah, di
tarikh 1453, atas titah sultan Mehmed II gereja itu dijadikan masjid. Hagia
Sophia bertahan sebagai masjid hingga 1931. Pada 1935 pemerintah Turki
mengubahnya menjadi museum.
Di India, kunjungan wajib tentu ke Taj Mahal. Namun kenangan
terdalam barangkali terpatri di Kota Biru, julukan bagi Jodhpur. Claudia dan
Sigit melenggang di pasar. Mereka dikuntit anak-anak jalanan dekil, berpakaian
kotor dan robek-robek. Claudia iba melihat kondisi mereka. Dicarinya penjual
baju bekas. Lantas delapan anak dibiarkan memilih baju-celana kesukaannya,
gratis. Tak ayal, di sepanjang jalan, tangan Claudia dan Sigit digandeng
bocah-bocah fakir itu. Genggaman jari-jemari kurus itu lekat-kuat sampai
akhirnya sang pelancong murah hati melesat pulang dengan bajaj.
Kisah simpatik di Jodhpur mewarnai buku ini bersama cerita sastra dan
nukilan-nukilannya di sekujur risalah. Pembaca bakal silap bila ingin mencari
informasi standar buku petunjuk wisata. Tak ada keterangan how to get there, how to eat,
atau how to stay. Isi buku lebih pada
tuturan kesan dan, di sana-sini, kontemplasi penulis. Dengan cara itu seolah
pembaca diajak melongok lebih dalam, tentang the other side, ke pelosok tempat yang dikunjunginya.
Buku ini layak pula dianggap sebagai reportase jurnalistik.
Seperti terhadap jurnalis, yang kita beri mandat sebagai penyambung
mata-telinga kita, Sigit pun bisa kita percayai atas reputasinya sebagai
pelancong tangguh. Esai-esai
dalam buku ini absah. Menyimaknya, pemahaman pembaca tentang sosiokultural suatu negara bakal
lebih mendalam.
Karangan Sigit enak dibaca. Barangkali latarnya sebagai
pemandu wisata di Bali, belasan tahun silam, turut membantu. Tak jarang
kalimatnya memikat, contohnya: Binatang liar berkecambah dan dipagar gunung
Kilimanjaro di kejauhan (halaman 12). Sebaliknya, di pagina yang sama, tersua
kalimat tak logis, seperti: Yang menakutkan jika mobil tak bisa keluar, kami
harus bermalam di dalam mobil yang banyak binatang buas.
Bila gramatika dibenahi dan struktur kisahan tidak linear-monoton, niscaya, narasinya bakal kian menawan. Meski begitu, di
sana-sini, pembaca bisa menemukan kejutan-kejutan menarik tentang, misalnya,
gajah warna merah, Adidas, payudara, atau Injil Yunani. (Tubagus P Svarajati)
[CATATAN: Timbangan buku dikirimkan
ke Suara Merdeka, Kamis: 10/05/2012.]
Thanks you, Yap. Ulasan yang memetik pernik pinggiran: adidas, payudara dan anjil yunani. That is fact. Kamsia hadirmu di Unika, semacam reuni bertemu mbakyu Sri Milangsih juga. (Sigit Susanto)
BalasHapusTentu senang bisa ketemu Sri Mulangsih setelah sekian lama, tiga puluhan tahun, setelah kulit kita kian mengerut.
BalasHapus