[Sumber foto: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?s=914e38a0c2444eb21b7f26cf51092ecf&p=25389736#post25389736]
PENDUDUK Pecinan Semarang, jika saya boleh berprasangka, seperti lupa pada riwayat permukimannya. Lazimnya pelupa, orang berpikir serampangan dan bertindak gampangan. Maka, wilayah Pecinan terkini, ibaratnya, adalah raut komunitas pelupa.
Di zaman kolonial—pada tarikh 1741—orang-orang Tionghoa Semarang direlokasi di suatu tanah kosong, di tepi barat sungai. Hunian ini tak jauh dari benteng Belanda (sekarang Kota Lama) sehingga mereka masih mudah diawasi. Tindakan itu diambil karena pemerintah Hindia Belanda takut terulangnya pemberontakan orang Tionghoa (di Batavia, 1740). Tercatat ribuan orang Tionghoa terbantai saat itu.
Seiring beringsutnya waktu, orang Tionghoa beranak-pinak dan permukimannya berkembang pesat. Mengutip penelitian HF Tillema, Pratiwo (2005) menyebutkan, pada 1911 populasi di Pecinan mencapai 1000 orang/ha dan mortalitasnya 64,3/1000 orang. Ketika itu Pecinan adalah wilayah kumuh, gersang, dan tidak sehat.
Melihat buruknya lingkungan, kotapraja mengizinkan orang Tionghoa tinggal di luar Pecinan. Pratiwo (2010) mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda menghapuskan Wijkenstelsel pada 1915, orang Tionghoa banyak mendirikan rumah-toko (ruko), antara lain, di jalan Ambengan (MT Haryono), Bojongsche weg (Pemuda), jalan Karangturi (Dr Cipto) sampai Peterongan. Data-data tersebut berasal dari Liem Thiam Joe (1937).
Tersebarnya permukiman orang Tionghoa di seantero kota, dalam konteks sosiologis, membuktikan satu hal: Tionghoa Semarang mampu beradaptasi dan membaur dengan masyarakat dan lingkungan lebih luas.
Akan halnya Pecinan tumbuh sebagai salah satu pusat perdagangan utama di Semarang. Berdasarkan amatan terkini, di Pecinan sekarang ada pusat perdagangan kain (Gang Warung), pertokoan emas (Gang Pinggir), dan pasar tradisional kelas wahid (Gang Baru). Rumah makan, bank, hotel, toko alat tulis, salon, optik, apotek, money changer, praktik dokter dan sebagainya tersebar di Gg Pinggir, Gg Warung, Gg Besen, Gg Tengah, Gg Gambiran atau nyaris di setiap jalan di Pecinan.
Logis, sebagai pusat perdagangan Pecinan membutuhkan tempat usaha lebih luas. Hal ini disiasati dengan diubahnya rumah-rumah hunian sebagai unit usaha. Segera rumah-rumah tradisional kecinaan dirobohkan dan dibangunlah yang baru (rata-rata berlantai tiga). Nyaris pertambahan “rumah baru” tak terkontrol.
Agaknya penduduk Pecinan lupa pada diskriminasi yang menimpa mereka. Pada 1970-an rezim Orde Baru—c.q. pemerintah kota Semarang—memangkas habis fasad arsitektural kecinaan rumah-rumah, utamanya, di jalanan protokol Gg Pinggir-Gg Warung. Dalihnya, demi pelebaran jalan dan keindahan wilayah. Alhasil, seluruh raut bangunan di Pecinan berubah: serupa kerangkeng dengan lajur tembok lurus di lantai duanya.
Di masa represif itu, di tahun-tahun tatkala komunisme-fobia merebak dan kebudayaan Tionghoa dalam semua ekspresinya diberangus, penduduk Pecinan was-was bila menolak mengubah rumah mereka. Muncul isu, mereka bakal dipenjara bila tidak menuruti kehendak penguasa.
Lantas, dengan alasan menanggulangi banjir, pemerintah memaksakan Normalisasi Kali Semarang (NKS), pada akhir 1980-an. Puluhan bangunan kuno dibongkar atau dikepras. Di jalan Petudungan 22 ruko dihancurkan, 3 di antaranya hanya tersisa 3-4 meter. Di Gg Warung 24 ruko bagian belakangnya dipotong. Proyek NKS ini, tentu saja, ditentang keras oleh terutama pemilik bangunan yang rumahnya terdampak. Tapi, akhirnya mereka kalah juga.
Setelah NKS selesai kali Semarang tidak menjadi lebih baik. Airnya pun tidak mengalir lancar. Jalan inspeksi di kedua sisinya malah kumuh dan banjir di seantero kota tetap tak teratasi. Menurut Pratiwo (ibid), yang melakukan penelitian doktoralnya di Pecinan Semarang pada 1986-1987, NKS itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Parahnya, proyek itu telah menghancurkan banyak bangunan kuno sebagai warisan budaya yang mestinya dikonservasi.
Berkaca pada fakta-fakta di atas, tidakkah penduduk Pecinan tergugah menjaga identitas lingkungannya demi pewarisan budaya kepada generasi berikutnya? Faktanya, mereka seperti berlomba melumat jatidirinya sendiri. Satu demi satu gedung kuno dihancurkan, diganti dengan bangunan baru yang, celakanya, tidak lebih indah dari yang lama.
Hari-hari ini di Gg Tengah empat bangunan dirobohkan—tanahnya dibiarkan mangkrak—dan tiga rumah sedang didirikan. Di Gg Gambiran dan Gg Pinggir masing-masing ada pembangunan satu gedung baru. Dua gedung pun sedang didirikan di Kalikoping.
Jika dibiarkan semena-mena, tanpa penataan serius, Pecinan akan menjadi kawasan tanpa identitas. Juga, akibat daya dukung lingkungan terbatas dan infrastruktur yang sarat beban, di Pecinan suatu saat bakal timbul permasalahan genting dengan biaya sosial-ekonomi yang besar.
Sebagai pengingat, masyarakat pelupa niscaya sedang menggali kuburnya sendiri lebih lekas. Sangat bijak jika pinisepuh Pecinan bertindak sebelum nasi menjadi bubur.
TUBAGUS P SVARAJATI,
Esais, lahir dan besar di Pecinan Semarang
Di zaman kolonial—pada tarikh 1741—orang-orang Tionghoa Semarang direlokasi di suatu tanah kosong, di tepi barat sungai. Hunian ini tak jauh dari benteng Belanda (sekarang Kota Lama) sehingga mereka masih mudah diawasi. Tindakan itu diambil karena pemerintah Hindia Belanda takut terulangnya pemberontakan orang Tionghoa (di Batavia, 1740). Tercatat ribuan orang Tionghoa terbantai saat itu.
Seiring beringsutnya waktu, orang Tionghoa beranak-pinak dan permukimannya berkembang pesat. Mengutip penelitian HF Tillema, Pratiwo (2005) menyebutkan, pada 1911 populasi di Pecinan mencapai 1000 orang/ha dan mortalitasnya 64,3/1000 orang. Ketika itu Pecinan adalah wilayah kumuh, gersang, dan tidak sehat.
Melihat buruknya lingkungan, kotapraja mengizinkan orang Tionghoa tinggal di luar Pecinan. Pratiwo (2010) mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda menghapuskan Wijkenstelsel pada 1915, orang Tionghoa banyak mendirikan rumah-toko (ruko), antara lain, di jalan Ambengan (MT Haryono), Bojongsche weg (Pemuda), jalan Karangturi (Dr Cipto) sampai Peterongan. Data-data tersebut berasal dari Liem Thiam Joe (1937).
Tersebarnya permukiman orang Tionghoa di seantero kota, dalam konteks sosiologis, membuktikan satu hal: Tionghoa Semarang mampu beradaptasi dan membaur dengan masyarakat dan lingkungan lebih luas.
Akan halnya Pecinan tumbuh sebagai salah satu pusat perdagangan utama di Semarang. Berdasarkan amatan terkini, di Pecinan sekarang ada pusat perdagangan kain (Gang Warung), pertokoan emas (Gang Pinggir), dan pasar tradisional kelas wahid (Gang Baru). Rumah makan, bank, hotel, toko alat tulis, salon, optik, apotek, money changer, praktik dokter dan sebagainya tersebar di Gg Pinggir, Gg Warung, Gg Besen, Gg Tengah, Gg Gambiran atau nyaris di setiap jalan di Pecinan.
Logis, sebagai pusat perdagangan Pecinan membutuhkan tempat usaha lebih luas. Hal ini disiasati dengan diubahnya rumah-rumah hunian sebagai unit usaha. Segera rumah-rumah tradisional kecinaan dirobohkan dan dibangunlah yang baru (rata-rata berlantai tiga). Nyaris pertambahan “rumah baru” tak terkontrol.
Agaknya penduduk Pecinan lupa pada diskriminasi yang menimpa mereka. Pada 1970-an rezim Orde Baru—c.q. pemerintah kota Semarang—memangkas habis fasad arsitektural kecinaan rumah-rumah, utamanya, di jalanan protokol Gg Pinggir-Gg Warung. Dalihnya, demi pelebaran jalan dan keindahan wilayah. Alhasil, seluruh raut bangunan di Pecinan berubah: serupa kerangkeng dengan lajur tembok lurus di lantai duanya.
Di masa represif itu, di tahun-tahun tatkala komunisme-fobia merebak dan kebudayaan Tionghoa dalam semua ekspresinya diberangus, penduduk Pecinan was-was bila menolak mengubah rumah mereka. Muncul isu, mereka bakal dipenjara bila tidak menuruti kehendak penguasa.
Lantas, dengan alasan menanggulangi banjir, pemerintah memaksakan Normalisasi Kali Semarang (NKS), pada akhir 1980-an. Puluhan bangunan kuno dibongkar atau dikepras. Di jalan Petudungan 22 ruko dihancurkan, 3 di antaranya hanya tersisa 3-4 meter. Di Gg Warung 24 ruko bagian belakangnya dipotong. Proyek NKS ini, tentu saja, ditentang keras oleh terutama pemilik bangunan yang rumahnya terdampak. Tapi, akhirnya mereka kalah juga.
Setelah NKS selesai kali Semarang tidak menjadi lebih baik. Airnya pun tidak mengalir lancar. Jalan inspeksi di kedua sisinya malah kumuh dan banjir di seantero kota tetap tak teratasi. Menurut Pratiwo (ibid), yang melakukan penelitian doktoralnya di Pecinan Semarang pada 1986-1987, NKS itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Parahnya, proyek itu telah menghancurkan banyak bangunan kuno sebagai warisan budaya yang mestinya dikonservasi.
Berkaca pada fakta-fakta di atas, tidakkah penduduk Pecinan tergugah menjaga identitas lingkungannya demi pewarisan budaya kepada generasi berikutnya? Faktanya, mereka seperti berlomba melumat jatidirinya sendiri. Satu demi satu gedung kuno dihancurkan, diganti dengan bangunan baru yang, celakanya, tidak lebih indah dari yang lama.
Hari-hari ini di Gg Tengah empat bangunan dirobohkan—tanahnya dibiarkan mangkrak—dan tiga rumah sedang didirikan. Di Gg Gambiran dan Gg Pinggir masing-masing ada pembangunan satu gedung baru. Dua gedung pun sedang didirikan di Kalikoping.
Jika dibiarkan semena-mena, tanpa penataan serius, Pecinan akan menjadi kawasan tanpa identitas. Juga, akibat daya dukung lingkungan terbatas dan infrastruktur yang sarat beban, di Pecinan suatu saat bakal timbul permasalahan genting dengan biaya sosial-ekonomi yang besar.
Sebagai pengingat, masyarakat pelupa niscaya sedang menggali kuburnya sendiri lebih lekas. Sangat bijak jika pinisepuh Pecinan bertindak sebelum nasi menjadi bubur.
TUBAGUS P SVARAJATI,
Esais, lahir dan besar di Pecinan Semarang
[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Minggu: 31/10/2010; tidak terbit. Diunggah ke Facebook https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150162664029181, Sabtu: 09/04/2011.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar