Judul:
Kisah di Balik Pintu
Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat
Penulis:
Soe Tjen Marching
Penerbit:
Penerbit Ombak
Cetakan:
I, 2011
Tebal:
xxi + 256 halaman
Kisah di Balik Pintu
Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat
Penulis:
Soe Tjen Marching
Penerbit:
Penerbit Ombak
Cetakan:
I, 2011
Tebal:
xxi + 256 halaman
Apa bedanya identitas yang ditampilkan seorang perempuan di mata publik dan dalam ranah privat? Soe Tjin Marching menjawabnya dengan menelisik 8 otobiografi (terpublikasi) dan 9 diari (tidak terpublikasi)—semuanya milik perempuan Indonesia.
Melalui penelitian itu Soe meraih PhD dari Universitas Monash, Australia. Disertasinya dibukukan bertajuk The Discrepancy between the Public and the Private of Indonesian Women (The Edwin Mellen Press, 2007). Kisah di Balik Pintu Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat adalah alih bahasa buku tadi ke bahasa Indonesia yang, menurut penulisnya, dibuat lebih populer.
Ass. Prof. Susan Blackburn, pengajar di School of Political and Social Inquiry, Universitas Monash, berkomentar, buku Soe “amat orisinal dan menggebrak”. Menurut dia, belum pernah ada analisa otobiografi perempuan Indonesia—utamanya tentang gender dan isu perempuan—seperti yang dilakukan Soe.
Soe menelaah otobiografi 8 perempuan yang semuanya lahir di Jawa, yakni Sujatin Kartowijono (Mencari Makna Hidupku, 1983), Rachmawati Sukarno (Bapakku Ibuku, 1984), Herlina (Pending Emas [1985] dan Bangkit dari Dunia Sakit [1986]), Inggit Garnasih (Kuantar ke Gerbang, 1988), Ratna Djuami Asmarahadi (Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno, 1992), Sulistina Soetomo (Bung Tomo Suamiku, 1995), dan Lasmidjah Hardi (Perjalanan Tiga Zaman, 1997). Mereka dianggap terlibat dalam perjuangan Kemerdekaan atau anak Proklamator. Sedangkan nama 9 penulis diari yang dikaji, disamarkan sebagai Fay, Lilies, Nani, Mar, Eli, Mina, Ema, Ida, dan Ani. Semuanya lahir setelah 1964 dengan latar sosial-edukasi beragam dan terkategori sebagai orang-orang biasa atau tidak terkenal.
Kita paham, ideologi rezim Orde Baru begitu dominan memengaruhi kehidupan orang Indonesia selama tiga dekade. Sadar atau tidak, ideologi itu—antara lain nilai-nilai kejawaan dan patriarkisme—merasuki pikiran hingga muncul dalam ekspresi keseharian orang Indonesia.
Berdasar kajian, ditemukan bahwa identitas perempuan mustahil terlepas dari wacana, persepsi atau ideologi-ideologi di sekitarnya. Perempuan yang menuliskan ”saya” atau ”gua” sekalipun—wujud identitas diri—terkadang merupakan hasil tawar-menawar antara bermacam suara pribadi, sosial dan ideologi. Apa-apa yang dituliskan juga tergantung pada situasi politik saat buku diterbitkan. Contohnya Pending Emas.
Awalnya Pending Emas terbit pada 1965 dengan pengantar Presiden Soekarno. Pada edisi 1985, pengantar Presiden Soekarno raib dan digantikan oleh Letjend Achmad Taher. Di buku edisi kedua itu nama Soeharto ditulis berulang-ulang dan berbunga-bunga. Padahal di buku sebelumnya Herlina tak menggambarkan kekagumannya kepada Panglima Komando Mandala itu. Alih-alih, tak sekali pun nama ”Soeharto” muncul di buku edisi pertama. Kesimpulannya, ekspresi atau identitas seseorang bukan milik diri sendiri, namun juga tergantung pada ”mata” kekuasaan yang mengawasinya. Tatkala Pending Emas edisi kedua terbit kita tahu, rezim Orde Baru sedang di puncak kekuasaannya.
Di dalam diari pengaruh tatapan luar (kuasa atau ideologi dominan) tak berarti nihil. Cara pandang stereotipe dan diskriminasi rezim Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, misalnya, muncul juga dalam diari. Tapi ada juga penulis diari yang tak setuju pada praktik diskriminatif itu.
Sering dianggap diari lebih benar, jujur dan menggambarkan fakta sebenarnya karena ditulis untuk diri sendiri, tak ada orang lain yang mengintip. Namun, Abbot, seperti dikutip Soe (pagina 22), bilang, ”Diari hanya menawarkan ilusi kejujuran.” Ada norma, tabu atau ideologi di luarnya yang tanpa sadar merasuki tiap jengkal penulisan diari. Faktanya, diri sendiri terbilang pembaca atau penatap lain atas diari yang ditulisnya.
Topik seksualitas—dalam otobiografi maupun diari—digambarkan cukup kompleks. Ada tabu dan kekangan dari luar—terutama norma keagamaan dan moralitas masyarakat—yang asimetri dengan gairah seksual para perempuan Indonesia. Semakin gamblang ilustrasi pengalaman seksual itu, semakin keras mereka mengutuki diri sendiri. Alhasil, seksualitas senantiasa berada dalam labirin wacana, bukan terutama masalah biologis semata. Soe (pagina 188) menyimpulkan, ”Seksualitas menjadi hal yang amat rumit. Dalam satu hal, ia dinikmati, dibutuhkan dan dipuja; namun dalam hal lain, ia juga dimaki dan dikutuk.”
Penelitian Soe melengkapi diskursus keperempuanan Indonesia yang sudah ada. Upaya Soe memburu diari-diari para perempuan Indonesia itu menarik disimak. Pada ujungnya terungkap, identitas perempuan Indonesia, dalam ranah publik atau privat, tak serta-merta terbebas dari jerat ideologi atau wacana dominan di sekitarnya. (Tubagus P Svarajati)
Melalui penelitian itu Soe meraih PhD dari Universitas Monash, Australia. Disertasinya dibukukan bertajuk The Discrepancy between the Public and the Private of Indonesian Women (The Edwin Mellen Press, 2007). Kisah di Balik Pintu Identitas Perempuan Indonesia: Antara yang Publik & Privat adalah alih bahasa buku tadi ke bahasa Indonesia yang, menurut penulisnya, dibuat lebih populer.
Ass. Prof. Susan Blackburn, pengajar di School of Political and Social Inquiry, Universitas Monash, berkomentar, buku Soe “amat orisinal dan menggebrak”. Menurut dia, belum pernah ada analisa otobiografi perempuan Indonesia—utamanya tentang gender dan isu perempuan—seperti yang dilakukan Soe.
Soe menelaah otobiografi 8 perempuan yang semuanya lahir di Jawa, yakni Sujatin Kartowijono (Mencari Makna Hidupku, 1983), Rachmawati Sukarno (Bapakku Ibuku, 1984), Herlina (Pending Emas [1985] dan Bangkit dari Dunia Sakit [1986]), Inggit Garnasih (Kuantar ke Gerbang, 1988), Ratna Djuami Asmarahadi (Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno, 1992), Sulistina Soetomo (Bung Tomo Suamiku, 1995), dan Lasmidjah Hardi (Perjalanan Tiga Zaman, 1997). Mereka dianggap terlibat dalam perjuangan Kemerdekaan atau anak Proklamator. Sedangkan nama 9 penulis diari yang dikaji, disamarkan sebagai Fay, Lilies, Nani, Mar, Eli, Mina, Ema, Ida, dan Ani. Semuanya lahir setelah 1964 dengan latar sosial-edukasi beragam dan terkategori sebagai orang-orang biasa atau tidak terkenal.
Kita paham, ideologi rezim Orde Baru begitu dominan memengaruhi kehidupan orang Indonesia selama tiga dekade. Sadar atau tidak, ideologi itu—antara lain nilai-nilai kejawaan dan patriarkisme—merasuki pikiran hingga muncul dalam ekspresi keseharian orang Indonesia.
Berdasar kajian, ditemukan bahwa identitas perempuan mustahil terlepas dari wacana, persepsi atau ideologi-ideologi di sekitarnya. Perempuan yang menuliskan ”saya” atau ”gua” sekalipun—wujud identitas diri—terkadang merupakan hasil tawar-menawar antara bermacam suara pribadi, sosial dan ideologi. Apa-apa yang dituliskan juga tergantung pada situasi politik saat buku diterbitkan. Contohnya Pending Emas.
Awalnya Pending Emas terbit pada 1965 dengan pengantar Presiden Soekarno. Pada edisi 1985, pengantar Presiden Soekarno raib dan digantikan oleh Letjend Achmad Taher. Di buku edisi kedua itu nama Soeharto ditulis berulang-ulang dan berbunga-bunga. Padahal di buku sebelumnya Herlina tak menggambarkan kekagumannya kepada Panglima Komando Mandala itu. Alih-alih, tak sekali pun nama ”Soeharto” muncul di buku edisi pertama. Kesimpulannya, ekspresi atau identitas seseorang bukan milik diri sendiri, namun juga tergantung pada ”mata” kekuasaan yang mengawasinya. Tatkala Pending Emas edisi kedua terbit kita tahu, rezim Orde Baru sedang di puncak kekuasaannya.
Di dalam diari pengaruh tatapan luar (kuasa atau ideologi dominan) tak berarti nihil. Cara pandang stereotipe dan diskriminasi rezim Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, misalnya, muncul juga dalam diari. Tapi ada juga penulis diari yang tak setuju pada praktik diskriminatif itu.
Sering dianggap diari lebih benar, jujur dan menggambarkan fakta sebenarnya karena ditulis untuk diri sendiri, tak ada orang lain yang mengintip. Namun, Abbot, seperti dikutip Soe (pagina 22), bilang, ”Diari hanya menawarkan ilusi kejujuran.” Ada norma, tabu atau ideologi di luarnya yang tanpa sadar merasuki tiap jengkal penulisan diari. Faktanya, diri sendiri terbilang pembaca atau penatap lain atas diari yang ditulisnya.
Topik seksualitas—dalam otobiografi maupun diari—digambarkan cukup kompleks. Ada tabu dan kekangan dari luar—terutama norma keagamaan dan moralitas masyarakat—yang asimetri dengan gairah seksual para perempuan Indonesia. Semakin gamblang ilustrasi pengalaman seksual itu, semakin keras mereka mengutuki diri sendiri. Alhasil, seksualitas senantiasa berada dalam labirin wacana, bukan terutama masalah biologis semata. Soe (pagina 188) menyimpulkan, ”Seksualitas menjadi hal yang amat rumit. Dalam satu hal, ia dinikmati, dibutuhkan dan dipuja; namun dalam hal lain, ia juga dimaki dan dikutuk.”
Penelitian Soe melengkapi diskursus keperempuanan Indonesia yang sudah ada. Upaya Soe memburu diari-diari para perempuan Indonesia itu menarik disimak. Pada ujungnya terungkap, identitas perempuan Indonesia, dalam ranah publik atau privat, tak serta-merta terbebas dari jerat ideologi atau wacana dominan di sekitarnya. (Tubagus P Svarajati)
[CATATAN: Timbangan buku ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 8/1/2012.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar