[Photo: http://www.guardian.co.uk/sport/2011/aug/08/oscar-pistorius-south-africa-world-championships]
SETELAH GAUL, SO WHAT GITU LOH?!
—sejauh-jauhnya cinta untuk fiona dan andreas—
Minggu: 7 Agustus 2011. Pada hari ini ada dua hal yang sama berkait dengan gadget: ”Tergiur Beli Ponsel, Remaja di Bawah Umur Jajakan Diri” dan ”Fiona merasa gaul dengan iPod dan BB-nya”.
Fiona bukan Rin, tentu. Rin, menurut berita harian Kompas, adalah remaja di bawah umur yang menjajakan diri itu. Ia baru sepekan melacur dan, sialnya, kena razia, Sabtu (6/8) dini hari. Tiap malam ia mangkal di satu hotel di Jalan Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat. Remaja yang tak lulus SMP itu lantas dibawa ke markas Polres Bogor Kota.
Terungkap, tiap menemani seorang tamu Rin dibayar Rp 200.000, dipotong Rp 30.000 untuk ”mami”. Rencananya uang hasil bekerja itu akan digunakan untuk membeli telepon genggam layar sentuh seharga Rp 1,5—Rp 2 juta.
”Seminggu itu paling saya baru dapat tamu 4-5 orang. Uangnya juga kadang dipinjam ibu buat kebutuhan sehari-hari, jadi belum bisa beli hape (HP),” tutur remaja berambut panjang itu. Rin yang malang.
Fenomena Rin, dari kacamata psikologi sosial, mudah dipahami. Telepon genggam dianggap mewakili citra modernitas. Memilikinya menjadi keharusan. Nilai guna dikalahkan oleh nilai simbolik. Akhirnya telepon genggam jadi fetistik.
Akal sehat—argumentasi telepon genggam adalah alat komunikasi—ditundukkan oleh hasrat konsumer-hedonistik. Bagaimana praktik pemberhalaan itu berlangsung? Iklan punya kontribusi yang signifikan.
Kesadaran palsu dibentuk oleh citra-citra dan lambang iklan. Pesannya lugas: Jika tak memiliki hape terbaru, maka kau tak gaul. Aspek gaul itu, antara lain, makin ditegaskan oleh berbagai jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Setakat ini bahkan remaja seperti Fiona, ambil contoh, menganggap Facebook telah kuno. Ia beralih ke kanal Twitter. Alasannya, lebih gaul dan up to date. Konon informasi lebih cepat di jejaring Twitter.
Sungguh, saya tak paham, bagaimana relasi jargon gaul dan kecepatan informasi tumbuh bareng. Di sisi lain, Fiona nyaris tak pernah, misalnya, mengakses koran elektronik atau situs-situs berita lain. Lantas, informasi semacam apa yang dikonsumsi oleh remaja gaul seperti Fiona itu?
Rony Chandra Kristanto, rohaniwan muda dari GIA Jemaat Pringgading, Semarang, kurang-lebihnya menyatakan: ”Remaja sekarang tak butuh jenis informasi tradisional. Mereka terhubungkan oleh kesenangan spesifik di antara sesamanya.”
Baiklah, untuk sementara argumentasi Rony dimaklumi. Tapi, apa kesenangan spesifik itu punya value? Atau, nilai-nilai apa yang dianut oleh remaja sekarang?
Secara gampang, remaja-remaja gaul itu imun atau resisten terhadap hal-hal di luar atensinya. Mereka nyaman di rumah asuh gadget terbaru nan canggih. Di sisi ini mereka alpa: Memiliki gadget seperti itu berarti membelanjakan uang berlebihan. Bisa jadi besar pasak daripada tiang. Tapi, apa alibi Fiona?
”Aku remaja gemar menabung, maka bisa beli iPod dan BB!” seru Fiona, Minggu (7/8) sore.
Bagiku, kebanggaan Fiona terasa semu. Nilai kebaikan menabung cuma dipertukarkan dengan praktik konsumsi alat-alat produksi pabrikan kapitalistik.
Fiona dan Rin adalah contoh nyata remaja yang dicengkeram oleh, dalam batas-batas tertentu, hasrat konsumtif. Bedanya, Rin berasal dari keluarga miskin, sedangkan keluarga Fiona relatif cukup mampu ekonominya. Cara mereka untuk mendapatkan gadget impiannya berlainan. Fiona menabung uang jajannya untuk dibelikan iPod dan smartphone Blackberry. Sedangkan Rin mesti melacurkan diri agar punya uang untuk membeli hape layar sentuh.
Masalahnya, seberapa penting alat komunikasi itu bagi remaja-remaja itu? Apakah alasan demi mengekspresikan diri, melalui gadget, jadi pembenar absolut? Dari mana mereka mendapatkan uang untuk membiayai gaya hidup itu sedangkan mereka belum bekerja?
Barangkali sudah saatnya para orangtua berpikir kritis: Haruskah anak-anak itu menjadi korban keganasan korporasi kapitalistik yang selalu mengaduk-aduk banalitas hasrat konsumtif manusia (melalui bahasa periklanan). Sementara ada banyak pilihan lainnya, jauh lebih cerdas-bernilai, ketimbang merelakan anak-anak tumbuh dalam asuhan dan sekadar berperilaku konsumtif atas kemajuan teknologi gadget.
Saya ingin titip pesan untuk Andreas: Penting meluaskan wawasan pengetahuan ketimbang piawai dalam games belaka. Adiksi games mengoyak kesehatan psike, sedangkan kecanduan ilmu pengetahuan malah meninggikan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk Fiona, bukankah gengsi tak diukur dari canggihnya gadget, melainkan seberapa bijak perangkat itu kita manfaatkan. Renungkan: Setelah gaul, so what gitu loh?!
TUBAGUS P. SVARAJATI
—Kampung Jambe: Selasa, 9 Agustus 2011; 08:57
PS:
Fiona dan Andreas, tak jadi soal jika kalian menganggap paman yang satu ini mirip kakek-kakek nyinyir. So what gitu loh?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar