Senin, 01 Agustus 2011

HISTORICA A LA CARTE



Perjalanan dalam sejarah adalah perjalanan dalam separuh gelap.
—Goenawan Mohamad

Agaknya sejarah tak selalu benderang, penuh kelokan, senantiasa tak pernah selesai karena ia—sejarah itu—niscaya beringsut terus. Begitulah saya kira.

Dalam separuh gelap itu, “Kita memerlukan semacam iman,” kata GM, sapaan akrab jurnalis cum sastrawan kondang itu. Ia seperti hendak meyakinkan kita, perlunya suatu pegangan atau, katakanlah, keyakinan tertentu ketika ‘membaca’ sejarah.

Dan tentang iman, pegangan atau keyakinan itu, nama Jongkie Tio (71) pantas disebutkan. Ia menuliskan sejarah yang separuh gelap itu: Sejarah lisan yang terlipat di dalam benak dan kenangan.

Di Semarang, Tio adalah orang pertama dan niscaya tepat untuk membincangkan narasi-narasi yang terkubur—atau hampir.

Tio asli kelahiran Semarang. Lahir sebagai Tio Tik Gwan; dari pasangan Tio Liong Hwie dan Goh Lies Nio. Jongkie Tio adalah nama kecilnya. Tapi ia sangat populer dengan nama itu.

“Nama dagang saya, Daddy Budiarto,” kata dia.

Daddy Budiarto dipakainya hanya untuk keperluan resmi, seperti: mengurus KTP atau izin usaha dagang restorannya. Bersama istrinya, Tio mengelola Semarang Restaurant. Dalam masa rezim Orde Baru, ganti nama “wajib” bagi orang Tionghoa dengan diterbitkannya Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966.

Di kalangan mahasiswa, jurnalis, sejarawan, ahli arsitektur dan perkotaan, Jongkie Tio—bapak empat putra—adalah nama rujukan primer mengenai sejarah kota Semarang. Padahal Tio tidak terdidik sebagai ahli sejarah—berulang kali ia menegaskan hal itu.

I am not at all claiming myself as a historian or researcher,” tulis Tio dalam buku Semarang City, a Glance into the Past.

Buku itu ditulis dan diterbitkannya sendiri. Lewat buku itu ia bermaksud mengenalkan Semarang dengan cara sesederhana mungkin; lantas tumbuh minat orang Semarang agar terlibat pada pembangunan kotanya.

Menyimak bukunya, kita sadar, Tio memang bukan sejarawan—jika sejarawan berelasi pada suatu praktik historisisme dengan metodologi terarah. Bukunya memang lebih tepat disebut sebagai memoar, ingatan yang diliterasikan. Ia mengaku, inti bukunya ialah padanan dongeng dan cerita.

Seturut Kamus Umum Bahasa Indonesia (edisi ketiga, 2001), memoar adalah kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya.

Sedangkan bagi Jacques Derrida (via Donny Danardono, 2008), sebuah memoar adalah penceritaan kreatif tentang ‘fakta’ di masa lalu. Penulisan memori, yang dengan begitu berbeda dengan sejarah, memiliki kelekatan emosi dengan masa lalu. Memori adalah kenangan subyektif (pengalaman) seseorang di masa lalu. Tegasnya, dengan menulis memoar, seseorang lebih jujur dalam mengakui adanya kepentingan subyektifnya terhadap ‘fakta’ tersebut. Sebaliknya, ‘sejarah’ mengandaikan adanya masa lalu yang memiliki ‘realitas obyektif’. Padahal, cara berpikir ‘historis’ itu hanya berakhir pada suatu paradoks: Bagaimana mungkin menemukan ‘realitas obyektif’ masa lalu, sedangkan tafsir atas ‘realitas’ itu dipengaruhi oleh kondisi gender, etnisitas, agama, orientasi seksual, atau nasionalisme.

Melalui bukunya itu jelas-jelas adalah cara Tio “express everything connected with Semarang city in a nostalgic memoir” (h. iii). Tidak itu saja, dengan menggunakan bahasa Inggris, Tio ingin buku itu “as a memento for former residents of Semarang and avid observers of Semarang who are presently living abroad” (h. v).

Dari pernyataan itu, literasi memori Tio bisa dianggap sebagai strategi pengekalan ingatan kolektif warga kota. Ia, dengan demikian, juga melakukan praktik penulisan sejarah. Berkat salah satu fotonya yang dimuat di Tempo, Tio mendapat penghargaan jurnalistik Adinegoro dari PWI, 1983.

Narasi A La Carte
Sebenarnya, apa yang dituliskan Tio di buku bersampul coklat itu (tebal 257+xv h.)? Intinya, Tio meriwayatkan ruang-waktu Semarang: di samping narasi-narasi dominan, juga fakta yang terlewat atau sengaja dibungkam oleh kekuasaan—termasuk peristiwa yang tak ingin diingat lagi oleh sebagian warga.

Ambil contoh foto di pagina 92: Sederet ruko yang terbakar dengan asap hitam membubung (keterangan foto “Some buildings which were burnt in the incident of 1965”). Samar-samar kita paham, di masa penuh pergolakan itu—tarikh 1965—sedikit rasa sentimen bakal menjelma sebagai kobaran api atau sungai darah; masaker di antara anak bangsa sendiri. Tentang yang telengas ini GM pernah menulis, “Sejarah bisa saja dimulai dengan salah sangka.”

Hampir di sekujur pagina buku dipenuhi dengan foto-foto arkaik atau gambar-gambar iklan dan sejenisnya. Dengan memuat pula dokumentasi keluarga, kerabat, dan handai-taulannya, Tio mengisyaratkan, foto-foto itu punya daya pikat spesifik—punctum seturut Roland Barthes. Foto-foto tersebut menjadi santir keluasan pergaulan dan perkawanannya.

Kedalaman episteme Tio tercermin pada bibliografi yang dimilikinya. Dari sana, lantas, ‘pengumpul cerita’ itu mengisahkan tak hanya data dan fakta, namun juga nama dan kejadian.

Secara garis besar, bukunya berisi tentang nukilan sejarah pesisir Semarang, pendaratan etnis China di tanah Jawa (termasuk kisah Cheng Ho, admiral muslim yang dua kali berlabuh di Simongan), permukiman multietnis di masa kolonial, perkembangan kota plus alat transportasi/fasilitas lainnya, dan kondisi sosekbud masyarakat. Itu semua ditambahi dengan kisahan mengenai Pertempuran Lima Hari, foto-foto bangunan khas, dan etimologi nama jalan/lingkungan tertentu.

Dari buku itu, kita tahu, beberapa ruang publik—seni dan hiburan—telah lenyap, antara lain: Societeit Harmonie (GRIS, kependekan dari Gedung Rakyat Indonesia Semarang) dan gedung opera Marabunta. Semua gedung bioskop ternama juga musnah: Lux, Rex (Sri), Pathe (Royal/Semarang), Metropole (GRIS), Orion (Rahayu), Roxy (Ria), Jagalan, Grand, dan Indra.

Jelas, raibnya ruang-ruang rekreatif itu menggerus pula memori kolektif warga. Semuanya menjadi mambang—masyarakat pun rudin historik.

Bersama buku Tio, ingatan saya mengembara ke masa silam. Ia sulap teks arkaik sehingga bernyawa lagi. Meski teks-teks itu tak berurutan, berloncatan—narasinya meluas dan meruang kontekstual. Catatan Tio, dengan demikian, seperti hidangan a la carte.

Dari apa-apa yang sudah dibukukan itu menerangkan posisi kultural Tio: Sosok peranakan Tionghoa dengan pendidikan yang memadai. Artinya, Tio seorang cendekia. Sekurang-kurangnya apa yang dituliskan itu layak dinilai sahih. Tio pantas mendapatkan remunerasi dari pemerintah dan warga kota.

Akan tetapi, saya duga, ada banyak hal belum dituntaskan Tio. Saya ingin Tio lugas ungkapkan kekerasan yang dialami kalangan Tionghoa Semarang di sekitar 1965—1966. Mengungkap bukan mengungkit luka traumatik, tapi upaya menepis banalitas kekerasan agar tak terulang.

Di zaman kiwari, tatkala keterbukaan adalah niscaya, represi politik lampau tak semestinya surutkan niat berbagi kebenaran. Bene agere et laetari.

TUBAGUS P. SVARAJATI
Esais, bermukim di Semarang

[Catatan: Esai dikirimkan ke harian Suara Merdeka, Selasa: 15/7/2008. Tidak terbit. Saya sunting lagi, di sana-sini, untuk pengunggahan di blog.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar