[Sumber foto: http://oase.kompas.com/read/2011/06/12/06452778/Mencuri.Inspirasi.dari.Kelucuan.Put.On]
Salah kaprah tentang “minoritas Tionghoa” mesti disudahi. Sejauh ini wacana ketionghoaan, sengaja atau tidak, cuma dikaitkan dengan aspek ekonomi. Padahal sumbangan orang Tionghoa dalam kebudayaan Nusantara sangat beragam dan dominan.
Pameran ilustrasi grafis Chéng Li adalah bukti nyata kuatnya peran orang Tionghoa dalam seni gambar, susastra dan pers Indonesia. Ragam bahasa yang digunakan, Melayu-Tionghoa, juga diakrabi masyarakat luas pada zamannya. Pameran tersebut diadakan oleh Widya Mitra dan Bentara Budaya Yogyakarta, di Gedung Rasa Dharma, Pecinan Semarang, 3―11 Juni kemarin.
Meski kebanyakan hanya reproduksinya, tak berarti artifak yang dipamerkan berkurang nilainya. Yang terpajang, antara lain, puluhan sampul buku, iklan, komik, petilan majalah, gambar kalender, hingga petikan cerita pendek. Ada pula buku tulisan tangan asli naskah cerita Beng Lee Koen atawa Liong Hong Pwee Tjay Seng Jan. Manuskrip lama itu disebut sebagai: ”Satoe tjerita di djeman Goan Tiauw”, jilid 1―25. Tak jelas siapa pengarangnya. Artifak ini, tentu, sangat bernilai bagi sejarah kebudayaan modern Indonesia.
Pemirsa pameran tersebut beruntung menikmati komik dwilogi, meski sepenggal, karya Siauw Tik Kwie. Keduanya bertajuk Sie Djin Koei Tjeng Tang (Sie Jin Kui Menyerbu ke Timur) dan Sie Djin Koei Tjeng See (Sie Jin Kui Menyerbu ke Barat). Pertama kali karya itu muncul secara mingguan di majalah Star Weekly.
Hemat saya, karya Siauw tersebut salah satu masterpiece komik yang pernah dihasilkan oleh putra Indonesia. Ilustrasi grafisnya bersih-rinci. Para tokoh dan lingkungannya dilukiskan secara anatomis dan proporsional. Perlu dicatat, karya puncak komik Indonesia lainnya ialah Maha Bharata dan Ramayana karangan RA Kosasih. Nasib Kosasih lebih baik. Ia digelari Bapak Komik Indonesia lewat kedua komik wayang itu.
Bersama Sie Djin Koei juga ditampilkan potongan strip komik Put On karya Kho Wang Gie. Put On atawa Ko Put On adalah tokoh Tionghoa peranakan yang penuh humor. Oleh Kho, Put On digambarkan satiristik, tragik dan paradoks. Visualitasnya mengandalkan blabar (outline) yang hemat dan lentur. Dalam pengantar pameran, Sindhunata menulis: (Melalui sosok Put On) dalam paradoks dan satirnya, hidup seorang Cina peranakan itu tak ubahnya dengan hidup kaum pribumi sendiri.
Di usia tuanya Kho tetap berkarya. Ia menyamar sebagai Sopoiku atau Soponyono. Masih ingat si Pengky di sampul belakang majalah Ria Film? Atau komik humor Nona A Go Go, Jali Tokcer, Si Lemot dan Agen Rahasia Bolong Jilu (013)?
Pada masanya, Put On digemari masyarakat luas. Put On muncul secara mingguan di harian Sin Po. Put On dan Sie Djin Koei berjaya antara 1930 sampai 1960-an.
Melayu-Tionghoa di Semarang
Menurut Leo Suryadinata (“Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia”, Penerbit PT Gramedia, 1988), Pramoedya Ananta Toer (dalam Salmon, 1981) meyakini bahasa Melayu-Rendah sebagai “bahasa kerja” masa itu dan digunakan secara luas oleh kebanyakan orang Indonesia perkotaan dan pers. Salah satu varian Melayu-Rendah adalah Melayu-Tionghoa. Salmon juga berpendapat, bahasa Melayu Tionghoa sebelum pertengahan 1920-an tidak berbeda dengan bahasa Melayu yang digunakan oleh orang-orang Indonesia lainnya di Jawa.
Diyakini, orang-orang Tionghoa menggunakan bahasa Melayu sudah lama sekali. Bisa jadi setua masyarakat Nusantara sendiri. Di dalam buku “Sastra Indonesia Awal, Kontribusi Orang Tionghoa” (Penerbit KPG, 2010) Salmon menegaskan, ”Akan sia-sia saja mencari tahu sejak kapan orang Tionghoa mulai mempelajari bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lain di Nusantara.”
Tentang “pendahulu kesusastraan Indonesia modern”, masih menurut Salmon (ibid), bisa disigi dari satu syair iklan (terbit 1886) bikinan saudagar Semarang, Ting Sam Sien. Syair berbahasa Melayu itu suatu promosi buku-buku roman Tionghoa terjemahan (41 judul) yang dijual di tokonya. Buku-buku itu terbitan antara 1883―1886. Diperkirakan, para penerjemahnya sudah mulai menulis di sekitar 1880-an. Sebagai bandingan, Sitti Nurbaya (Marah Rusli) terbit pada 1922 dan Student Hidjo (Mas Marco Kartodikromo) terbit pada 1919.
Dari Semarang juga ada pengarang Boen Sing Hoo (=Kesuburan Susastra). Nama aslinya Tan Tjien Hwa, pemilik satu toko buku di Jalan Tjapkauwking (kini Wotgandul Timur), Pecinan Semarang. Wartawan Warna Warta (terbitan NV Hap Sing Kong Sie) itu diyakini membuat syair pertama yang berisi kritik atas pacht (bahasa Belanda), yakni sistem monopoli candu di era kolonial, yang diterbitkan sebagai buku di Pulau Jawa. Buku itu berjudul Boekoe Sair Binatang: Landak, Koeda dan Sapi, terkarang dalem bahasa Melajoe rendah (terbit pada 28 Agustus 1889).
Sampai di sini tampak jelas, orang Tionghoa telah menyumbang sangat banyak nilai-nilai kehidupan di Nusantara. Tanpa disadari, dengan melahap bakmi jowo, misalnya, budaya Tionghoa bersemayam sampai dalam di perut kita.
TUBAGUS P SVARAJATI
Esais, bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Senin: 13/06/2011.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar