Kamis, 09 Februari 2012

PECINAN LUPA SEJARAH

[Sumber foto: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?s=914e38a0c2444eb21b7f26cf51092ecf&p=25389736#post25389736]

PENDUDUK Pecinan Semarang, jika saya boleh berprasangka, seperti lupa pada riwayat permukimannya. Lazimnya pelupa, orang berpikir serampangan dan bertindak gampangan. Maka, wilayah Pecinan terkini, ibaratnya, adalah raut komunitas pelupa.

Di zaman kolonial—pada tarikh 1741—orang-orang Tionghoa Semarang direlokasi di suatu tanah kosong, di tepi barat sungai. Hunian ini tak jauh dari benteng Belanda (sekarang Kota Lama) sehingga mereka masih mudah diawasi. Tindakan itu diambil karena pemerintah Hindia Belanda takut terulangnya pemberontakan orang Tionghoa (di Batavia, 1740). Tercatat ribuan orang Tionghoa terbantai saat itu.

Seiring beringsutnya waktu, orang Tionghoa beranak-pinak dan permukimannya berkembang pesat. Mengutip penelitian HF Tillema, Pratiwo (2005) menyebutkan, pada 1911 populasi di Pecinan mencapai 1000 orang/ha dan mortalitasnya 64,3/1000 orang. Ketika itu Pecinan adalah wilayah kumuh, gersang, dan tidak sehat.

Melihat buruknya lingkungan, kotapraja mengizinkan orang Tionghoa tinggal di luar Pecinan. Pratiwo (2010) mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda menghapuskan Wijkenstelsel pada 1915, orang Tionghoa banyak mendirikan rumah-toko (ruko), antara lain, di jalan Ambengan (MT Haryono), Bojongsche weg (Pemuda), jalan Karangturi (Dr Cipto) sampai Peterongan. Data-data tersebut berasal dari Liem Thiam Joe (1937).

Tersebarnya permukiman orang Tionghoa di seantero kota, dalam konteks sosiologis, membuktikan satu hal: Tionghoa Semarang mampu beradaptasi dan membaur dengan masyarakat dan lingkungan lebih luas.

Akan halnya Pecinan tumbuh sebagai salah satu pusat perdagangan utama di Semarang. Berdasarkan amatan terkini, di Pecinan sekarang ada pusat perdagangan kain (Gang Warung), pertokoan emas (Gang Pinggir), dan pasar tradisional kelas wahid (Gang Baru). Rumah makan, bank, hotel, toko alat tulis, salon, optik, apotek, money changer, praktik dokter dan sebagainya tersebar di Gg Pinggir, Gg Warung, Gg Besen, Gg Tengah, Gg Gambiran atau nyaris di setiap jalan di Pecinan.

Logis, sebagai pusat perdagangan Pecinan membutuhkan tempat usaha lebih luas. Hal ini disiasati dengan diubahnya rumah-rumah hunian sebagai unit usaha. Segera rumah-rumah tradisional kecinaan dirobohkan dan dibangunlah yang baru (rata-rata berlantai tiga). Nyaris pertambahan “rumah baru” tak terkontrol.

Agaknya penduduk Pecinan lupa pada diskriminasi yang menimpa mereka. Pada 1970-an rezim Orde Baru—c.q. pemerintah kota Semarang—memangkas habis fasad arsitektural kecinaan rumah-rumah, utamanya, di jalanan protokol Gg Pinggir-Gg Warung. Dalihnya, demi pelebaran jalan dan keindahan wilayah. Alhasil, seluruh raut bangunan di Pecinan berubah: serupa kerangkeng dengan lajur tembok lurus di lantai duanya.

Di masa represif itu, di tahun-tahun tatkala komunisme-fobia merebak dan kebudayaan Tionghoa dalam semua ekspresinya diberangus, penduduk Pecinan was-was bila menolak mengubah rumah mereka. Muncul isu, mereka bakal dipenjara bila tidak menuruti kehendak penguasa.

Lantas, dengan alasan menanggulangi banjir, pemerintah memaksakan Normalisasi Kali Semarang (NKS), pada akhir 1980-an. Puluhan bangunan kuno dibongkar atau dikepras. Di jalan Petudungan 22 ruko dihancurkan, 3 di antaranya hanya tersisa 3-4 meter. Di Gg Warung 24 ruko bagian belakangnya dipotong. Proyek NKS ini, tentu saja, ditentang keras oleh terutama pemilik bangunan yang rumahnya terdampak. Tapi, akhirnya mereka kalah juga.

Setelah NKS selesai kali Semarang tidak menjadi lebih baik. Airnya pun tidak mengalir lancar. Jalan inspeksi di kedua sisinya malah kumuh dan banjir di seantero kota tetap tak teratasi. Menurut Pratiwo (ibid), yang melakukan penelitian doktoralnya di Pecinan Semarang pada 1986-1987, NKS itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Parahnya, proyek itu telah menghancurkan banyak bangunan kuno sebagai warisan budaya yang mestinya dikonservasi.

Berkaca pada fakta-fakta di atas, tidakkah penduduk Pecinan tergugah menjaga identitas lingkungannya demi pewarisan budaya kepada generasi berikutnya? Faktanya, mereka seperti berlomba melumat jatidirinya sendiri. Satu demi satu gedung kuno dihancurkan, diganti dengan bangunan baru yang, celakanya, tidak lebih indah dari yang lama.

Hari-hari ini di Gg Tengah empat bangunan dirobohkan—tanahnya dibiarkan mangkrak—dan tiga rumah sedang didirikan. Di Gg Gambiran dan Gg Pinggir masing-masing ada pembangunan satu gedung baru. Dua gedung pun sedang didirikan di Kalikoping.

Jika dibiarkan semena-mena, tanpa penataan serius, Pecinan akan menjadi kawasan tanpa identitas. Juga, akibat daya dukung lingkungan terbatas dan infrastruktur yang sarat beban, di Pecinan suatu saat bakal timbul permasalahan genting dengan biaya sosial-ekonomi yang besar.

Sebagai pengingat, masyarakat pelupa niscaya sedang menggali kuburnya sendiri lebih lekas. Sangat bijak jika pinisepuh Pecinan bertindak sebelum nasi menjadi bubur.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Esais, lahir dan besar di Pecinan Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Minggu: 31/10/2010; tidak terbit. Diunggah ke Facebook https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150162664029181, Sabtu: 09/04/2011.]

Rabu, 01 Februari 2012

WISATA PECINAN SEMARANG

[Sumber foto: http://regional.kompas.com/read/2012/01/25/10251215/Dilestarikan.Kawasan.Pecinan.Semarang]

Semakin jelas Pecinan Semarang adalah salah satu magnet wisata kota. Barangkali para pelancong tertarik oleh sejarah, denyut nadi keseharian, atau tata lingkungannya. Pasar kuliner Waroeng Semawis, di sepanjang jalan Gang Warung, melengkapi daya tarik kawasan kota tua itu.

Karena itu, mesti dipikirkan bagaimana merancang kawasan itu sebagai destinasi wisata terpadu agar terhindar dari ekses-ekses yang merugikan. Selama ini upaya ke arah sana belum terorganisasi baik. Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), yang sepihak mendaku sebagai representasi warga Pecinan Semarang, hanya berfokus pada sisi komersialnya. Lembaga tersebut cuma mengelola Waroeng Semawis, tiap pekan, dan Pasar Imlek Semawis, setahun sekali.

Peran pemerintah? Nihil. Warga Pecinan Semarang tak tahu, seperti apakah cetak biru kawasan domisilinya sebagai destinasi wisata kota. Tak pernah sekalipun ada sosialisasi oleh pemerintah, tak juga oleh pengurus Kopi Semawis, tentang arah atau bentuk turisme di sana. Padahal, pada hemat saya, tak sulit merancang wilayah itu sebagai destinasi wisata kota. Faktanya, Pecinan Semarang bukan wilayah tak bertuan atau senyap, tapi dinamis secara ekonomis dan kultural.

Pecinan Semarang dan sekitarnya—Beteng, Kranggan, Johar, Kauman, Jurnatan, Pekojan dan MT Haryono—adalah sentra perdagangan utama di Semarang. Kenyataan ini membuat wilayah tersebut punya daya tarik kuat. Perekonomian—formal maupun informal—tumbuh pesat, secara alamiah. Relasi warga dengan ”orang luar” pun intens sekali. Menurut saya, sifat hakiki perdagangan—egaliter dan transparan—mendasari pergaulan warga di sana selama ini. Alhasil, keliru menganggap Pecinan Semarang sebagai kawasan tertutup atau eksklusif. Itulah keunikan Pecinan Semarang meski pada awalnya adalah suatu enclave yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda.

Sifat terbuka itu juga yang mengundang sejumlah ”tokoh” atau ”lembaga” berdatangan mengail rejeki atau reputasi di Pecinan Semarang. Pada hemat saya, faktor keterbukaan—dalam nada minor cenderung seperti ketakacuhan—warga inilah modal utama menjadikan Pecinan Semarang sebagai destinasi wisata kota. Warga akan mudah diajak bekerja sama asalkan harkatnya dihargai.

Kawasan Turisme Terpadu

Mengamati perkembangan terkini, sudah waktunya dibuat desain kawasan wisata terpadu Pecinan Semarang. Kian banyak pelancong berdatangan di sana, terutama didominasi oleh anak-anak muda. Hal itu mudah dipahami mengingat akhir-akhir ini jumlah pelancong di dalam negeri meningkat seiring dengan tumbuhnya kelas menengah perkotaan. Mobilitas mereka didukung oleh makin mudahnya akses informasi, transportasi dan daya dukung lainnya.

Desain kawasan wisata terpadu mesti mampu memetakan Pecinan Semarang dalam kerangka ekonomi, budaya, dan sosio-politik. Dalam bidang ekonomi, tak terbantahkan, di Pecinan Semarang berputar kapital besar. Banyak kalangan menggantungkan hidupnya di sektor ini. Di ranah budaya, Pecinan Semarang tempat tumbuh-kembangnya kultur peranakan Tionghoa, antara lain, keragaman kuliner dan kesenian etnik. Sedangkan dalam aspek sosio-politiknya tampak jelas betapa harmonisnya pergaulan warga dengan komunitas lain dan lingkungan sekitarnya. Semua itu pantas lebih diberdayakan dan dijadikan model bagi ketahanan bermasyarakat, khususnya di tingkat kota Semarang.

Perlu diingat, wisata Pecinan Semarang tak harus bergantung pada budaya kelenteng, kesenian etnik atau kuliner saja. Seni urban-kontemporer, aspek literer—sastra peranakan, misalnya—atau sejarah lisan pantas diangkat. Claudine Salmon (Sastra Indonesia Awal, Kontribusi Orang Tionghoa, Penerbit KPG, 2010) menyebutkan dengan jelas jejak-jejak “pendahulu kesusastraan Indonesia modern” dimulai di Semarang. Dengan memediasi seni urban-kontemporer dan menerbitkan karya sastra atau folklor Pecinan Semarang, pada hemat saya, bakal turut memperkaya nuansa wisata di sana.

Kini tergantung pada keseriusan pemerintah menangani wisata Pecinan Semarang lebih lanjut. Pemerintah mesti merancang kawasan itu menjadi destinasi pelancongan yang nyaman dan menarik serta menyejahterakan warga dan semua pemangku kepentingan. Lingkungan dan infrastruktur pendukungnya perlu segera dibenahi. Sejauh ini capaian Kopi Semawis patut dihargai meski warga tetap menagih janji wujud ”revitalisasi” Pecinan Semarang yang selalu diuar-uarkan itu.

Tentang kesigapan warga, dalam ranah ekonomi turisme, tak perlu diragukan. Sekarang ada home stay atau penginapan baru di Pecinan Semarang. Usaha lain—semisal rumah makan—sudah lancar sebelumnya. Yang belum tergarap, antara lain, event atau tontonan kesenian reguler.

Jika turisme Pecinan Semarang tertata baik, di samping jelas kontribusi devisanya, juga tereliminasi ekses sampingannya. Warga senang dan pemerintah tercitrakan positif pula.

TUBAGUS P SVARAJATI

Warga kota Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Wacana Lokal—Suara Merdeka, Rabu: 25 Januari 2012.]